Thursday, June 6, 2013

responding paper (all about to buddhism )


o   SEJARAH HIDUP BUDHA (Topik 2)

A.  Kehidupan Sang Buddha
1.    Kelahiran Bodhisattva
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.[1]
Saat ia dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[2] Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum bunga ke arah utara,[3]dengan jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alaam menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia, mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam samsara ini.[4].
2.      Pada umur 12 tahun
Pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra); silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri (logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara sembahyang); athavarveda(mantra)
1.                       Melihat Empat Peristiwa
Pada suatu hari pangeran mengunjungi Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. tetapi sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.[5]
Sekalipun sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan dilalui putranya itu harus dibersihkan dari segala hal yang tidak menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah tua sekali. Pandangan ini mengejutkan Siddharta.[6]pangeran terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
Channa menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat. Sebaiknya tuanku lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat dielakkan.”[7]
Atas keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali keistana.[8]
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran meninggalkan istana.
Berselang beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih dulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada gunanya melarang, sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada kesempatan ini pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak kelurga Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Pangeran memperhatikan orang-orang kecil yang sderhana dan semua orang kehilatannya sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sdeang merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan kedua tangannya memegang perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau, engku mengapakah?” orang sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“ Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Mengapa ia tidak bicara”?
“ O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat meenular.”
“apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.” Mendengar ini pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungi hal ini.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya. Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya dari semua sudut.
Pangeran heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[9]
Pangeran kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal dirinya.[10]
“ Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”
 Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O petapa suci, dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[11]
Sejak saat itu Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[12]
B.     Sang Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.      Pangern siddharta Meninggalkan istana
Sebelum meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran, bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang kekal.[13]
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma.[14]
2.      Penerangan Agung
Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara, ketika ia sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan duduk padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang meliputi hal berikut:
a.       Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.      Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.       Cuti Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.      Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang menghilangkan ketidaktahuan
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’ atau guru dari manusia.
C.                     Sang Budha Mengajarkan Dharma
Setelah itu sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain, karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana, maka ia pergi ke Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu, tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di kusiwara yang letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa yang menjadi penerus, sehingga di kemudian hari ajaran terpecah menjadi dua golongan yaitu Teravadha  ( Hinayana ) dan Mahasangika (Mahayana).
                       
o   KEYAKINAN TERHADAP HUKUM KASUNYATAAN (Topik 3)
a.      Pengertian Hukum Kasunyataan
Hukum Kesunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku disemua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu.Hukum Kesunyataan berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Karena hukum yang dibuat oleh manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu, tempat dan keadaan. Jadi berbeda sekali dengan hukum Kesunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.
b.      Cattur Arya Saccani (empat kebenaran mulia)
Dhamma itu sedemikian indahnya dan sangat luar biasa sekali, Dhamma itu indah pada permulaannya, indah pada pertengahannya, dan tetap indah pada akhirnya.
Ke-Empat Ariyasacca Dhamma (Cattuariyasaccani) di dalam Dhammacakkapavattana Sutta dinyatakan secara singkat dengan nama DHAMMACAKKA. Mengapa disebut Dhammacakka??? Karena tiap-tiap bagian dari Ariyasacca itu memiliki 3 (Tiga) PARIVATARA bergejala 12. Diajarkan semua itu oleh Sang Buddha dengan lengkap, karena semuanya itu telah ada didalam sekejap pikiran Beliau bahwa semua itu adalah sudah menjadi tugasNya untuk membabarkan secara tengkap. Dhammacakka ini teramat halus. Sang Buddha telah mencurahkan pikiranNya untuk merenungkan dan menyaksikan semuanya itu dengan terang benderang dan sedemikian jelasnya didalam diri Beliau sendiri, lalu Beliau menyatakannya secara gamblang dan terbuka dengan sejelas-jelasnya kepada semua makhluk.
c.       Hukum Karma dan Tumimbal lahir
Tumimbal lahir adalah hokum kelahiran kembali. Semua makhluk akan terus dilahirkan kembali di berbagai alam kehidupan ( sesuai dengan karmanya masing – masing ) selama masih di cengkeram oleh tanha ( nafsu keinginan yang tak kunjung padam ) dan avidya ( ketidaktahuan ).
d.      Tilakhana (Tiga Corak Umum;anicca,dukkha, anatta)
Perkataan  pattica samuppada terdiri atas : Patticaartinya disyaratkan dan kata Samuppada artinya muncul bersamaan. Jadi perkataanpattica samuppada artinya kurang lebihya itu muncul bersamaan karena syarat berantai, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku – buku, yaitu Pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.
e.       Pattica Sammuppada (sebab akibat yang saling bergantungan)
Tilakkhana (Ti berarti tiga, dan lakkhana berarti corak atau karakter) adalah karakteristik yang melekat pada setiap ke-beradaan. “Karakteristik” menurut Dr.P.D. Santina dalam bukunya Fundamentals of Buddhism, adalah sesuatu yang pasti (tidak terhindarkan) dihubungkan dengan sesuatu lainnya. Karena karakteristik pati berhubungan dengan sesuatu, maka karakteristik dapat memberitahu kepada sifat dari sesuatu. Contohnya: panas adalah karakter dari api. Panas bukan krakter dari air. Panas selalu dan tak dapat dihindarkan berhubungan dengan api. Demikian juga dengan Tilakkhana yang merupakan karakter dari setiap keberadaan (eksistensi), mencerminkan sifat yang selalu dapat diketemukan dari setiap keberadaan.  
Tilakkhana terdiri dari tiga sifat/corak, yaitu:
1.      Sabbe sankhara anicca: semua yang bergantungan (berkondisi) adalah tidak kekal.
2.      Sabbe sankhara dukkha: semua yang saling bergantungan (berkondisi) adalah tidak tidak memuaskan (dukkha)
3.      Sabbhe dhamma anatta: semua yang saling bergantungan (berkondisi) maupun yang tidak salitungan (tidak berkondisi) adalah tanpa inti/diri yang kekal.
 Anicca
Penjelasan mengenai Anicca secara jelas dinyatakan dalam sutta berikut ini:
Pengertian terhadap ketidak-kekalan adalah penting, tidak hanya bagi pelaksanaan Dhamma tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Pengertian tentang ketidak-kekalan merupakan obat penawar bagi keinginan-keinginan dan kehendak buruk. Hal ini juga merupakan pendorong semangat dalam pelaksanaan Dharma. Dan hal merupakan kunci untuk mengerti sifat paling penting dari segala sesuatu, keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu yang saling bergantungan. Memahami ketidak-kekalan juga merupakan kunci untuk mengerti tentang “tanpa aku” (Annatta), karena mulai melihat bahwa tidak ada keberadaan yang permanen; bahwa dalam diri dan segala sesuatu di sekeliling, tidak ada sesuatu yang dapat disebut sebagai “aku”.
 Dukkha
Buddha berkata bahwa segala sesuatu yang tidak permanen adalah dukkha, dan segala sesuatu yang tidak permanen dan dukkha dalah juga tanpa aku (anatta). Apapun yang tidak permanen adalah dukkha karena ketidak-kekalan adalah salah satu pencetus dukkha. Ketidak-kekalan adalah pencetus dukkha, bukan penyebab dukkha, karena ketidak-kekalan hanya menimbulkan dukkha sepanjang ketidak tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha), dan kemelekatan (raga) hadir. Ketidaktahuan mengenai sifat-sifat dari segala sesuatu, serakah dan melekat pada obyek-obyek dengan harapan yang sia-sia bahwa mereka akan kekal (permanen), sehingga mereka dapat memberikan kebahagiaan yang permanen pula. Jadi obyek-obyek yang menyenangkan yang diingini dan melekat padanya itu suatu saat akan berakhir dan musnah, mereka tidak kekal. Ketidak-kekalan merupakan pencetus dari dukkha karena segala sesuatu yang tidak permanen adalah dukkha.
 Anatta
Konsep anatta (tanpa diri yang kekal) ini sering membingungkan banyak orang. Jika tidak ada “aku”, lalu mengapa selalu berkata “aku berbicara”, “Aku mendengarkan”, “Ini milikku”, dan lain-lain. Dan jika tidak ada aku, lalu siapa yang mengungkapkan, merasakan, dan mengalami akibat-akibat perbuatan baik dan buruk? Terminologi “Segala sesuatu yang berkondisi” (sankhara) menunjukkan lima agregat kemelekatan (pancaskandha), semua yang berkondisi, saling bergantung, segala sesuatu dan keadaan yang relatif, baik fisik maupun mental. Sedangkan terminologi Dhamma mencakup segala sesuatu yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi.

o   Keyakinan terhadap kitab suci (Triptaka) (Topik 4)
1. Pengertian Tripitaka
Setiap agama memiliki sumber ajaran yang menjadi pedoman dalam melakukan peribadatan. Sumber itu bisa berasal dari “wahyu” Tuhan atau catatan-catatan yang berasal dari pembawa agama tertentu. Sumber itu biasa disebut sebagai Kitab Suci. Kitab Suci ini dianggap sakral karena memiliki nilai yang luhur dan suci.
Dalam Agama Buddha yang menjadi sumber dan pedoman dalam melakukan peribadatan adalah Tripittaka. Arti dari pittaka itu sendiri adalah keranjang. Konon, saat mengumpulkan lembaran-lembaran Kitab Suci Tripittaka yang tertulis di lontar-lontar kemudian dikumpulkan dalam keranjang-keranjang. Kitab itu berisi pidato-pidato dan ajaran Buddha Gautama yang dikumpulkan oleh para muridnya setelah Buddha meninggal dunia. Dibanding dengan Weda, Tripittaka mudah sekali dipahami oleh rakyat, karena ditulis dalam bahasa Pali, bahasa rakyat di daerah Moghad, tempat Buddha bertapa mencapai pencerahan (hikmat), sedang kitab Weda tertulis dalam bahasa Sangskerta, bahasa Arya yang dirasa terlalu tinggi oleh rakyat biasa. Namun, sesuai perkembangan zaman Tripittaka pun akhirnya ditulis dalam bahasa Sanskerta.
2. Sejarahnya Penulisan Tripittaka
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM), seorang Bhikku tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata, “Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” (Vinaya Pittaka II, 284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Pada mulanya Tripittaka (Pali) ini diwariskan atau diajarkan secara oral (lisan) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikku yang hendak berniat mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikku yang ingin mempertahankan Dhamma-Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung II dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tripittaka (Pali) diucap ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikku yang memegang teguh kemurnian Dhamma-Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravada. Sedangkan kelompok Bhikku yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelag Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi dua mazhab besar yaitu, Theravada dan Mahayana.
Pesamuan Agung ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat sekita 249 SM, dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu menyebarkan Dhamma ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dengan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung ketiga ini, 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tripittaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung Keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattaqamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat sekitar 83 SM. Pada kesempatan itu Kitab Suci Tripittaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma-Vinaya.
Selanjutnya, Pesamuan Agama Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah wafat Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu, adalah Kitab Suci Tripittaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tripittaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain : Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravada dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravada (ajaran para sesepuh). Dengan demikian, nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravada inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
3. Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, Abidhama Pitaka dan Bagian-Bagiannya
Menurut Harun Hadiwidjono seorang pendeta Protestan dalam bukunya Agama Hindu dan Buddha, dinamakan Tripittaka, karena memang kitab itu merupakan tiga himpunan pidato Buddha, yang masing-masing pittaka itu mempunyai arti. Diantaranya :
1. Winayapittaka berisi berbagai hukum dan peraturan dalam kehidupan para penganut Buddha. Peraturan-peraturan itu untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya (Harun Hadiwidjono, 2010:63). Kitab ini terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan Parivawa.
2. Sutrantapittaka, berisi pidato-pidato dan wejangan Buddha. Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Asal kata sastra pun diambil dari katta sutta. Yang dimaksud benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Sutrantapittaka terbagi lima antara lain, Dighanikaya, Majjhimanikaya, Angutaranikaya, Samyuttanikaya, dan Khuddakanikaya.
3. Abbidharmapittaka, berisi penjelasan dan uraian tentang keagamaan. Selain itu, di dalamnya dibahas pula filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata BuddhaDharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan AbidharmaPitaka. Kitab ini terbagi kepada tujuh buah buku (pakarana), yaitu : dhammasangani, vibhanga, dhatukatha, puggallapannatti, kathavatthu, yamaka, dan patthana.’

o   Keyakina terhadap Nibana (topik 5)
Nibana bukanlah suatu surge . beberapa abad setelah Sang Budha wafat, sebagian aliran umat Budha mulia menggambarkan Nibbana sebagai surge, tujuan mereka mneyetarakan Nibbana dengan dunia surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang kurang pintar dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu.[15]
A.    Pengertian Nibbana
Nibana adalah sebutan dari bahasa pali dan Nirvana adalah bahasa sansekerta. Kata Nibbana berasal darikata nirvana, yang terbagi atas dua kata yaitu: Nir artinya Padam” dan Vana artinya “meniup”. Jadi kata Nibbana artinya meniup padam, yang tidak lain meniup padam sifat Tanha atau Tanhakkhaya atau Asavakkhaya.[16]
Nibbana adalah tujuan akhir umat Budha. Bnayak buku yang menyajikan uraian tantang Nibbana telah ditulis sejak zaman dahulu hingga kini. Nibbana bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan kan tetapi dialami. Nibbana adalah suatu “keadaan” seperti yang di ajarkan oleh sang Budha, Nibbana adalh suatu keadaan yang pasti setelah rasa keinginan lenyap. Nibbana dalah ppadamnya keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan kekotoran-kotoran batin. Nibbana adalah kasunyataan abadi, tidak dilahirkan, tidak termusnahkan ada dan tidak berubah. Nibban dikatakan pula Ashankata Dhamma(keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi). Nibbana dapat dialami jika dukha telah disadari, menyadari dukha berarti menyadari asal mula dukha, lenyapnya dukha dan jalan untuk melenyapkan dukha.[17]
Nibbana dibagi atas dua bagian:
1.      Nibbana yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam bahasa pali disebut SA UPADISESA NIBBANA dalah padamnya kilesa (kekotoran batin) secara total, tetapi panchakandha masih ada.
2.      Nibbana yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang dicapai setelah meninggal dunia atau dalam bahsa pai disebut AN UPADISESA NIBBANA.[18]
Mereka yang mencapai Nibbana tidak lagi menaruh perhatian terahdap kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelahnya umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun kamma baru, meliankan sekedar menghabiskan akibat kamma lampaunya. Sang budha pernah ditanya apakah seorang Budha, sesudah mencapai Parinibbana, ada atau tidak ada. Sang Budha diam tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermanfaat bagi pembebasan manusia dari dukha. Pertanyaan timbul akibat orang mempunyai kesalahfahaman tentang dualistis antara ada dan tidak ada. Selama paham “aku” masih melekat, mustahil Nibbana dapat dicapai.[19]
B.     Jalan Menuju Nibbana
Ada delapan ruas jalan utama atau jalan tengah menuju Nibbana dibagi menjadi 3 yakni:
1.      Sila = tata hidup yang susila an beradab.
2.      Samadhi = pembinaan disiplin menthal.
3.      Panna = kebijaksanaan luhur.
Orang yang telah mencapai Nibbana dapat disebut orang yang sempurna seperti asng Budha Gotama. Orang yang telah mencapai Nibbana pula bebas dari lahir, derita, umur-Tua dan mati; loba dan moha.[20]
o   Meditasi dalam Budha (Topik 6)
A.    Pengertian Meditasi
Meditasi adalah pendekatan psikologis untuk pengembangan, pelatihan , dan pemurnian pikiran. Meditasi merupakan jalan yang lembut untuk menundukkan kekotoran yang mencemari batin.[21] Dalam bahasa Pali atau Sansekerta, meditasi disebut sebagai Samadhi. Dalam percakapan antara Bhikkhu Dahammadinna dan Upasika Visakha (Majjhima Nikaya I.301) Samadhi diartikan sebagai ‘keadaan batin dan cara melihat batin’. Visakha bertanya : “Apa itu Samadhi?” Bhikkhu menjawab: “ Samadhi adalah cittassa ekaggata (pikiran terpusat)”. Setiap orang yang melaksanakan bhavana memerlukan objek. Objek meditasi merupakan alat Bantu yang mengarahkan pikiran seseorang agar cepat terpusat, sehingga demikian kemajuan batin agar dapat berproses dengan baik. Objek meditasi yang digunakan oleh seseorang harus sesuai dengan wataknya (carita) agar ia mudah memusatkan pikiran. Apabila objek meditasi tidak sesuai dengan carita, maka pemusatan pikiran sangat sulit atau lambat sekali untuk dapat tercapai. Hal ini bagaikan orang yang mengambil jurusan bahasa namun belajar matematika.
B. Cara Meditasi
1.        Waktu meditasi yang tepat adalah  bila jasmani kita segar, semua pekerjaan telah selesai, gangguan fisik dan batin  tidak ada.
2.        Meditasi dapat dilaksanakan pada pagi hari (pkl. 04.00 – 07.00) dan malam hari (pkl. 17.00 - 22.00).
3.        Jadi  waktu dalam berlatih meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dalam waktu yang sama secara teratur dan terus menerus (continue).
4.        Sang Buddha mengajarkan 4 cara bermeditasi yaitu : 
a.    Meditasi dengan cara duduk
Meditasi dengan cara ini biasanya dilakukan bagi pemula dan tingkat lanjut. Caranya duduk bersila (padmasana) badan tegak tetapi rilek, sebaiknya tidak bersandar pada dinding atau sandaran lain, mata dipejamkan, batin tenang dan pikiran dipusatkan pada obyek yang dipilih.
 b.    Meditasi dengan cara berdiri.
Berdiri dengan kaki sedikit renggang, kedua tangan didepan dada, tangan kanan memegang tangan kiri, usahakan dapat menjaga keseimbangan tubuh supaya batin tenang, pikiran berkonsentrasi pada obyek yang dipilih.
c.    Meditasi dengan cara berjalan
Meditasi berjalan disebut cankamana. Meditasi ini dapat dipraktikkan dengan beberapa cara, antara lain:
Ø  Berjalan denganmenghitung langkah kaki
Ø  Berjalan dengan menyadari langkah maju, mundur, kekiri, kekanan. Menghitung langkah kaki kanan melangkah atau menyadari kaki kiri melangkah dst.
Ø  Berjalan dengan menggunankan obyek meditasi nimitta (bayangan) tubuh kita sendiri.
d.    Meditasi dengan cara berbaring.
Berbaring dengan posisi tubuh miring kekanan atau kekiri (kaki kanan/kiri diatas) seperti posisi tubuh Sang Buddha ketika parinibbana (wafat), kaki lurus, kepala ditopang dengan tangan kanan/kiri, mata dipejamkan, batin tenang dan pikiran terpusat pada obyek meditasi yang dipilih.[22]
Tiga puluh enam objek merupakan dasar untuk mencapai Rupa Jhana. Sedangkan empat objek Arupa hanya digunakan setelah seorang sukses mencapai Rupa Jhana IV dan berkeinginan melanjutkan meditasinya agar mencapai Arupa Jhana.[23]
B.     Tingkat Meditasi
1.        Tingkat Samadhi, terdiri dari:
a.    Meditasi Permulaan (Parikamma Samadhi)
b.    Meditasi mendekati Pencapaian (Upacara Samadhi)
c.    Meditasi Tercapai (Appana Samadhi)

Keterangan :
a.    Ketika pikiran mulai dipusatkan pada sebuah obyek yang dipilih sesuai dengan carita, maka meditasi permulaan ini disebut Parikamma Samadhi.

b.    Jika pikiran untuk sementara telah bebas dari kekacauan,atau pikiran tidak tergoyahkan, hal ini disebut Upacara Samadhi.

c.    Apabila keadaan ini dapat dipertahankan terus, walaupun dengan perlahan tapi pasti  hingga pemusatan pikiran benar-benar tidak tergoyahkan, maka hal ini disebut Appana Samadhi.

2.        Pencapaian Appana Samadhi berarti Rupa Jhana I telah tercapai.[24]

C.     Macam-Macam Meditasi
Ada dua jenis meditasi yaitu meditasi ketenangan (samathā) dan pandangan terang (vipassanā).[25]
1.      Meditasi untuk mencapai ketenangan
Bermeditasi pada sepuluh alat bantu (kasina) hanya menimbulkan ketenangan, bukan pandangan terang. Bermeditasi pada sepuluh hal yang menjijikkan (misalnya, mayat yang membengkak) hanya menimbulkan ketenangan, bukan pandangan terang. Sepuluh perenungan, seperti perenungan terhadap Sang Buddha atau Dhamma, juga hanya menimbulkan ketenangan, bukan pandangan terang. Bermeditasi pada tiga puluh dua bagian tubuh seperti rambut, kuku, gigi, dan kulit, juga tidak dapat menimbulkan pandangan terang. Hal ini hanya dapat mengembangkan konsentrasi.[26]
2.      Meditasi untuk mencapai pandangan terang (Vipassana)
Memungkinkan seorang calon mencapai kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang ditenangkan oleh Samadhi. Pada mulanya ia mengembangkan pandangan yang bersih (ditthivisuddhi) dan melihat atas segala sesuatu sebagai mereka seadanya. Dengan pikiran terpusat ia menganalisa dan menguji apa yang ia sebut makhluk. Pengujian in8i menunjukkan apa yang ia sebut dengan aku., hanyalah perpaduan kompleks dari batin dan jasmani yang selalu dalam keadaan mengalir.[27]
Ketika anda bermeditasi terhadap empat unsur (dhatu) di dalam tubuh anda, hal ini dinamakan analisa terhadap empat unsur. Walaupun hal ini mengembangkan konsentrasi, ini juga membantu mengembangkan pandangan terang. Keseluruhan empat puluh obyek meditasi ini digunakan untuk mengembangkan konsentrasi. Hanya pernafasan (anapanassati) dan analisa terhadap empat unsur (dhatu) yang digunakan untuk mengembangkan pandangan terang. Obyek-obyek yang lain tidak akan menimbulkan pandangan terang untuk mendapatkan pandangan terang, anda harus berusaha lebih jauh.[28]

o   Ajaran Tentang Sangha (Topik 7)

Triratna merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha. Isi triratna yaitu Buddha, Dhamma, Sangha.
Buddha :
·         Sang Buddha adalah guru suci junjungan kita
·         Yang telah memberikan ajarannya kepada umat manusia dan para dewa
·         Untuk mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Dhamma :
  • Dhamma adalah kebenaran mutlak, dan juga merupakan ajaran Buddha
  • Yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang benar, yaitu yang terbebas dari kejahatan, dan
  • Membimbing mereka mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Sangha :
  • Sangha adalah persaudaraan Bhikkhu suci, yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapana, Sakadagami, Anagami, Arahat)
  • Sebagai pengawal dan pelindung Dhamma
  • Mengajarkan Dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga bisa mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)[29]
A.    Tingkat kesucian, kedudukan sangha
Tingkat Kesucian
1.      Sotapanna: Orang suci tingkat pertama, yang telah membasmi tiga belenggu. Akan lahr sebanyak tujuh kali lagi.  Ada tiga:
*      Sattakhatta parama Sotapanna : Sotapanna paling banyak tujuh kali lagi lahir di alam yang menyenangkan. Dalam kehidupan yang lampau melaksanakan Paramita kurang tekun, maka apabila menjadi Sotapanna seperti ini.
*      Kolankola Sotapanna : sotapanna yang kan dilahirkan dua sampai enam kali lagi, setelah itu akan menjadi Arahat dan Parinibbana. Dalam kehidupan yang lampau melaksanakan Paramita setengah tekun, apabila menjadi Sotapanna seperti ini.
*      Ekabiji Sotapanna : Sotapanna yang akan dilahirkan paling banyak hanya satu kali lagi, setelah itu akan menjadi Arahat dan Parinibbana. Dalam kehidupan yang lampau melaksanakan paramita dengan tekun sekali, apabila menjadi sotapanna seperti ini.
2.      Sakadagami : orang suci tingkat kedua yang telah membasmi tiiga belengg ditambah dua belenggu. Akan lahir sebanyak satu kali lagi. Disebut Ariya Puggala berarti orang suci atau  orang kudus. Ada lima:
*      Idha patva idha parinibayi: mencapai sakadagami-phala di Alam manusia, dan mencapai Arahatta-phala d Alam Dewa, jugadalam kehidupan yang sama.
*      Tattha patva tattha parinibayi: mencapai Sakadagaim Phala di Alam Dewa, dan mencapai Arahatta Phala di Alam Dewa, juga dalam kehidupan yang sama.
*      Idha patva tattha parinibayi: mencapai sakadagami Phala di Alam manusia, setelah itu meninggal dunia dulahirkan di Alam Dewa, dan mencapai Arahatta Phala di Alam Dewa.
*      Tattha patva idha parinibayi: mencapai sakadagami Phala di Alam Dewa, setelah meninggal di Alam Dewa dilahirkan di Alam manusia , dan mencapai Arahatta Phala di Alam manusia.
*      Idha patva tattha nibbattitva iddha parinibbayi: mencapai Sakadagami Phala di Alam Manusia, setelah itu meninggal dunia dan dilahirkan di Alam Dewa. Setelah itu meninggal dunia dan dilahirkan di alam Dewa dilahirkan kembali di Alam manusia, dan mencapai Aahatta Phala di Alam manusia.
3.      Anagami : orang suci tingkat ketiga, yang telah membasmi tiga kali belenggu dan dua belenggu. Tidak lahir di Alam napsu yang menyenangkan, tapi menitis di Alam Suddhavassa dan mencapai Arahata serta Parinibbana di alam ini. Ada lima:
*      Antaraparinibbayi: anagami yyang mencapai Arahat dan Parinibbana dalam usia yang belum mencapai setengah  usia.
*      Upahaccaparinibbayi: anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbana dalam usia yang hampir mencapai batas usia.
*      Asangkharaparinibbayi: anagami yang mencapai Arahat dan Pparinibbana dengan usaha keras.
*      Uddhangsoto akanitthagami: anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbana di Alam Brahma yang luhur atasAkanitthi Bhumi.
4.      Arahat : prang suci tingkat keempat. Telah membasmi lima belenggu
ditambah lima belenggu. Ini terbebas dari kelahiran dan kematian di alam manapun juga. Ada empat:
*      Sukkhavipassako: Arahat yang tidak mempunyai Jhana. Hanya melaksanakan Vipassana Bhavana saja.
*      Tevijjo: Arahat yang mempunyai Vijja (pengetahuan)[30]
*      Chalabinno: Arahat yang mempunyai enam macam tenaga bathin.[31]
*      Patisambhida: Arahat yang memiliki pengertian sempurna.[32]
Kedudukan Sangha
Ada dua jenis:
  1. Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
  2. Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian. [33]
B.     Cara Menjadi Bikkhu
Bikkhu adalah orang yang ditahbiskan dalam keyakinan Budha monastik.  Monastisisme merupakan bagian dari sistem "janji pembebasan individu". sumpah ini diambil oleh para biarawan dan biarawati dari sangha biasa, dalam rangka untuk mengembangkan disiplin etika pribadi. Sumpah pembebasan individu diambil dalam empat langkah. Orang awam dapat mengambil lima upāsaka sumpah. Langkah selanjutnya adalah memasukkan pabbajja atau cara hidup monastik, yang meliputi mengenakan jubah biarawan atau biarawati. Setelah itu, seseorang dapat menjadi samanera, Atau biarawan / biarawati pemula. Langkah terakhir adalah untuk mengambil semua kaul seorang bhikkhu / bhukkhuni. Biarawan dan biarawati mengucap sumpah mereka untuk seumur hidup. Seorang rahib dapat memberikan bhikkhu sumpah kembali dan kembali ke rumah tinggal, dan mengambil sumpah lagi nanti. Dia dapat membawa mereka sampai tiga kali atau tujuh kali dalam satu kehidupan;. Setelah itu sangha tidak boleh menerimanya. dengan cara ini, Buddhisme menjaga sumpah "bersih". Hal ini dimungkinkan untuk menjaga mereka atau meninggalkan gaya hidup ini, tetapi dianggap sangat negatif untuk memecahkan sumpah ini.[34]

C.     Kelompok Budha Awam
Dari sudut pandangan kelembagaan, masyarakat Buddhis terdiri atas dua kelompok (parisa), yaitu :[35]
  1. Kelompok masyarakat keviharaan (bhikkhu-bhikkhuni parisa). Sudah dijelaskan diatas.
  2. Kelompok masyarakat awam (upasaka-upasika parisa). Kelompok masyarakat awam meliputi semua umat Buddha yang tidak termasuk dalam kelompok masyarakat keviharaan. Mereka menempuh hidup berumah tangga. Kelompok ini terdiri atas upasaka (pria) dan upasika (wanita) yaitu mereka yang telah menyatakan diri untuk berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moralitas (sila) bagi umat awam.
o   Budha di india (Topik 8)
Budhisme di India
Sejarah perkembangan agama Buddha di India setelah Buddha Gautama wafat di bagi menjadi 3 periode, yaitu :  Masa perkembangan awal hingga konsili agung kedua,  masa kekuasaan raja ashoka, dan  masa kemunduran agama Buddha di India
Konsili pertama di adakan di Raja Graha dan di hadiri oleh 500 arahat dengan tujuan utama mengumpulkan ajaran-ajaran yang telah diedarkan Buddha dan menyusunnya secara sistematis. Konsili ini berhasil mengumpulkan ajaran-ajaran Buddha kedalam 3 golongan, dari sumber inilah kemudian disusun kitab Tripitaka sebagaimana dikenal saat ini.
Pada konsili II sebagai awal adanya 2 kelompok yakni Mahasanghika vajian yang kemudian dikenal dengan aliran utara (Mahayana) sedangkan Sthaviharavada atau aliran Selatan (Hinayana).
Setelah konsili kedua tersebut, untuk selama 100 tahun tidak banyak yang diketahui tentang perkembangan agama Buddha di India. Terutama setelah raja kalasoka meninggal dunia. Baru dengan munculnya raja asoka dari dinasti maurya, sekitar 272 SM, agama Buddha memperlihatkan perkembangan yang sangat pesat ke seluruh dunia.
Pada konsili III diadakan sebagai akibat dari sebagian bhikkhu yang menganut pandangan sarvas tivadin, sebagai melawan pandangan tradisional dari yang lebih tuala
Dari Konsili I sampai IV secara garis besar terpecahlah aliran Buddha menjadi empat aliran besar, yaitu Sthavirada menjadi aliran yang sekarang bernama Theravada Buddhis, sedangkan Mahasangika dan Sarvastivada kelak menjadi aliran Mahayana Buddhis. Sammitya yang merupakan pecahan Sthavirada sudah punah.Theravada Buddhis berkembang di India semasa Raja Asoka dan dibawa oleh Putra Raja Asoka yang bernama Mahinda ke Srilanka dan kelak dari Sri Lanka menyebarlah Buddha Theravada ke Asia Tenggara pada abad ke-11.
Dari India menyebarlah agama Buddha Mahayana ke timur, yaitu Cina, Korea, Jepang, dan ke Utara Tibet dan Nepal yang kelak menjadi Tantrayana Buddhis.
Menjelang pertemuan terakhir atas anjuran raja asoka maka dikirimlah utusan utusan ke berbagai Negara untuk menyebarkan dharma, antara lain : Syiria, Mesir, Yunani, dan Asia Tenggara Masa Kekuasaan Raja Asoka.
Di tahun 249 SM atau 24 tahun setelah menjadi raja, Raja Asoka mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan kehidupan  Buddha  Gotama. Tempat–tempat tersebut adalah: Kapilavatthu (tempat kelahiran Buddha), Vārāṇasī  (tempat Buddha  pertama kali mengajarkan Dhamma), Buddhagayā  (tempat pohon MahāBodhi), dan  Kusināra  (tempat Parinibbāna Buddha).  Di tempat-tempat tersebut, Raja memberikan dāna dan mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang masih sangat bermakna untuk mempelajari sejarah masa lalu.
Raja Asoka meninggalkan ajaran Brahmana dan mengikuti ajaran Buddha, kemudian Raja menjadi Bhikkhu. Ajaran Buddha pada masa itu mendapat kedudukan sebagai agama kerajaan. Atas titah Raja Asoka, sekitar 48.000 buah thūpa (stupa) didirikan. Yang masih tersisa adalah stupa yang terkenal di Sanchi (India Tengah), dekat ibukota di bawah pemerintahannya dulu. Untuk puterinya, Puteri Charumali yang sangat berbakti, Raja mendirikan beberapa vihāra bagi kaum wanita, terutama di bagian Nepal.
Pada tahun kesepuluh masa pemerintahan Raja Asoka diselenggarakan Saṅgāyanā yang ketiga di ibukota Magadha, Pataliputta (218 tahun  sejak  Parinibbāna  Buddha Gotama). Saṅgāyanā di pimpin oleh Bhikkhu Tissa Moggaliputta  dan menetapkan Kattavatthu ke dalam   Abhidhammā.  Diberitakan bahwa pada masa itu terdapat delapan belas aliran   (Therāvada yang terkemuka) dalam ajaran Buddha. Seorang sarjana barat, Kern, menilai bahwa Saṅgāyanā ketiga ini bukan bersifat umum, melainkan hanya dihadiri oleh kelompok Therāvada.

o   Budhisme di Cina dan aliran2nya (topik 9)

Pada abad pertama sebelum masehi, penduduk China berkembang dengan pesat. Penduduk negeri ini diperkirakan sudah berjumlah 50 juta. Daerah-daerah subur di sepanjang aliran­-aliran sungai menjadi tempat pemukiman yang memberikan cukup makanan. Padi merupakan bahan pokok utama. Tanaman baru yang berasal dari Champa (Vietnam) yang berkembang pada abad 11 seperti gandum, ubi jalar yang dapat tumbuh pada tanah-­tanah yang sempit, ikut mendorong pertumbuhan jumlah penduduk. Pada sekitar tahun 1200, jumlah penduduk China diperkirakan berjumlah 100 juta, jumlah tersebut menurun menjadi sekitar 65 juta pada tahun 1368 yakni pada tahun berakhirnya dinasti Mongol. Sejak itu jumlah penduduk mengalami peningkatan. Namun, laju pertumbuhan penduduk tidak terlalu pesat karena mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh bencana alam (banjir, penyakit), peperangan, dan kerusuhan sosial.
Penduduk China terdiri dari suku-suku bangsa dengan bahasa yang berlainan. Suku yang utama adalah Bangsa Han, yang mengembangkan dasar-dasar kebudayaan dan politik sejak dinasti Han (202-220 SM). Para ahli bahasa menggolongkan bahasa China dalam keluarga Sino-Tibet. Dialek-dialek yang merupakan bagian dari bahasa China beberapa diantaranya adalah dialek Wu atau Soochow, didapati di sekitar sungai Yangtze dan Shanghai, dialek Min diwakili oleh Amoy (Fukien selatan) dan Swatow (Kwantung dan pulau Hainan), dialek Hakka Yueh (Kanton), serta suku-suku minoritas di selatan dan barat yang berdarah campuran Turki dan Mon­gol. Karena pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, kesulitan bahasa telah melahirkan bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional pada abad ke-20 ini.
Agama Buddha berkembang ke China sekitar abad kedua sebelum masehi melalui Asia Tengah dan mulai berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). Sejak dinasti Han (202-­220 M), agama Buddha mulai mendapat perhatian. Kira-kira pada masa itulah Mo Tzu menyusun bukunya Li-huo-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai apologia bagi agama Buddha.
Pada tahun 147 M seorang bhikṣu dari Asia Tengah bernama Lokaraksha telah menetap di Loyang, ibukota dinasti Han masa itu. Pada abad ke-2, ke-3, dan ke-4 banyak bhikkhu dari India pergi ke China dan menyalin berbagai Sūtra dan sastra dalam bahasa China.
Pada tahun 399 M seorang bhikṣu China bermana Fa Hien, bersama rombongannya yang terdiri atas 10 orang, melakukan perjalanan ke India melalui jalan darat untuk mempelajari agama Buddha. Pada tahun 413 M, beliau pulang melalui jalan laut dan singgah di Sriwijaya (Sumatera) dan Jawa. Beliau menyalin berbagai sūtra. Catatan beliau mengenai negara-negara Buddhis (Record of Buddhist countries) terkenal sampai kini.
Agama Buddha di Cina juga melahirkan beberapa aliran besar dalam golongan Buddha Mahayana, antara lain :

Aliran Chan atau Dhyana yang didirikan oleh Boddhirma, asal India tetapi menetap di Cina antara 527-536 M. Boddhidharma  di kenal sangat raqdikal terhadap kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Buddha dan bermaksud untuk kembali pada semangat ajaran Buddha yang asli sehingga aliran yang didirikannya sangat memberi tekanan pada teks-teks suci. Aliran ini berkembang pesat di Cina terutama pada masa Hui Neng (838-713 M.) karena mengaku mendapatkan ajarannya  langsung dari Sakyamuni . dalam perkembangannya kemudian , aliran ini  masuk dan berkembang di Jepang menjadi Zen dan berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Cina maupun Jepang sampai sekarang.

Aliran Vinaya, didirikan oleh Too Hsuan (595-667M), yang menekankan ajarannya pada pelaksanaan vinaya secara ketat. Menurut aliran ini, pengingkaran terhadap dunia dan kesusilaan merupakan kondisi kehidupan sang Buddha. Oleh karena itu aliran ini menekankan pada kehidupan mistik dan membiara. Aliran  Ching-tu atau tanah putih, yang didirikan oleh Hin Yuan dan T’an Lun. Ajarannya didasarkan pada kitab Amithayadhana, sebuah kitab yang merupakan kelanjutan dari kitab Sukhau Zatiyuha. Aliran ini menekankan pada pemujaan terhadap Amida Atau Amitaba yang mewujudkan diri dalam Dewi Kwan In

Aliran Chen Yen yang bercorak esoteris dan banyak mempergunakan mantram  atau diagram magik dalam mencapai tingkat kebuddhaan; Aliran T’ien T’ai yang didirikan oleh Chih-Yi, seorang ahli tafsir atau kitab kitab sutra, dengan ajaranya yang menekankan pada dharma dan meditasi dan yang lain sebagainya.

o   Budha di thailand dan di jepang (topik 10)
Buddhisme di Thailand
Agama Buddha berkembang di Siam (sekarang disebut Thailand) sudah sejak awal abad pertama atau kedua Masehi. Hal ini diketahui berdasarkan hasil penggalian arkeologi di Phra Pathom (kira-kira 50 kilometer sebelah barat Bangkok) dan Pong Tuk (sebelah barat Phra Pathom) berupa rupaṁ Buddha serta lambang agama Buddha yaitu dhammacakka.Selain itu, juga dijumpai reruntuhan bangunan serta pahatan bagus yang oleh para ahli diduga berasal dari pengaruh jaman Gupta (India) serta diduga merupakan peninggalan dari Dvaravati. Dvaravati adalah suatu kerajaan yang makmur pada jaman Huang Tsang, yaitu bagian pertama abad ke-7 M.Pada abad ke-8 atau 9, Thailand dan Laos secara politis merupakan bagian dari Kamboja serta dipengaruhi oleh keadaan kehidupan beragama dari kerajaan Kamboja, dimana agama Brahmana dan agama Buddha hidup berdampingan. Pada pertengahan abad ke-13, terjadi perubahan politik sehingga Thailand yang menguasai seluruh wilayah Thailand dan Laos serta mengakhiri supremasi politik Kamboja di wilayah tersebut. Di bawah penguasaan Thailand, agama Buddha Theravāda dan bahasa PāỊi kembali berjaya di Thailand dan Laos.Raja Thailand, Sri Suryavamsa Rama Maha Dharmikarajadhiraja, bukan hanya sebagai seorang penguasa yang mendorong pengembangan agama Buddha, tetapi beliau juga adalah seorang bhikkhu yang aktif menyebarkan Dhamma ke seluruh negeri. Pada tahun 1361, Raja Thailand mengirim sejumlah bhikkhu dan ācariya ke Ceylon serta mengundang Mahasami Sangharaja dari Ceylon untuk berkunjung ke Thailand. Atas prakarsa dan kegiatan raja, maka agama Buddha dan bahasa PāỊi berkembang luas mencakup kerajaan-kerajaan kecil Hindu di wilayah Laos seperti Alavirastra, Khmerrastra, Suvarnagrama, Unmargasila, Yonakarastra, dan Haripunjaya. Sejak saat itu, agama Buddha mulai menyebar dan agama Hindu mulai memudar.Meskipun Thailand mendapatkan pengaruh agama Buddha yang mendalam dari Cyelon, namun hal tersebut telah dibayar kembali oleh Thailand, dimana raja Thailand mengirimkan rupaṁ Buddha dari emas dan perak, salinan kitab-kitab suci agama Buddha serta sejumlah bhikkhu ke Ceylon. Dari peristiwa tersebut, dapat diartikan bahwa pada waktu itu Ceylon mengakui Thailand sebagai negeri yang memiliki agama Buddha dalam wujud yang murni.
            Pada masa pemerintahan raja Rama I (1789) telah ditulis sebuah kitab tentang sejarah pembacaan kitab suci (History of Recitals) oleh seorang bhikkhu dari kerajaan, yaitu Somdej Phra vanarat (Bhadanta Vanaratana). Dalam kitab tersebut, Bhikkhu Bhadanta Vanaratana menyebutkan sembilan Saṅghayāna dalam agama Buddha (Theravāda). Sidang saṅgha tersebut diselenggarakan tiga kali di India ( tiga sidang yang pertama), empat kali di Ceylon (sidang yang ke-4, 5, 6, dan 7) serta dua kali di Thailand (sidang yang ke-8 dan 9).Saṅghayāna ke-8 di Thailand berlangsung pada masa pemerintahan Raja Sridharmacakravarti Tilaka Rajadhiraja, penguasa Thailand bagian utara, diselenggarakan di Vihāra Mahābodhi Ārāma, Chiengmai, selama satu tahun penuh antara tahun 1457 dan tahun 1483, sedangkan Saṅghayāna ke-9 (menurut versi Thailand) berlangsung pada tahun 1788 setelah terjadi perang antara Thailand dengan negeri tetangganya. Dalam peperangan tersebut ibukota Ayuthia (Ayodhya) hancur terbakar, banyak kitab dan kitab suci Tipiṭaka telah menjadi abu. Raja Rama I dan saudaranya sangat prihatin atas keadaan saṅgha. Dan setelah mendengar pendapat para bhikkhu, kemudian diselenggarakan Sidang Saṅgha (Saṅghayāna) yang dihadiri oleh 218 Thera dan 32 Ācariya dan selama satu tahun membacakan kembali kitab suci Tipiṭaka. Selama dan sesudah Sidang Saṅgha, dilakukan rehabilitasi bangunan vihāra dan pagoda, serta dibangun juga bangunan-bangunan baru.
 Buddhisme di Jepang
Agama Buddha diperkenalkan di Jepang pada abad ke-6 setelah ketika para bhiksu Cina melakukan perjalanan ke Jepang sembari membawa banyak kitab-kitab suci dan karya seni. Agama Buddha lalu dipeluk menjadi agama negara pada abad selanjutnya.Karena secara geografis terletak pada ujung Jalur Sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang dari India dan ditindak di Asia Tengah serta Tiongkok.Dari kurang lebih tahun 710 banyak sekali kuil dan vihara dibangun di ibu kota Nara, seperti pagoda lima tingkat dan Ruang Emas Horyuji, atau kuil Kofukuji. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak terhitung dan seringkali dengan sponsor pemerintah. Pembuatan seni Buddha Jepang mencapai masa keemasan antara abad ke-8 dan abad ke-13 semasa pemerintahan di Nara, Heian-kyō, dan Kamakura.Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari China. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-e dan ensō) dan puisi (khususnya haiku
Aliran-Aliran Buddhisme di Jepang
Ada aliran Agama Buddha yang memiliki  penyebutan mantera agung Nammyohorengekyo ,mantra agama Buddha ini adalah agama Buddha aliran Jepang berikut ulasannya:
Sebelum tersebar ke Jepang, Agama Buddha terlebih dulu tersebar luas di semenanjung Korea dan daratan China. Di China, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharmapundarika-sutra. Dalam bahasa Cina Saddharmapundarika-sutra disebut Miao Hua Lien Hwa Cing dan dalam bahasa Jepang dibaca Myohorengekyo. Sutra Saddharmapundarika adalah ajaran Buddha Sakyamuni mazhab Mahayana. Dari China, Myohorengekyo atau Saddharmapundarika-sutra lalu disebarkan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Aliran Niciren Syosyu didirikan di Jepang oleh Buddha Niciren Daisyonin berdasarkan Saddharmapundarika-sutra. Niciren Daisyonin menandai lahirnya aliran ini dengan penyebutan mantera agung Nammyohorengekyo untuk pertama kali pada 28 April 1253. Nammyohorengekyo terdiri dari kata Namu (bahasa Sanskerta ‘Namas’ yang berarti memasrahkanjiwaraga)danMyohorengekyo. Buddha Niciren Daisyonin terlahir dengan nama Zennichi Maro pada tanggal 16 Pebruari 1222 di desa kecil Kominato Propinsi Awa (sekarang daerah Ciba) Jepang. Sejak usia 12 tahun Zennichi Maro masuk ke kuil untuk menjadi bhiksu. Pada usia 16 tahun dia ditahbiskan menjadibhiksu
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka Bhiksu Renco mendapatkan kesadaran bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah Ajaran Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidupnya. Sejak itu Bhiksu Renco disebut Niciren Daisyonin.
o   Aliran Hinayan dan Mahayana ( topik 11)
A.    Aliran Hinayana

Kita mulai dengan pengertian dari kata Hinayana. Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hinayana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta.
Hinayana berarti ( kereta kecil atau kurang berusaha, jalan kecil atau aliran selatan).[36]
Hinayana terdiri dari hina (kecil) dan yana (kendaraan) sering disebut sebagai  “kendaraan kecil” karena bertujuan menjadi arahat maupun paccekabuddha yang dianggap lebih rendah (inferior). Istilah Hinayana sendiri sebenarnya merupakan istilah yang diberikan oleh kaum Mahayana. Pengikut aliran Hinayana tersebar mulai dari Srilanka, Burma, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos.
Tradisi yang berkembang selama berabad-abad telah mengubah praktek sempit aliran Hinayana yang pada awalnya hanya ditujakan untuk bikhu. Hinayana menjadi aliran yang besar dengan dikenal ditengah masyarakat. Para bikhuni terus menekuni ajaran guna mencapai tingkat arhat. Namun metode baru berkembang untuk perumah tangga (umat awam) dalam mempraktikkan ajaran agama Buddha, meskipun mereka tinggal bersama keluarga, memiliki harta dan mengejar karir. Aliran Hinayana mengajarkan kepada pengikutnya untuk hidup sesuai ajaran, puas dengan apa yang diperoleh, dan hidup bahagia dengan janji bahwa mereka akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan dalam kehidupan selanjutnya (Simkins dkk, 2000:24).
Kata Hinayana berasal dari dua kata, yaitu ”hina” dan ”yana”. Kata ”yana” berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata ”hina” adalah lawan dari kata ”maha”. Padahal bila kita menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pali, lawan kata dari kata ”maha” yang berarti besar bukanlah ”hina” tetapi kata ”cuula” yang berarti ”kecil”. Lalu apakah arti kata ”hiina”? Kata ”hina” sendiri berarti rendah, buruk, amoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan kata ”hina” dalam kosakata Indonesia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.
Dalam teks Pali dan komentar lainnya, hiina sering digunakan dalam kombinasi kata hiina-majjhima-pa.niita, yaitu : buruk – menengah – baik. Dalam konteks hiina- majjhima-pa.niita (atau kadang hanya hiina- pa.niita), kata ”hiina” selalu digunakan sebagai suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata ”hina” berarti ”rendah, yang harus dihindari, tercela”, dan bukannya ”kecil” atau ”kurang”.[37]
Dalam pokok ajarannya Hinayana Mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalam kitab-kitab kanonik. Jika ajaran ajaran itu di ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:
1.      Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yng berada hanya sesaat saja disebut Dharma. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yang tetap berpikir, sebab yang ada adalah pikiran. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.
2.      Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran Dharma yang terus-menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang palsu.
3.      Tujuan hidup ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal berada di dalam Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
4.      Cita-cita yang tertinggi ialah menkjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada kelahiran kembali.

Kitab Suci Hinayana:
Kitab suci aliran ini dikenal sebagai Pali Canon. Kitab suci ini kemudian dibagi menjadi tiga bagianyang disebut Tipitaka (“tiga bakul”):
Ø  Vinaya Pitaka, berbicara mengenai Sangha.
Ø  Sutta Pitaka, terdiri dari bermacam-macam ceramah yang diberikan oleh Buddha.
Abhimdhamma Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha
 
B.     Aliran Mahayana

Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah Bhodhisattwa dan Sunyata karena kedua kata itu hampir terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.
Secara harfiyah Bodhisattwa berarti orang yang hakikat atau taiatnya adalah Bhodhi (hikmat) yang sempurna.
Berkaitan dengan cita-cita tentang Bodhisattwa ini, di dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta, yaitu bahwa kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentingan orang lain. Orang yang mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah barang tentu berlainan sekali dengan ajaran agama Buddha kuno, yang mengajarkan bahwa hidup seseorang terpisah dari hidup orang lain.
Di dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bodhisattwa tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam keadaan  yang tidak menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bodhisattwa tidak diharuskan menyangkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup seperti apa adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan, dan kekuasaan.
Demikianlah cita-cita hidup di dalam Mahayana berbeda sekali dengan cita-cita hidup di dalam Hinayana.
Hal yang kedua, yang memberi ciri Mahayana adalah ajaran tentang Sunyata, yang artinya kekosongan
Kosong (sunyata) berarti: tidak ada yang mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti, bahwa tiada pribadi (yang mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tidak ada yang dapat diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong, melainkan juga Nirwana bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran yang tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tak dapat dijadikan sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat dipegang, seandainya ia dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak tidak memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan yang lain.
Di dalam perkembangannya Mahayana mengalami bermacam-macam pengaruh, di antaranya dari gerakan Bakti dan dari aliran Tantra.
Bakti adalah penyembahan pribadi yang berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk manusia. Sejak abad petama Masehi, Bakti mempengaruhi agama Buddha, dan makin lama pengaruh itu makin kuat. Karena timbulnya unsur penyembahan ini berubalah keterangan tentang ajaran mengenai tempat perlindungan orang Buddhis. Di dalam agama Buddha Hinayana, Triratna, yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha, menjadi tempat perlindungan. Akan tetapi di dalam Mahayana tempat perlindungan itu ialah para Bhudda, anak-anak Buddha atau Bodhisattwa dalam arti yang luas dan Dharmakaya. Demikianlah di dalam Mahayana timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan secara mitologis.
Ajaran tentang banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha, atau lima  unsur yang menyusun hidup manusia. Semula diajarkan, bahwa manusiaterdiri dari lima skandha, yaitu:  rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjna (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan, dsb.), dan wijnana (kesadaran). Ajaran ini diterapkan terhadap diri Buddha sendiri. Diajarkan, bahwa Buddha juga terdiri dari lima skandha, dan tiap skandha adalah seorang tokoh Buddha, yang disebut Tathagata. (Di Tebet disebut Jina. Kelima Tathagata itu ialah Wairoscana (Yang menerangi atau Yang Bersinar), Aksobhya (Yang Tenang, tak terganggu), Ratnasambhawa (Yang Dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang yang kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan yang tak binasa). Para Tathagata ini berbeda sekali keadaannya dengan Buddha yang biasa. Para Tathagata adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha yang biasa menjadi manusia.
Perkembangan lebih lanjut adalah demikian, bahwa para Tathagata itu dihubungkan dengan penjuru alam. Lima Tithagata itu dipandang bersama-sama membentuk tubuh alam semesta. Demikianlah Aksobhya dipandang berkuasa di sorga sebelah timur, Ratnasambhawa di selatan, Amitabha di barat, Amoghasiddhi di utara, dan Wairocana di tengah-tengah langit.
Pengaruh Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha yang pertama, yang dipandang sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada di dalam  Nirwana.
Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari sunyata, kekosongan. Dengan lima macam permenungan (dhyana) sang Adhi Buddha mengalir dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhyana Buddha, yaitu: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amoghasiddhi. Para Dhyani Buddha ini dipandang menguasai daerahnya sendiri-sendiri, yang disebut Buddha-ksetra. Daerah-daerah itu ada yang digambarkan seperti alam yang murni dan ada yang kurang murni, sesuai dengan tugas Dhyani Buddha masing-masing. Di dalam daerahnya itu masing-masing mengajarkan Dharmanya kepada para makhluk dan menolong manusia untuk mendapatkan pencerahan.
Dengan daya pengetahuan serta permenungannya para Dhyani Buddha melahirkan lima Bodhisattwa, yang disebut: Dhyani Bodhisattwa, yaitu Wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhya melahirkan wajrapani, Ratnasambhawa melahirkan Ratnapani, Amitabha melahirkan Padmapani atau Awalokiteswara dan Amohasiddhi melahirkan Wispapani. Para Dhyani Bodhisattwa ini adalah pencipta alam bendani. Dunia yang mereka jadikan dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang sekarang adalah dunia yang keempat, hasil karya Awalokiteswara, yang memiliki Amitabha sebagai pelindungnya.
Akhirnya para Dhyani Bodhisattwa memantulkan diri pada lima Buddha dalam bentuk manusia, yang disebut: Manusia Buddha, yaitu secara beruntun: Krakucchanda, Kanakamuni, Kasyapa, Sakyamuni, dan Maitreya. Mereka adalah guru utusan para Dhyani Bodhisattwa.
Kesatuan ajaran tentang Buddha yang bermacam-macam itu didapatkan dalam ajaran tentang tiga tubuh Buddha (trikaya).
Ketiga tubuh itu adalah: Dharmakaya, Sambhogakaya, dan Nirmanakaya. Dharmakaya adalah tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaan sorgawi Dharmakaya dan Nirmanakaya adalah tubuh penampakan, emanasi (pengaliran), transformasi atau pemantulan tubuh sorgawi, yaitu tubuh yang tampak pada tiap Manusia Buddha.
Di dalam agama Hindhu, Dharmakaya adalah Brahman, yang tanpa waktu dan tanpa sifat, sedang Sambhogakaya direalisasikan dalam bentuk Iswara. Adapun Nirmanakaya adalah penampakan Iswara dalam Awataranya atau penitisannya.
Sebutan lain dari Dharmakaya adalah Swabhawakaya atau tubuh yang menampakkan tabiat atau hakikatnya sendiri, jadi sama dengan apa yang di dalam agama Hindhu disebut Swarupa, bentuknya sendiri. Selanjutya Dharmakaya juga disebut Sunya, yang kosong Nirwana, kelepasan yang kekal, Bodhi, hikmat, Prajna, hikmat ilahi, Tathagatagarbha, kandungan Tathagata, dan sebagainya. Dari sebutan-sebutan itu jelaslah bahwa Dharmakaya adalah suatu asas jiwani, yang meliputi segala sesuatu, yang tak terselidiki. Kadang-kadang Dharmakaya dipersonifikasikan sebagai Adhi Buddha, kadang-kadang sebagai Wairocana, jika Wairocana dipandang sebagai Buddha yang tertinggi..
Prajnaparamita (sakti) dipandang sebagai satu dengan Dharmakaya, sama seperti sakti adalah satu dengan Siwa. Oleh karena itu, maka Prajnaparamita dipandang juga sebagai “kebuddhaun”, tempat tiap Bodhisattwa dilarutkan, atau menjadi fana. Selanjutnya Prajnaparamita juga dipandang dengan Ibu-Buddha, yang mengandung Buddha, yang menjadi sumber segala sesuatu yang ada, baik jasmani maupun rohani.
Sambhogakaya adalah penjelmaan Dharmakaya dalam alam sorgawi. Di situ Sambhogakaya dipandang sama dengan para dewa di sorga, yang memiliki namarupa, tetapi yang mahatahu, yang berada dimana-mana dan mahakuasa. Buddha dalam arti ini dapat disamakan dengan Iswara di dalam agama Hindu, yang dapat disembah dengan bermacam-macam sebutan, seperti misalnya: Siwa dan Wisnu. Di dalam agama Buddha Mahayana, Buddha-buddha ini disebut Dhyani Buddha.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam sorganya Sukhawati di sebelah barat. Sebagai juru selamatnya atau Dhyani Bodhisattwanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau Utusannya adalah Gautama. Akhirnya, Nirmanakaya, adalah daratan Buddha yang tampak mengalir atau dipantulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakkan oleh Sakyamuni atau Gautama, setelah ia menjadi Buddha.
Demikianlah ajaran tentang Trikaya mempersatukan Buddha yang bermacam-macam tadi. Tiap Buddha mendapat bagian dari tabiat Trikaya itu. Hakikat Buddha yang sebenarnya adalah Budhi, pencerahan.[38]
Kitab Suci Mahayana:
Kitab suci Mahayana pada masa-masa awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta, yaitu bahasa India pertama. Kebanyakan isinya dapat dijumpai dalam Pali Cannon tetapi dengan penambahan kitab-kitab lalinnya. Dinyatakan bahwa kitab-kitab tambahan ini dipercaya sebagai “sabda Buddha”. Salah satu diantanya yang paling terkenal ialah Vimalakirti Sutra, yang berisi tentang seseorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci daripada semuanya Bodhisattwa.
Umat buddha Tibet percaya bahwa banyak Kitab Suci masih tersembunyi sampai komunitas Buddha siap menerima dan mengerti ajarannya. Kitab-kitab Suci ini masih ditemukan dewasa ini, yang dipergunakan secara luas adalah Tibetan Book of the Dead.[39]
C.    Perbandingan, Perbedaan dan Persamaan Hinayana dan Mahayana
Perbandingan Antara Hinayana dan Mahayana
a)      Dalam Hinayana adalah berdasarkan etika dan sejarah, dalam Mahayana adalah keagamaan dan metafisika, adalah suatu fase belakangan dari Budhism
b)      Dalam Hinayana Kitab Sucinya berbahasa Pali dan kemudian campuran Sanskrit, sedangkan Mahayana murni dalam bahasa Sanskrit.
c)      Hinayana konsepsinya mengenai non-ego (anatman) yaitu pencampuran dari lima unsur atau elemen (Panca Skandha) yang terus berubah (anitya) atau sementara (ksanika)
d)     Dalam Hinayana Pembebasannya (Nirvana) ialah bersifat individu tapi harus dicatat bahwa pada waktu yang bersamaan itu bukanlah merupakan penghancuran melainkan keadaan kekal, damai, bahagia dan baik sekali, sementara dalam Mahayana Nirvana adalah perolehan dari kesempurnaan pengetahuan yaitu Prajnaparamita
e)      Dalam Hinayana diperoleh dengan pembersihan atau pemberantasan mengenai kekotoran batin disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya), sedangkan Mahayana pembebasannya tidak hanya dengan pemberantasan mengenai kekotoran batin yang disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya) tapi juga pembasmian mengenai ketidakjelasan mengenai ketenangan yang abadi, murni dan kekal (jneyavarana)
f)       Dalam Hinayana pengikutnya dikenal sebagai Sravaka, yang mencari ke-arhat-an pada akhir masa kehidupannya yaitu Nirvana, sedangkan Mahayana pengikutnya dikenal sebagai Bodhisattwa, yang diajarkan untuk memperoleh Bodhi-pranidhi-citta dan Bodhi-prasthana-citta
g)      Dalam Hinayana umat awamnya adalah yang terutama sebagai penunjang sangha dengan memberikan hadiah-makanan, pakaian, dan membangun Vihara untuk tempat tinggal Bhiksu. Mereka semata-mata pendengar khotbah yang disampaikan Bhiksu dan pengamat 5 atau kadang-kadang 8 aturan sila, sedangkan dalam Mahayana umat awamnya dicalonkan sebagai Bodhisttwa yang mempunyai tugas seperti yang dijelaskan di atas
h)      Menurut Hinayana, Budha hanya muncul satu kali dalam satu kalpa, sedangkan menurut Mahayana semua mutlak mempunyai sifat dasar atau benih-benih Budha, secara teknis dikenal sebagai Tathagata-garbha yang merupakan tempat perpaduan ke dua-duanya yang baik dan buruk, dan hanya bilamana yang buruk itu dibasmi secara total, maka dia akan menjadi Tathagata
i)        Mahayana, konsepsi Madhyamika dan yogacara menganggap makhluk dunia dan obyek adalah tidak kekal, sementara (ksanika) dan karena itu mereka sebenarnya non-eksistensi (sunya) atau kesadaran murni secara mutlak
j)        Menurut konsepsi Hinayana mengenai kebenaran tertinggiialah hanya Pudgala-sunyata dan Dharma-sunyata
k)      Menurut Hinayana mengenai 4 tingkatan kesucian atau jana yaitu: Sotapatti, Sakadagami, Anagami, dan Arahatta, sedangkan Mahayana 10 tingkat atau Dasa-Bhumi (menurut Bodhisattva-Bhumi ada12) mulai Bodhisattva melewatinya untuk memiliki pembebasan sempurna dan menjadi Budha.[40]
Perbedaan Aliran Hinayana dan Mahayana
a)      Perbedaan di dalam Interpretasi mengenai Pratityasamutpada
b)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Nirvana
c)      Perbedaan di dalam tujuan akhir
d)     Perbedaan yang berhubungan dengan usaha untuk mencapai Nirvana
e)      Perbedaan yang berhubungan dengan penghapusan mengenai avaranas atau rintangan
f)       Perbedaan di dalam konsep mengenai Dharma
g)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Buddhology
h)      Hinayana Intelektual, Mahayana Intelektual juga bakti-puja
i)        Hinayan pluralistik, Mahayana non-dualistik
j)        Hinayana rasionalistik, Mahayana ghaib.
Persamaan Aliran Hinayana dan Mahayana
a)         Memusnahkan kemelekatan, kebencian, dan khayalan atau ilusi.
b)        Dunia tiada permulaan atau awal (anamataggo-ayam-samsaro) begitu juga akhir.
c)         Empat kesunyataan Mulia atau kebenaran utama, dukkha, samudaya, nirodha, marga dan 8 jalan Utama.
d)        Semua makhluk dunia dan obyek adalah tidak kekal (anitya), bersifat sebentar (ksanika)dan di dalam keadaan terus-menerus berubah (santana), dan tanpa adanya sesuatu subtansi nyata (anatmakam).
e)         Hukum sebab-akibat yang saling bergantungan (pratitya-samutpada) adalah berlaku secara universal.
D.    Ritual dan Praktek Budha Hinayana dan Mahayana
Ritual dan Praktek Budha Hinayana
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yang menganut aliran ini, masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25 abad yang silam.
Penganut-penganut Hinayana menitik-beratkan meditasi untuk mencapai penerangan sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedangkan yang lain-lain itu tidak menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kuranng dianggap penting dan bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan ikatan-ikatan yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan batin.[41]

Ritual dan Praktek Budha Mahayana
Di dalam Mahayana, terdapat banyak sekali upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan Mahayana lebih menitik-beratkan kebaktian pada Sang Triratna yaitu Sang Buddha, Dhamma dan Sangha.
Mahayana dapat memuaskan mereka, yaitu rakyat biasa yang sederhana jalan pikirannya. Dengan hati yang sujud dan penuh bakti, mereka melakukan kebaktiannya kepada para suci, dan dengan jalan ini mereka mendapatkan kebahagiaannya.
Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dhamma atau kesunyatan dan kebajikan untuk pembebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana.
Baik dalam aliran Hinayana maupun Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang agak berlainan.
Dalam aliran Mahayana banyak sekali para Boddhisattva Mahasattva yang dipuja seperti Avalokitecvara, Maitreya, Amitabha Buddha, dll. Sedangkan dalam Hinayana tidak.[42]

o   Aliran tantrayan , mamnntrayan dan vajrayana (topik 12)
B. Aliran Tantrayana
Secara umum Tantrayana juga dapat dikatakan bagian dari mahayana, karena ada beberapa bagian dari  inti filsafat mahayana yang di terangkan secara Esoterik dan penuh sibolis , seperti, ; sunyata bodhicita, tathata, vijnana[43]
Para misionaris Barat sangat kagum setelah mempelajari mazhab tantrayana, karena terdapat konsepsi maupun ide-ide religi serta filsafat yang sangat kenal, berlainan dengan konsepsi maupun ide yang mereka kenal sebelumnya.
Tantrayana di Tibet berkembang hingga menjadi tiga periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini).
Mazhab Tantrayana,baik Tantra Barat maupun Tantra Timur disebut esoterik (rahasia/tersembunyi), karena dalam penyebarannya tidaklah bersifat terbuka. Tantra diajarkan oleh seorang guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian[44]
v  Kitab Suci Mazhab Tantrayana di Tibet

Mazhab Tantrayana di Tibet memiliki naskah terjemahan kitab suci yang kebanyakan berasal dari India dan terdiri lebih dari 4.566 naskah. Kumpulan naskah dalam bahasa Tibet tersebut digolongkan dalam dua bagian, masing-masing :
Bkahgyur(dibaca Kanjur) yang sebahagian besar adalah terjemahan dari bahasa Sanskerta dan sebahagian kecil terjemahan dari bahasa mandarin, terdiri dari 3.458 naskah serta dihimpun dalam tiga bagian, yakni :
1.      Dulva (Vinaya), terdiri dari 13 bagian, merupakan peraturan-peraturan,disiplin, tata tertib untuk anggota Sangha.
2.      Do (Sutra), terdiri dari 66 bagian yang mencatat ajaran Hyang Buddha, seperti halnya dalamsutra-sutra canon pali dan sutta-sutta kanon sanskerta dan selalu diawali dengan "Demikianlah yang saya dengar".
3.      Chon non pa (Abhidhamma), terdiri dari 21 bagian yang merupakan pelajaran filsafat dan pembahasan dari ajaran Hyang/Sang Buddha.
Bstanghyur (dibaca Tanjur), merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) yang dihimpun dalam dua kitab :
1.      Tantra (Rgyud), terdiri dari 22 bagian yang berisi doa-doa,dharani-dharani, mudra, mandala dan lain-lainnya.
2.      Sutra, merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) dari Do (sutra).[45]
Tantra terpisah dari Mahayana dalam hal pendefinisian tujuan dan tipe manusia ideal dan juga dalam cara pengejaran. Tujuannya masih sama, yaitu Kebuddhaan, walaupun tidak lagi terjadi di masa depan, berkalpa-kelpa kemudia, tetapi saat ini, “dengan tubuh ini”, “dalam satu piiran” yang diperoleh secara ajaib dengan cara-cara yang baru, cepat, dan mudah. Orang suci yang ideal sekarang adalah Siddha atau ahli mukjizat, walaupun agak mirip dengan Bodhisattwa yang telah melewati tahap kedelapan dengan kekuatan-kekuatannya yang ajaib dan berkembang sempurna.
Tantra, walaupun secara jelas menggabungkan doktrin dari sekte-sekte yang lebih dahulu, berbeda secara radikal dari mereka semuanya di dalam mengenai bukan dengan perluasan teori yang lebih lanjut dari doktrin-doktrin ini, tapi dengan penerapan metode menuju pada realisasi realitas dari mana mereka adanya namun simbol konseptual. Jadi Tantra memiliki sebegitu banyak pada bidang menguasai doktrin sebagaimana pada bidang menguasai metode. Tradisi-tradisi Buddhist yang ada diterima sebagaimana adanya, asalkan bukan sebagai suatu titik awal untuk tindakan. Lebih daripada setiap sekte lainnya, Tantra mewakili segi latihan mengenai Buddhism, dan karena alasan ini, jadi Dr. Herbest V. Guenter sangat menekankan [46]
‘Itulah di dalam Tantra bahwa Buddhism menemukan kemekaran dan peremajaan lagi yang konstan’.
Tetapi walaupun Tantra berarti tindakan, dan karenanya untuk kekuatan di dalam semua modenya, itu tidak berarti tindakan secara umum, yang akan lebih baik dimiliki hanya aktivitas, tapi terutama untuk ritual atau perbuatan sakral. Di dalam prinsip ringan yang fundamental ini, dasar ‘kebenaran bagi eksistensi’ lebih dari penekanan Tantra dengan ciri-cirinya secara jelas diperlihatkan.
Pentingnya aspek dan tradisi yang permulaan di mana memberikan dasar teori yang paling dekat mengenai kesakramenan Tantra; dikarenakan, sebagaiman Conze mengamati secara dekat;
‘jikalau Tantra mengharapkan keselamatan dari perbuatan suci, itu haruslah mempunyai suatu konsepsi mengenai Alam Semesta yang menurut perbuatan seperti itu dapatlah pada pengangkatan pembebasan’.
yang tidak terhitung semua mewakili baik aspek yang berbeda mengenai Realitas atau tingkatan yang berbeda mengenai Jalan Transendental, dihubungkan tidak hanya dengan suatu kumpulan (skandha) dari milik mereka, tapi juga dengan suatu kumpulan yang penting ‘mantra, mudra, unsur (elemen), arah, hewan, warna, indera-perasaan, bagian dari tubuh dan sebagainya. Tantra adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan daripada sekte lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai ajaran bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam, karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah eksoterik melainkan esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang kotor.[47]
Pada jaman sekarang, Tantrayana lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Hal ini tidaklah mengherankan, karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.

C.  Aliran Mantrayana

Bahwa Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain dari pada yang ditawarkan oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai merumuskan berbagai jalan kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga oleh agama Hindu[48]
Pada mulanya perkembangan Mantrayana ini merupakan reaksi alami terhadap tren sejarah yang makin tidak sesuai dan mengancam kepunahan agama Buddha India. Untuk mempertahankan dan melindungi diri, penganut-penganutnya semakin banyak menggunakan kekuatan mukjizat dan meminta pertolongan dari makhluk-makhluk luhur, yang keberadaan sebenarnya telah dibuktikan oleh mereka sendiri melalui pelaksanaan meditasi trans. Di antara ini, perhatian besar ditunjukkan kepada makhluk luhur berpenampilan menyeramkan, seperti “Pelindung Dharma”, yang disebut juga vidyaraja, “raja adat dan pengetahuan yang suci” yang bermaksud baik tetapi menampilkan wajah yang megerikan untuk melindungi orang yang percaya. Menarik juga untuk dicatat bahwa untuk mendapatkan perlindungan, umat Buddha pada masa itu mengandalkan makhluk-makhluk luhur feminin. Sekitar tahun 400 M, Tara dan Prajnaparamita dipuja sebagai Bodhisattwa Kosmis[49].
Hal ini berarti bahwa dalam setiap usaha untuk membentuk suatu Mandala haruslah memiliki suatu nilai praktis yang mempengaruhi prilaku perseorangan (carya). Mantrayana ini juga memiliki sikap yang tegar menentang segala bentuk khayalan dan menumbuhkan bodhi sebagai lawan dari nirodha. Kesemua hal ini, dilaksanakan untuk mencapai langkah terakhir yakni guru yoga sebagai sarana kekuatan untuk mengatasi diri seseorang.

D. Aliran Vajrayana
ledakan kreatif  dari tantra permulaan menuju  suatu asumsi yang kompleks  tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu adalah Vajrayana yang menentukan tata cara mengenai banyak  sekali tradisi yang luas dalam taraf permulaan yang telah berkembang.[50]
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya. Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Menurut Wang Shifu, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran
yang berkembang dari ajaran BuddhaMahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan visualisasi[51].
Adapun tujuan akhir dari pada Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung. Oleh karena tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama BuddhaTibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha Sakyamuni yang amat cocok untuk di praktikkan oleh umat perumah tangga, umat yang hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup sebagai bhiksu di vihara Vajrayana.
Dalam ajaran Vajrayana, sekte menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
Sekte Gelugpa: pendirinya adalah Tsongkhapa (1357-1419) lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat, dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan
·         Kadampa sebagai pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu Atisha Dipamkara.
·         Sekte Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray (Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya.
·         Sekte Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa (1079-1133). terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam tradisi Kagyu. Sekte Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[52]

v  Ritual dan Praktek

A.    Tantrayana
Perdebatan yang ada dalam aliran mahayana tidak terletak  pada ada tidaknya  esensinya, namun hanya terbatas pada pemahaman tentang sifat dari dharmakaya  itu sendiri.  Kebanyakaan sutra menggambarkan dharmakaya  sebagai sesuatu yang  impersonal,  bukan pribadi dan bukan tidak  pribadi.  Pada naskah-naskah yang lain dharmakaya di kenal sebagai  personal dan kepadanya  di beri sifat-sifat  yang baik.  Khusus dalam aliran Tantrayana, dharmakaya disembah  sebagai budha primodial atau Adi Budha.[53]
Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.[54]
B .Mantrayana

Bagi Mantrayana  di ketemukan suatu dasar yang dogmatis –filosofis  karena orang menganut suatu ajaran  mahatunggal  yang konsekwen. pastilah di dalam lingkungan perbuatan-perbuatan magis, bahwa di dalam ajaran mahatunggalpun , Mahayana bertindak  sebagai persiapan bagi mantrayana.  ajaran mahatunggal ini  di ajukan di dalam ini; bahwa orang mulai berbicara  tentang suatu “Maha-Budha ” , yang bentuk pertanyaanya berupa alam semesta,  seluruh dunia  dengan segala isinya. Alam semesta itu manifestasi  dari dharmakaya.[55]
Langkah pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni
§  Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
§  Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa sansekerta yang berarti pesona. Langkah berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri dari :
§  Dana Paramita: Perbuatan luhur tentang amal secara materi maupun spiritual.
§  Sila Paramita: Perbuatan luhur tentang kehidupan bersusila.
§  Kshanti Paramita: Perbuatan luhur yang dapat menahan segala macam penderitaan.
§  Virya Paramita: Perbuatan luhur mengenai keuletan dan ketabahan.
§  Dhyana Paramita: Perbuatan luhur mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
§  Prajna Paramita: Perbuatan luhur mengenai kebijaksanaan.

C .Vajrayana
Dalam ajaran Vajrayana  yang berkembang di tibet,  kosmos di jelaskan alam kaitan mata angin: pusat, timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteris  di waliki oleh unsur-unsur yang berpasangan yang di wujudkan dalam bentuk tathaga pasanganya.[56]
Dalam Vajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Vajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penyapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh..
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.[57]
v  Perbandingan Ajaran ketiga Aliran di atas

Jadi, Konsep Mantra pada intinya didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara (sabda) sebagai sustu sumber kekuatan atau kekuatan itu sendiri, yang memiliki pengaruh kuat terhadap organisme manusia dan alam semesta. Ini berarti pengakuan akan adanya hubungan misterius tertentu antara evolusi kosmik dan suara. Begitu pula dengan Tantra, walaupun pada prinsipnya Tantra tidak bersifat spekulatif, dengan menerangkan berbagai tahapan kontemplatif yang harus dialami oleh seorang sudhaka sebelum mencapai pencerahan bathin, namun Tantra berpandangan bahwa penyamaan nirvana dengan samsara oleh Madhyamika adalah kebenaran dasari. Begitu pula halnya dengan Vajrayana, aliran ini lebih menekankan dengan silsilah yang berhubungan dengan sederetan dengan para Guru dari Hyang Budha[58].
v  Tantra Theravada
Garis-garis besar filsafat Tantrayana
Mazhab Tantrayana dikenal luas oleh dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik). Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu yang kelihatan).
Menurut umat Buddha mazhab Tantrayana ini, sesungguhnya Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal dari si pelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan Buddha.
o   Aliran nichiren soshu(Topik 13)
Nichiren Shōshū (日蓮正宗) adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang. Pendiri ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap oleh penganut aliran ini sebagai Sang Buddha pokok. Sekte ini merupakan salah satu dari sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang. Sekte Nichiren Shoshu ini berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang. Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai pendiri sekte Nichiren Shoshu.

A.    Sejarah Agama Buddha di Jepang
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan 853 atau 552 M. Ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa berbagai hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan dan terutama para dewa mereka[59].
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taisi (547-621 M) yang naik tahta pada 593 M., yang peranannya dalam agama Buddha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan agama Buddha sebagai agama negara, menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Ia mengirimkan para ahli Jepang ke Korea dan Cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 607 M ia mendirikankuil-kuil Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang.
a.       Ajaran-ajaran dari Nichiren Daishonin
1.      Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo berarti “Aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan kedalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang paling luhur”.
Dengan kata lain perkataan, kata-kata itu menyatakan pengabdian dirinya kepada realitas hidup semesta-terhadap hidup yang ada dimana-mana dalam alam semesta. Nichiren Daishonin berpendapat bahwa hanya bilamana manusia menjadi satu dengan hidup dari alam semesta dia benar-benar mencapai kebahagiaan mutlak, yang tak tergoncangkan (alam ke-Buddha-an).
2.      Gohonzon
Untuk memberi manusia biasa suatu barang pusat pemujaan yang jelas, Nichiren Daishonin menciptakan ‘Gohonzon’ diamanatkan kepada setiap orang yang percaya pada Nichiren Daishonin dan ajaran-ajarannya yang benar. Sebagai suatu benda pusat pemujaan bagi semua orang di mana saja, dia mengukir Dai-Gohonzon Agung, yang kini ditempatkan di ruang utama Sho-Hondo dari Diseki-ji, kuil utama Nichiren Shoshu. Siapa pun yang tawakal pada Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo kepadanya akan merasa roh perorangannya bergabung dengan roh semesta. Nam-myoho-renge-kyo bukan semata-mata bacaan; ini melibatkan doa-doa dan perbuatan-perbuatan pula.
3.      Teori ‘Kaidan’
Berdasarkan sejarah, kaidan adalah suatu balai Buddhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan. Dalam agama Buddhisme Nichiren Daishonin, ini mempunyai arti lebih banyak, merupakan tempat pusat pemujaan di mana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka untuk mengubah hidup mereka untuk perbaikan mereka sendri dan seluruh umat manusia dan membersihkan diri mereka dari karma yang menyedihkan melalui kekuatan Dai-Gohonzon yang maha besar.[60]
            Falsafah Buddhisme Nichiren; Nichiren Daisonin memperkembangkan teori-teori;
1.      Tentang hubungan antara budi dan zat dalam jasad hidup dan menghasilkan istilah-istilah khas untuk menerangkan teorinya. Kata Shikiko berarti semua zat atau semua fenomena fisik. Kata shimpo berarti kerja pikiran atau cara berpikir. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan atau funi. Shikishin: gabungan dari bagian-bagian pertama dari Shiki-ho dan Shim-po funi, karena itu berarti keutuhan dari budi dan zat. Teori ini mencapai perkembangannya yang paling halus berhubungan dengan gagasan bahwa jiwa hidup meresapi segala sesuatu.
2.      Tentang hubungan antara lingkungan dan jasad. Untuk mengerti ini perlu mengetahui dahulu istilah Shoho berarti pokok, kedudukan subyektif, atau jasad hidup yang merupakan pokok. Eho adalah obyek, kedudukan obyektif atau lingkungan; ialah, obyek tanpa mana subyek Shoho tak akan dapat merupakan shoho. Shoho dan Eho adalah dua dan meskipun demikian bukanlah dua; keduanya adalah terpisah namun tak dapat dipisahkan. Jika Shoho adalah badan, eho adalah bayangan. Gagasan akan suatu dunia yang sama sekali tak bernyawa adalah dua segi dari suatu barang. Teori Nichiren mengajarkan bahwa shoho dan eho tidak dapat dipisahkan karena keduanya adalah jalan bagaimana kehidupan pokok menunjukkan dirinya.
Lingkungan atau eho, mengandung syarat-syarat yang membawa hidup ke dalam perwujudan yang diberi sifat khusus dalam bentuk shoho itu. Dengan lain perkataan lingkungan (eho) dan bentuk kehidupan (shoho) karena itu tidak dapat dianggap dua barang terpisah oleh sebab jiwa hidup hadr di mana-mana di seluruh alam semesta dan merupakan zat dasar utama dari keduanya. Nichiren Daishonin menjelaskan tentang alam semesta sebagai diresapi dengan hidup telah berabad-abad mendahului pengetahuan ilmiah; selanjutnya penjelasan itu lama berselang mengajar bagaimana manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya, yang pada akhirnya adalah suatu bagian dari kehidupan semesta yang sama dari mana manusia pula merupakan suatu manifestasi. [61]
3.      Nichiren mengajarkan bahwa roh semesta meresapi segala sesuatu dalam alam semesta. Buddhisme tidak membuat perbedaan antara benda bernyawa dan benda tidak bernyawa tetapi membagi segala sesuatu di dalam alam semesta ke dalam wujud-wujud perasaan (ujo) dan tanpa rasa (hijo). Ujo berarti wujud yang mempunyai perasaan dan kesadaran; hijo berarti wujud-wujud tak mempunyai perasaan dan kesadaran. Ujo dapat mengandung hijo; ialah makhluk-makhluk perasaan mengandung unsur-unsur tanpa rasa. Dan hijo dapat menampilkan sifat perasa; meskipun emosi-emosi dan kesadaran masih dalam keadaan tidur, apabila diberi syarat yang tepat, makhluk-makhluk tanpa rasa dapat berkembang menjadi perasa. Wujud hayati dan nirhayati tidak lebih dari sementara, karena roh yang sama hadir di dalam perwujudan dalam kedua golongan. Bentuk hayati menampakkan hidup sedang berjalan, bentuk nirhayati menggambarkannya dalam keadaan latent.
Kesadaran Buddhist akan peresapan roh semesta pada semua perwujudan baik perasa maupun tanpa rasa, menuju ke kesadaran akan kekekalan hidup.
4.      Nichiren juga menguraikan tentang kesadaran manusia melihat dunia dengan berbagai cara yang dapat diringkaskan dalam tiga golongan pokok; 1. Pengamatan akan bentuk-bentuk sementara atau fenomena material (ketail), 2. Pengamatan akan kehampaan atau fenomena spiritual (kutai), 3. Pengamatan akan sifat hakiki dari benda-benda (chutai), yang menampakkan dirinya dalam kedua bentuk lainnya. In dikenal dengan teori santai. Ku dari Kutai adalah padanan dari kata Sunyata (skt.). pendek kata Ku berarti dunia kebenaran yang mutlak, tak terbatas yang tercapai dengan melampaui pandangan sesuatu yang relatif, hipotesis, konseptual, dan semua gagasan tentang eksistensi dan noneksistensi. Masing-masing dari ketiga cara itu mengandung kedua lainnya. Istilah en’yu-no-santai atau “jenis-jenis pengamatan, yang saling mengisi dan melengkapi” secara ringkas menyatakan persatuan ini. Teori ini diperkembangkan oleh Bhiksu Chih-i (538-597) pendiri sekte T’ien-t’ai Buddhisme d China. Di Jepang sekte Tendai (T’ien-t’ai) ddirikan oleh Bhiksu Saicho (767-822).[62]
5.      Ajaran Nichiren Daishonin juga berdasarkan dari Sekte T’ien-t’ai yakni Ichinen-Sanzen yang berarti secara harfiah ‘tiga ribu gagasan dalam satu saat tunggal’. Kata Ichinen berarti mikrokosmos. Kata sanzen dapat menunjang kepada banyak aspek yang berlainan yang dapat diambil oleh hidup semesta, ialah totalitas dari semua fenomena. Sanzen sebagai makrokosmos.
Apa itu tiga ribu? Penjelasannya ialah terdapat 10 alam eksistensi, yang harus dilalui makhluk-makhluk hidup di mana mereka menempatkan drinya. Tiap-tiap alam mengandung kesemuanya dari 10 alam dalam dirinya, jadi seluruhnya menjadi 100 alam. Terdapat 10 faktor pokok yang memberi ciri kepada semua barang (ju-myoze). Jadi 100 alam dikalikan 10 faktor menjadi 1000 alam. Dan setiap makhluk hidup dapat berhubungan dengan 3 lingkungan. Jadi jumlah alam eksistensi adalah 3000. Istilah ichinen sanzen berarti jiwa semesta yang terdapat dalam satu saat pikiran tunggal (ichinen) mengandung semua alam yang mungkin ada dalam alam semesta dengan cara ini atau saling berkaitan itu; mikrokosmos memenuhi makrokosmos, dan makrokosmos adalah tersirat dalam mikrokosmos.
Sepuluh Alam Hidup:
1.      Jigoku-kai (Neraka; lam derita),
2.      Gai-kai (kelobaan; alam yang menguasai orang dengan kerakusan),
3.      Chikusho-kai (kebinatangan; alam yang menyebabkan orang dikuasai oleh naluri-nalurinya),
4.      Shura (keberangan; alam yang menguasai orang dengan sifat persaingan),
5.      Nin-kai (kemanusiaan atau ketenteraman; keadaan biasa dari hidup),
6.      Ten-kai (surga atau sukacita; alam kebahagiaan),
7.      Shomon-kai (kesarjanaan; alam orang yang merasakan kebahagiaan berilmu),
8.      Engaku-kai (penciptaan; alam kejiwaan di mana orang menghargai kesenangan penciptaan),
9.      Bosatsu-kai (bodhisattva; alam yang menginginkan kebahagiaan bagi orang lain),
10.  Bukkai (cita Buddha; alam ke-Buddha-an).[63]
Kesepuluh Alam tersebut mengandung semua alam (10 alam) lainnya dalam dirinya. Ini berarti bahwa setiap alam, disamping semua alam lainnya mengandung alam ke-Buddha-an. Dengan kata lain bahwa semua orang dari semua jenis dan derajat mempunyai benih-benih Buddha untuk mencapai Cita Buddha. Jadi jumlah Alam 10 x 10 = 100 Alam.
o   Sejarah budhisme zen, aliran dan ajaranya (topik 14)
     Sejarah aliran Zen
Jika kita pelajari sejarah agama Budha dengan perhatian utama terhadap segi ini, hal yang lain segera menarik perhatian kita adalah Agama-agama itu terpecah.[64] Agama-agama selalu terpecah belah. Dalam tradisi kita, agama yahudi kuno terpecah menjadi agama Israel dan agama Judah, agama Kristen terpecah menjadi Gereja Timur dan Gereja Barat. Hal yang sama juga terjadi pada agama Budha. Agama Budha terpecah kedalam dua mazhab besar, yaitu Hinayana (perahu kecil) dan Mahayana (perahu besar), kedua aliran tersebut memiliki arti yang berbeda. Aliran Hinayana menyatakan bahwa dirinya adalah Jalan para sesepuh, dan pada dasarnya memandang manusia sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak bergantung kepada penyelamatan orang lain, sedangkan aliran Mahayana menyatakan dirinya sebagai pemelihara semangat Budha yang asli, berdiri lurus pada garis Ilhamnya, dan berpendirian sebaliknya, oleh karena kehidupan itu satu, nasib seseorang berkaitan dengan nasib manusia seluruhnya. Kaum Mahayan bersifat liberal dalam segala hal. berdasarkan sejarah simgkat diatas, aliran Theravada bersatu dalam suatu trdisi tunggal yang utuh. Sebaliknya, Mahayana terus-menerus pecah. Hal ini disebabkan oleh luasnya daerah penyebarannya,  perpecahan itu juga mungkin disebabkan oleh sikap liberal agama tersebut terhadap berbagai perbedaan dalam lingkungannya. Mazhab Mahayana ini berkembang menjadi tujuh aliran terbesar, yaitu: aliran San-lun, aliran Wei-shih, aliran Tien-tai, aliran Hua-yen, aliran Chan, aliran Ching-tu, dan aliran Cheng-yen. Dan dalam buku Huston Smith aliran perahu besar terpecah  dalam lima paham. Yang satu menekankan iman, yang lainnya mengutamakan studi, yang berikutnya menyandarkan diri pada rumus-rumus yang jitu, sedangkan yang keempat mempunyai kecendrungan setengah poitik.
yang kau cari itu berada dalam dirimu sendiri. Keagungan tidak datang dari luar. Keagungan berasal dari dalam dirimu sendiri. Kenalilah dirimu - temukan dirimu dan kau tidak akan membutuhkan sesuatu apa pun lagi dari luar.[65]
1.      Pengalaman Langsung
Zen menuntut pengalaman langsung - bukan hasil pemikiran teori atau hasil menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya iman yang dituntut dari seorang praktisi Zen adalah keyakinannya pada pencerahan Siddharta ! Meditasi harus dijalani dengan tubuh ini bukan dengan pikiran atau yang lain. Seorang Master Zen pernah mengatakan : Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah - seseorang dengan ketekunan akan menemukan Buddha !
2.      Laku - bukan Filsafat
Zen adalah Laku , bukan Filsafat ! Anand Krishna dalam bukunya : Zen untuk Orang Modern - menggambarkannya dengan sangat jelas - Zen bukanlah Filsafat Ia adalah Falsafah , sebuah Laku Hidup. Filsafat melahirkan Konsep Falsafah membebaskan diri dari Konsep. Filsafat menyibukkan pikiran Falsafah mengistirahatkan pikiran. Filsafat mengikat. Falsafah membebaskan. Akan tetapi - masalahnya adalah - bila Laku Zen ini pun kita jadikan konsep untuk dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan - ia akan kembali menjadi filsafat. Kembali ke Zen : Zen adalah Za - Zen. Duduk Diam. Punggung Lurus. Buka mata hati. Masuk ke dalam diri - M e d i t a s i !
3.      Kesadaran Hishiryo - Menjadi Sederhana 
Taisen Deshimaru berbicara tentang apa yang dalam bahasa Jepang disebut Hishiryo - Kesadaran Hishiryo. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan hidup. Satu hal yang menyebabkan mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang adalah karena Zen menuntut kita untuk menjadi sederhana. Dunia modern dengan segala corak kehidupan masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu menuntut kita untuk berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu - telah menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks. Kesadaran Hishiryo bukanlah sesuatu yang misterius atau esoterik. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran yang seharusnya demikian dalam memandang suatu kehidupan. Suatu kesadaran yang seharusnya normal-normal dan biasa saja. Masalahnya adalah bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa pemikiran dlsbnya. Kesadaran Hishiryo ini akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita : alam , manusia dan makhluk lain - dan terutama juga dengan ' diri ' kita sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan kita dari segala sesuatu yang hanya mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' - tetapi akan membawa kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas - yang pada akhirnya dengan ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi : Kesadaran Murni, Kesadaran Kosmis, Kesadaran No - Mind , Shunyata - Pencerahan Total.[66]

4.      Jalan Tengah
Zen mengajar kita untuk tidak menjadi ekstrim dalam hal apa pun.Latihan Zen yang keras dengan laku disiplin yang tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi keras. Sebaliknya - latihan ini dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu kondisi mental yang teguh, tidak mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu ekstrim - dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain.Agar kita dapat selalu berada dalam kesadaran mental yang seimbang - menjalani hidup yang tak tergoyahkan oleh hedonisme. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi bathin - amatlah penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia. Dualisme adalah produk dari pikiran - Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan men-sintesa-kan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
5.      Pengantar untuk pokok-pokok ajaran berikut :
Buddhisme Zen menurut Prof Dr. Suzuki adalah bagaikan sebuah organisme yang hidup. Organisme yang hidup tumbuh dan berkembang. Benih Buddhisme berasal dari India - diturunkan oleh Siddharta, sang Buddha - kepada Mahakasyapa. Benih ini kemudian tumbuh dan berkembang. Seribu tahun kemudian dengan kedatangan Bodhidharma di Tiongkok, benih Buddhisme ini mencapai Tiongkok dan di sana bertemu dengan sebuah lapangan pergulatan baru. Buddhisme Zen ( yang di Tiongkok disebut Chan ) bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme.
7.Mushotoku - Berhenti Mengejar
Melakukan apa yang harus dilakukan. Tanpa Pamrih. Tanpa terlebih dulu memikirkan hasil atau keuntungan. Menjalankan sesuatu sebagai suatu Dharma - sesuatu yang memang telah menjadi suatu hal yang harus dilakukan.
8. Sekarang, Di Sini, Saat Ini
Inilah pragmatisme yang harus dilakukan dalam memandang kehidupan. Yang paling nyata adalah sekarang yang terus berubah. Kehidupan harus dijalani pada kenyataannya yang paling riel, paling nyata - yaitu saat ini. Masa lalu tak akan kembali, masa depan belum nyata. Di sini Zen bertemu dengan Konfusius. Konfusius selalu menekankan pada sekarang. Konfusius mementingkan apa yang nyata terlihat - apa yang ada dihadapan kita. Sangat membumi.

9. Wu - Wei 
Istilah ini susah diartikan dan bahkan sangat sering salah diterjemahkan. Inilah kebijakan yang berasal dari Taoisme. Sering diterjemahkan sebagai : Tidak berbuat - atau dalam Bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ' Action in No Action ' - sebuah terjemahan yang mungkin artinya agak membingungkan. Yang mendekati arti sesungguhnya dari wu-wei mungkin adalah : Kebijakan untuk tidak mencampuri, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang alami. Let nature takes care of itself - Biarkan yang alami bekerja, jangan memaksakan, jangan mengatur, jangan mempengaruhi. Biarkan Hukum Alam bekerja. Harmoni dengan alam.[67]


o   Daftar Pustaka

·         Pandita S. Widyadharma, INTI SARI AGAMA BUDDHA, Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995)
·         Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979),
·         Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979),
·         Mukti ali, Agama agama dunia cet pertama,  Pt hanindita offset, jogjakarta, 1988
·         Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
·         A.G. Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) Dhamananda”. Sari Keyakina umat Budha (terjemahan) 2007
·         “ Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis Budhayana Indonesia) PANJIKA “Rampaian Dhamma” (PERVITUBI)
·         Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, Kuala Lumpur: Ehipassiko Foundation, Cet ll, 2012, Pak Dyon, Kumpulan Materi Agama Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
·         Bu Guru Kecil, Pengertian Meditasi, Diakses pada 15 April 2013, dari http://khemakalyani.blogspot.com/2011/01/pengertian-meditasi.html
·         Pak Dyon, Kumpulan Materi Agama Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
·         Samaggi Phala.or.id, Dasar-Dasar Meditasi Vipassana, diakses pada 13 April 2013, dari http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/dasar-dasar-meditasi-vipassana/
·         Buddhakketta, Meditasi Samatha dan Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
·         Mahatera, Narada, Sang Buddha dan Ajarannya, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arema, jilid ll,
·         Buddhakketta, Meditasi Samatha dan Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
·         Dhamma study group bogor, daikses pada 20 april 2013, dari http://www.buddhistonline.com/dasar/tiratana2.shtml
·         Pandit J. Kaharuddin, Kemasyarakatan Umata Buddha, diakses pada 21 April2013, dari http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml
·         http//:Bhagavant.com
·         Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h.72-73.
·         http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
·         Edward Conze. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010 Hal.97
·         http.wikipedia.vajrayana.com
·         http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
·         Albert Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz Media.2000http://tamandharma.com
















[1] Pandita S. Widyadharma, INTI SARI AGAMA BUDDHA, hal 1
[2] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal.7-8
[3] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.4
[4] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal.8
[5] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 10
[6] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65
[7] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11
[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65.

[9] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11-14
[10] Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[11] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.15-16
[12] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.66


[13] A.G. Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[14] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 19-20
[15]“ Dhamananda”. Sari Keyakina umat Budha (terjemahan) 2007 H152
[16]“ Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis Budhayana Indonesia) H 134
[17] PANJIKA “Rampaian Dhamma” (PERVITUBI) H 69
[18] Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis Budhayana Indonesia) H 134
[19] PANJIKA “Rampaian Dhamma” (PERVITUBI) H 80
[20] Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis Budhayana Indonesia) H 136-137
[21] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, Kuala Lumpur: Ehipassiko Foundation, Cet ll, 2012, h. 288-294
[22] Pak Dyon, Kumpulan Materi Agama Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
[23] Bu Guru Kecil, Pengertian Meditasi, Diakses pada 15 April 2013, dari http://khemakalyani.blogspot.com/2011/01/pengertian-meditasi.html
[24] Pak Dyon, Kumpulan Materi Agama Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
[25] Samaggi Phala.or.id, Dasar-Dasar Meditasi Vipassana, diakses pada 13 April 2013, dari http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/dasar-dasar-meditasi-vipassana/
[26] Buddhakketta, Meditasi Samatha dan Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
[27] Mahatera, Narada, Sang Buddha dan Ajarannya, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arema, jilid ll, hal. 217-218
[28] Buddhakketta, Meditasi Samatha dan Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
[29] Dhamma study group bogor, daikses pada 20 april 2013, dari http://www.buddhistonline.com/dasar/tiratana2.shtml
[30] Berkemampuan mengingat penitisan lampau, melihat Alam-alam halus dan melihat muncul-lenyapnya makhluk yang menitis sesuai dengan kamma, berkemampuan memusnahkan arus-kekotoran-bathin atau asava. Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 40
[31] Tiga diatas ditambah, dapat membaca pikiran makhluk lain; dapat mendengar suara di Alam manusia, Dewa, Brahma; punya kekuatan Gaib. Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 40
[32] Terdiri dari empat; Atthapatisambhida; Dhammapatisambidha; Niruttipatisambhida; Pati bhanapatisambida. Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 40
[33] Dhamma study group bogor, daikses pada 20 april 2013, dari http://www.buddhistonline.com/dasar/tiratana2.shtml
[35] Pandit J. Kaharuddin, Kemasyarakatan Umata Buddha, diakses pada 21 April2013, dari http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml
[36] T.Suwarto. Buddha Dharma Mahayana.(Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h 107
[37] http//:Bhagavant.com
[38] Harun Hadiwijono, Agama Hinda dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), Cet. Ke-16, h. 91-96.

[39] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h.72-73.

[40] T.Suwarto. Buddha Dharma Mahayana.(Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995),h 839-842
[41] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan dalam Dhamma (Jakarta: MBI, 1980),  h. 333-334.
[42] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan dalam Dhamma (Jakarta: MBI, 1980),  h. 335-336.
[43]suwarto,  Budha Darma Mahayana, Majelis agama budha mahayan indonesia; jakarta 1995  h . 120
[44]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[45]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[46]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.439

[47]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.444
[48]Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997 hal.236
[49]Edward Conze. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010 Hal.97
[50]  ibid budha mahayana, majelis  agama budha mahayana di indonesia  h. 128
[51]http.wikipedia.vajrayana.com
[52]http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[53] Mukti ali, Agama agama dunia cet pertama,  Pt hanindita offset, jogjakarta, 1988 h. 188
[54]Ibid hal. 440
[55] ibid , ilmu Agama h 236
[56]  Tim penyusun, Kapita selekta Agama Budha, cv  Dewi kayana Abadi, jakarta; 2003 ,  h. 153
[57] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[58] Kapita Selekta Agama Budha, CV. Dewi Kayana Abadi Jakarta, 2003, hal. 50 -51

[59] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 140-142
[60] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 522.
[61] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[62] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[63] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 526
[64] Albert Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz Media.2000. hal. 56
[65] http://tamandharma.com
[66] http://tamandharma.com
[67] http://tamandharma.com