o
SEJARAH HIDUP BUDHA (Topik 2)
A. Kehidupan
Sang Buddha
1. Kelahiran
Bodhisattva
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh
para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran
Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha.
Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang Pangeran
kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi
cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan
mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu
menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa,
atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu
adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.[1]
Saat
ia dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang
mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[2]
Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum
bunga ke arah utara,[3]dengan
jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri
menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta,
guru para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan
bunga dan air suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya,
tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi
alaam menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang
pada nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan
manusia, mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia
dialam samsara ini.[4].
2. Pada
umur 12 tahun
Pangeran sidharta telah menguasi
berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu:
sabda (bahasa dan sastra); silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa
(ramuan obat-obatan); hatri (logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga
menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu pujian keagamaan): yajurveda (pujian
untuk upacara sembahyang); athavarveda(mantra)
1.
Melihat Empat Peristiwa
Pada suatu hari
pangeran mengunjungi Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku
berjalan-jalan keluar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang
kelak akan ku perintah”.
Karena
permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. tetapi sebelumnya kata Raja,
aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk
menerima kedatangan anakku yang baik.[5]
Sekalipun
sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan dilalui putranya itu
harus dibersihkan dari segala hal yang tidak menyenangkan namun dalam
perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah tua sekali. Pandangan ini
mengejutkan Siddharta.[6]pangeran
terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
Channa
menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan
keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“
Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua
sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat. Sebaiknya tuanku
lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di
dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat dielakkan.”[7]
Atas
keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti
orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali keistana.[8]
Setelah
persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia
merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran meninggalkan istana.
Berselang
beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan
melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih dulu
memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan
berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada gunanya melarang,
sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada kesempatan ini
pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak kelurga
Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Pangeran
memperhatikan orang-orang kecil yang sderhana dan semua orang kehilatannya
sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga
melihat seorang yang sdeang merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan
kedua tangannya memegang perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak
berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk
kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat beliau sangat
sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang dengan cepat
menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan kepalanya dipangkuannya dan
dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau, engku mengapakah?” orang
sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“
Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya?
Mengapa ia tidak bicara”?
“
O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn darahnya
beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar. Oleh karena
itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi
apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku mungkin orangnya
kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku
meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu
sangat meenular.”
“apakah
tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang
penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul
Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang
dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.” Mendengar ini pangeran
menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungi hal ini.
Berselang
beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja agar diperkenankan lagi
melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak
ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada
kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang bangsawan dengan
diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian
mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti
sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas
usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak
bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan
meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya. Orang itu
tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya dari semua
sudut.
Pangeran
heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.
Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang
harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari
seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran
pulang dan dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[9]
Pangeran
kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana
lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk
menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju
taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk
menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang
dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun mendekati petapa itu dan
bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal
dirinya.[10]
“
Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari
keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak
menjadi tua, sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal
dan barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini
mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O
petapa suci, dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran
yang mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang
lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus
meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[11]
Sejak
saat itu Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan
bagaimana dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[12]
B. Sang
Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.
Pangern siddharta Meninggalkan istana
Sebelum
meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi
Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat
yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran,
bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya
kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang
kekal.[13]
Perjalanan
diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan
satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma.[14]
2.
Penerangan Agung
Pada
suatu malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara,
ketika ia sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan
duduk padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah
petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang
meliputi hal berikut:
a. Pubbenivasanussati,
yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b. Dibacakkhu,
yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c. Cuti
Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk
kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d. Asvakkhayanana,
pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang
menghilangkan ketidaktahuan
Dengan
telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi
Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’ atau guru dari
manusia.
C.
Sang Budha Mengajarkan Dharma
Setelah
itu sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain,
karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana, maka ia pergi ke
Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu,
tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali
mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Selama
45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60
orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan
banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di kusiwara yang
letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa
yang menjadi penerus, sehingga di kemudian hari ajaran terpecah menjadi dua
golongan yaitu Teravadha ( Hinayana )
dan Mahasangika (Mahayana).
o KEYAKINAN
TERHADAP HUKUM KASUNYATAAN (Topik 3)
a. Pengertian
Hukum Kasunyataan
Hukum Kesunyataan berarti hukum
abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini
berarti bahwa hukum Kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang
berlaku disemua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu.Hukum
Kesunyataan berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Karena hukum yang
dibuat oleh manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu,
tempat dan keadaan. Jadi berbeda sekali dengan hukum Kesunyataan yang dibuat
oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.
b. Cattur Arya
Saccani (empat kebenaran mulia)
Dhamma itu sedemikian indahnya dan
sangat luar biasa sekali, Dhamma itu indah pada permulaannya, indah pada
pertengahannya, dan tetap indah pada akhirnya.
Ke-Empat Ariyasacca Dhamma (Cattuariyasaccani) di dalam Dhammacakkapavattana Sutta dinyatakan secara singkat dengan nama DHAMMACAKKA. Mengapa disebut Dhammacakka??? Karena tiap-tiap bagian dari Ariyasacca itu memiliki 3 (Tiga) PARIVATARA bergejala 12. Diajarkan semua itu oleh Sang Buddha dengan lengkap, karena semuanya itu telah ada didalam sekejap pikiran Beliau bahwa semua itu adalah sudah menjadi tugasNya untuk membabarkan secara tengkap. Dhammacakka ini teramat halus. Sang Buddha telah mencurahkan pikiranNya untuk merenungkan dan menyaksikan semuanya itu dengan terang benderang dan sedemikian jelasnya didalam diri Beliau sendiri, lalu Beliau menyatakannya secara gamblang dan terbuka dengan sejelas-jelasnya kepada semua makhluk.
Ke-Empat Ariyasacca Dhamma (Cattuariyasaccani) di dalam Dhammacakkapavattana Sutta dinyatakan secara singkat dengan nama DHAMMACAKKA. Mengapa disebut Dhammacakka??? Karena tiap-tiap bagian dari Ariyasacca itu memiliki 3 (Tiga) PARIVATARA bergejala 12. Diajarkan semua itu oleh Sang Buddha dengan lengkap, karena semuanya itu telah ada didalam sekejap pikiran Beliau bahwa semua itu adalah sudah menjadi tugasNya untuk membabarkan secara tengkap. Dhammacakka ini teramat halus. Sang Buddha telah mencurahkan pikiranNya untuk merenungkan dan menyaksikan semuanya itu dengan terang benderang dan sedemikian jelasnya didalam diri Beliau sendiri, lalu Beliau menyatakannya secara gamblang dan terbuka dengan sejelas-jelasnya kepada semua makhluk.
c. Hukum Karma
dan Tumimbal lahir
Tumimbal lahir
adalah hokum kelahiran kembali. Semua makhluk akan terus dilahirkan kembali di
berbagai alam kehidupan ( sesuai dengan karmanya masing – masing ) selama masih
di cengkeram oleh tanha ( nafsu keinginan yang tak kunjung padam ) dan avidya (
ketidaktahuan ).
d. Tilakhana
(Tiga Corak Umum;anicca,dukkha, anatta)
Perkataan
pattica samuppada terdiri atas : Patticaartinya disyaratkan dan kata Samuppada
artinya muncul bersamaan. Jadi perkataanpattica samuppada artinya kurang
lebihya itu muncul bersamaan karena syarat berantai, atau terjemahan yang
sering terlihat dalam buku – buku, yaitu Pokok permulaan sebab akibat yang
saling bergantungan.
e. Pattica
Sammuppada (sebab akibat yang saling bergantungan)
Tilakkhana (Ti berarti tiga, dan lakkhana berarti corak atau
karakter) adalah karakteristik yang melekat pada setiap ke-beradaan.
“Karakteristik” menurut Dr.P.D. Santina dalam bukunya Fundamentals of Buddhism,
adalah sesuatu yang pasti (tidak terhindarkan) dihubungkan dengan sesuatu
lainnya. Karena karakteristik pati berhubungan dengan sesuatu, maka
karakteristik dapat memberitahu kepada sifat dari sesuatu. Contohnya: panas
adalah karakter dari api. Panas bukan krakter dari air. Panas selalu dan tak
dapat dihindarkan berhubungan dengan api. Demikian juga dengan Tilakkhana yang
merupakan karakter dari setiap keberadaan (eksistensi), mencerminkan sifat yang
selalu dapat diketemukan dari setiap keberadaan.
Tilakkhana terdiri dari tiga sifat/corak, yaitu:
1. Sabbe sankhara anicca: semua yang
bergantungan (berkondisi) adalah tidak kekal.
2. Sabbe sankhara dukkha: semua yang
saling bergantungan (berkondisi) adalah tidak tidak memuaskan (dukkha)
3. Sabbhe dhamma anatta: semua yang
saling bergantungan (berkondisi) maupun yang tidak salitungan (tidak
berkondisi) adalah tanpa inti/diri yang kekal.
Anicca
Penjelasan mengenai Anicca secara
jelas dinyatakan dalam sutta berikut ini:
Pengertian terhadap ketidak-kekalan
adalah penting, tidak hanya bagi pelaksanaan Dhamma tetapi juga dalam hidup
sehari-hari. Pengertian tentang ketidak-kekalan merupakan obat penawar bagi
keinginan-keinginan dan kehendak buruk. Hal ini juga merupakan pendorong
semangat dalam pelaksanaan Dharma. Dan hal merupakan kunci untuk mengerti sifat
paling penting dari segala sesuatu, keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu
yang saling bergantungan. Memahami ketidak-kekalan juga merupakan kunci untuk
mengerti tentang “tanpa aku” (Annatta), karena mulai melihat bahwa tidak
ada keberadaan yang permanen; bahwa dalam diri dan segala sesuatu di
sekeliling, tidak ada sesuatu yang dapat disebut sebagai “aku”.
Dukkha
Buddha berkata bahwa segala sesuatu yang tidak permanen
adalah dukkha, dan segala sesuatu yang tidak permanen dan dukkha dalah juga
tanpa aku (anatta). Apapun yang tidak permanen adalah dukkha karena
ketidak-kekalan adalah salah satu pencetus dukkha. Ketidak-kekalan adalah
pencetus dukkha, bukan penyebab dukkha, karena ketidak-kekalan hanya
menimbulkan dukkha sepanjang ketidak tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha),
dan kemelekatan (raga) hadir. Ketidaktahuan mengenai sifat-sifat dari
segala sesuatu, serakah dan melekat pada obyek-obyek dengan harapan yang sia-sia
bahwa mereka akan kekal (permanen), sehingga mereka dapat memberikan
kebahagiaan yang permanen pula. Jadi obyek-obyek yang menyenangkan yang
diingini dan melekat padanya itu suatu saat akan berakhir dan musnah, mereka
tidak kekal. Ketidak-kekalan merupakan pencetus dari dukkha karena segala
sesuatu yang tidak permanen adalah dukkha.
Anatta
Konsep anatta (tanpa diri yang
kekal) ini sering membingungkan banyak orang. Jika tidak ada “aku”, lalu
mengapa selalu berkata “aku berbicara”, “Aku mendengarkan”, “Ini milikku”, dan
lain-lain. Dan jika tidak ada aku, lalu siapa yang mengungkapkan, merasakan,
dan mengalami akibat-akibat perbuatan baik dan buruk? Terminologi “Segala
sesuatu yang berkondisi” (sankhara) menunjukkan lima agregat kemelekatan
(pancaskandha), semua yang berkondisi, saling bergantung, segala sesuatu
dan keadaan yang relatif, baik fisik maupun mental. Sedangkan terminologi
Dhamma mencakup segala sesuatu yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi.
o
Keyakinan terhadap kitab suci
(Triptaka) (Topik 4)
1.
Pengertian Tripitaka
Setiap agama
memiliki sumber ajaran yang menjadi pedoman dalam melakukan peribadatan. Sumber
itu bisa berasal dari “wahyu” Tuhan atau catatan-catatan yang berasal dari
pembawa agama tertentu. Sumber itu biasa disebut sebagai Kitab Suci. Kitab Suci
ini dianggap sakral karena memiliki nilai yang luhur dan suci.
Dalam Agama
Buddha yang menjadi sumber dan pedoman dalam melakukan peribadatan adalah Tripittaka.
Arti dari pittaka itu sendiri adalah keranjang. Konon, saat mengumpulkan
lembaran-lembaran Kitab Suci Tripittaka yang tertulis di lontar-lontar kemudian
dikumpulkan dalam keranjang-keranjang. Kitab itu berisi pidato-pidato dan
ajaran Buddha Gautama yang dikumpulkan oleh para muridnya setelah Buddha
meninggal dunia. Dibanding dengan Weda, Tripittaka mudah sekali dipahami
oleh rakyat, karena ditulis dalam bahasa Pali, bahasa rakyat di daerah Moghad,
tempat Buddha bertapa mencapai pencerahan (hikmat), sedang kitab Weda tertulis
dalam bahasa Sangskerta, bahasa Arya yang dirasa terlalu tinggi oleh rakyat
biasa. Namun, sesuai perkembangan zaman Tripittaka pun akhirnya ditulis dalam
bahasa Sanskerta.
2.
Sejarahnya Penulisan Tripittaka
Beberapa
minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM), seorang Bhikku tua yang tidak
disiplin bernama Subhaddha berkata, “Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah
meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi
memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang
membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang
kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” (Vinaya Pittaka
II, 284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan
untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Pada mulanya
Tripittaka (Pali) ini diwariskan atau diajarkan secara oral (lisan) dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikku
yang hendak berniat mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikku yang
ingin mempertahankan Dhamma-Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha
Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung II dengan bantuan Raja Kalasoka di
Vesali, di mana isi Kitab Suci Tripittaka (Pali) diucap ulang oleh 700 orang
Arahat. Kelompok Bhikku yang memegang teguh kemurnian Dhamma-Vinaya ini
menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravada. Sedangkan kelompok
Bhikku yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak
berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelag Sang Buddha Gotama
wafat, Agama Buddha terbagi menjadi dua mazhab besar yaitu, Theravada dan
Mahayana.
Pesamuan
Agung ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang
Buddha wafat sekita 249 SM, dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana.
Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
menyebarkan Dhamma ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dengan maksud menyebarkan
ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan
ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan para Duta Dhamma ke negeri-negeri
lain.
Dalam
Pesamuan Agung ketiga ini, 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab
Suci Tripittaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan inilah
Agama Buddha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari
bumi asalnya.
Pesamuan
Agung Keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja
Vattaqamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat sekitar
83 SM. Pada kesempatan itu Kitab Suci Tripittaka (Pali) dituliskan untuk
pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui
kemurnian Dhamma-Vinaya.
Selanjutnya,
Pesamuan Agama Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25
sesudah wafat Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian
penting pada waktu itu, adalah Kitab Suci Tripittaka (Pali) diprasastikan pada
727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakan di bukit Mandalay.
Persamuan
Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan
berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu
penterjemahan Kitab Suci Tripittaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa
Barat.
Sampai abad
ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub
mazhab, antara lain : Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravada dan
sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang
masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravada (ajaran para
sesepuh). Dengan demikian, nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravada
inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand dan
kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
3. Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka,
Abidhama Pitaka dan Bagian-Bagiannya
Menurut Harun
Hadiwidjono seorang pendeta Protestan dalam bukunya Agama Hindu dan Buddha, dinamakan
Tripittaka, karena memang kitab itu merupakan tiga himpunan pidato Buddha, yang
masing-masing pittaka itu mempunyai arti. Diantaranya :
1. Winayapittaka
berisi berbagai hukum dan peraturan dalam kehidupan para penganut Buddha. Peraturan-peraturan
itu untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari
para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya (Harun
Hadiwidjono, 2010:63). Kitab ini terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan
Parivawa.
2. Sutrantapittaka,
berisi pidato-pidato dan wejangan Buddha. Sutra (bahasa
Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’.
Asal kata sastra pun diambil dari katta sutta. Yang dimaksud benang adalah tali
halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau
merangkai sesuatu. Sutrantapittaka terbagi lima antara lain, Dighanikaya,
Majjhimanikaya, Angutaranikaya, Samyuttanikaya, dan Khuddakanikaya.
3.
Abbidharmapittaka, berisi penjelasan dan uraian tentang keagamaan.
Selain itu, di dalamnya dibahas pula filsafat dan metafisika, juga sastra,
memberikan definisi kata-kata BuddhaDharma, dan penjelasan terperinci
mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan
spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan
dari kitab Abidharma ini dinamakan AbidharmaPitaka. Kitab ini
terbagi kepada tujuh buah buku (pakarana), yaitu : dhammasangani, vibhanga,
dhatukatha, puggallapannatti, kathavatthu, yamaka, dan patthana.’
o Keyakina terhadap Nibana (topik 5)
Nibana bukanlah suatu surge
. beberapa abad setelah Sang Budha wafat, sebagian aliran umat Budha mulia
menggambarkan Nibbana sebagai surge, tujuan mereka mneyetarakan Nibbana dengan
dunia surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang kurang pintar dan untuk
menarik mereka pada ajaran aliran itu.[15]
A.
Pengertian Nibbana
Nibana adalah
sebutan dari bahasa pali dan Nirvana adalah bahasa sansekerta. Kata Nibbana
berasal darikata nirvana, yang terbagi atas dua kata yaitu: Nir artinya “Padam” dan Vana artinya “meniup”. Jadi
kata Nibbana artinya meniup padam, yang tidak lain meniup padam sifat Tanha
atau Tanhakkhaya atau Asavakkhaya.[16]
Nibbana adalah tujuan akhir umat Budha. Bnayak buku
yang menyajikan uraian tantang Nibbana telah ditulis sejak zaman dahulu hingga
kini. Nibbana bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan kan tetapi
dialami. Nibbana adalah suatu “keadaan” seperti yang di ajarkan oleh sang
Budha, Nibbana adalh suatu keadaan yang pasti setelah rasa keinginan lenyap.
Nibbana dalah ppadamnya keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan
kekotoran-kotoran batin. Nibbana adalah kasunyataan abadi, tidak dilahirkan,
tidak termusnahkan ada dan tidak berubah. Nibban dikatakan pula Ashankata
Dhamma(keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi). Nibbana dapat dialami jika
dukha telah disadari, menyadari dukha berarti menyadari asal mula dukha,
lenyapnya dukha dan jalan untuk melenyapkan dukha.[17]
Nibbana
dibagi atas dua bagian:
1. Nibbana
yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan
ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam bahasa pali disebut SA
UPADISESA NIBBANA dalah padamnya kilesa (kekotoran batin) secara total, tetapi
panchakandha masih ada.
2. Nibbana
yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang dicapai setelah
meninggal dunia atau dalam bahsa pai disebut AN UPADISESA NIBBANA.[18]
Mereka
yang mencapai Nibbana tidak lagi menaruh perhatian terahdap kelangsungan
dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelahnya umurnya usai.
Mereka tidak lagi menimbun kamma baru, meliankan sekedar menghabiskan akibat
kamma lampaunya. Sang budha pernah ditanya apakah seorang Budha, sesudah
mencapai Parinibbana, ada atau tidak ada. Sang Budha diam tidak menjawab.
Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermanfaat bagi pembebasan manusia dari
dukha. Pertanyaan timbul akibat orang mempunyai kesalahfahaman tentang
dualistis antara ada dan tidak ada. Selama paham “aku” masih melekat, mustahil
Nibbana dapat dicapai.[19]
B. Jalan
Menuju Nibbana
Ada
delapan ruas jalan utama atau jalan tengah menuju Nibbana dibagi menjadi 3
yakni:
1. Sila
= tata hidup yang susila an beradab.
2. Samadhi =
pembinaan disiplin menthal.
3. Panna
= kebijaksanaan luhur.
Orang
yang telah mencapai Nibbana dapat disebut orang yang sempurna seperti asng
Budha Gotama. Orang yang telah mencapai Nibbana pula bebas dari lahir, derita,
umur-Tua dan mati; loba dan moha.[20]
o
Meditasi dalam Budha (Topik 6)
A. Pengertian
Meditasi
Meditasi
adalah pendekatan psikologis untuk pengembangan, pelatihan , dan pemurnian
pikiran. Meditasi merupakan jalan yang lembut untuk menundukkan kekotoran yang
mencemari batin.[21] Dalam bahasa Pali atau Sansekerta, meditasi disebut
sebagai Samadhi. Dalam percakapan antara Bhikkhu Dahammadinna dan Upasika Visakha (Majjhima
Nikaya I.301) Samadhi diartikan sebagai ‘keadaan batin dan cara melihat batin’.
Visakha bertanya : “Apa itu Samadhi?” Bhikkhu menjawab: “ Samadhi adalah cittassa
ekaggata (pikiran terpusat)”. Setiap orang yang melaksanakan bhavana memerlukan objek. Objek meditasi
merupakan alat Bantu yang mengarahkan pikiran seseorang agar cepat terpusat,
sehingga demikian kemajuan batin agar dapat berproses dengan baik. Objek
meditasi yang digunakan oleh seseorang harus sesuai dengan wataknya (carita)
agar ia mudah memusatkan pikiran. Apabila objek meditasi tidak sesuai dengan
carita, maka pemusatan pikiran sangat sulit atau lambat sekali untuk dapat
tercapai. Hal ini bagaikan orang yang mengambil jurusan bahasa namun belajar
matematika.
B. Cara
Meditasi
1.
Waktu meditasi yang tepat adalah bila jasmani kita segar, semua pekerjaan
telah selesai, gangguan fisik dan batin tidak ada.
2.
Meditasi dapat dilaksanakan pada pagi hari (pkl. 04.00 – 07.00) dan malam hari
(pkl. 17.00 - 22.00).
3.
Jadi waktu dalam berlatih meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dalam
waktu yang sama secara teratur dan terus menerus (continue).
4.
Sang Buddha
mengajarkan 4 cara bermeditasi yaitu :
a.
Meditasi dengan cara duduk
Meditasi
dengan cara ini biasanya dilakukan bagi pemula dan tingkat lanjut. Caranya
duduk bersila (padmasana) badan tegak tetapi rilek, sebaiknya tidak bersandar
pada dinding atau sandaran lain, mata dipejamkan, batin tenang dan pikiran
dipusatkan pada obyek yang dipilih.
b.
Meditasi dengan cara berdiri.
Berdiri
dengan kaki sedikit renggang, kedua tangan didepan dada, tangan kanan memegang
tangan kiri, usahakan dapat menjaga keseimbangan tubuh supaya batin tenang,
pikiran berkonsentrasi pada obyek yang dipilih.
c.
Meditasi dengan cara berjalan
Meditasi
berjalan disebut cankamana. Meditasi ini dapat dipraktikkan dengan beberapa
cara, antara lain:
Ø Berjalan
denganmenghitung langkah kaki
Ø Berjalan dengan menyadari langkah maju, mundur, kekiri, kekanan. Menghitung
langkah kaki kanan melangkah atau menyadari kaki kiri melangkah dst.
Ø Berjalan dengan menggunankan obyek meditasi nimitta (bayangan) tubuh kita
sendiri.
d.
Meditasi dengan cara berbaring.
Berbaring
dengan posisi tubuh miring kekanan atau kekiri (kaki kanan/kiri diatas) seperti
posisi tubuh Sang Buddha ketika parinibbana (wafat), kaki lurus, kepala
ditopang dengan tangan kanan/kiri, mata dipejamkan, batin tenang dan pikiran
terpusat pada obyek meditasi yang dipilih.[22]
Tiga puluh
enam objek merupakan dasar untuk mencapai Rupa Jhana. Sedangkan empat objek
Arupa hanya digunakan setelah seorang sukses mencapai Rupa Jhana IV dan
berkeinginan melanjutkan meditasinya agar mencapai Arupa Jhana.[23]
B.
Tingkat Meditasi
1.
Tingkat Samadhi, terdiri dari:
a.
Meditasi Permulaan (Parikamma Samadhi)
b.
Meditasi mendekati Pencapaian (Upacara Samadhi)
c.
Meditasi Tercapai (Appana Samadhi)
Keterangan :
a.
Ketika pikiran mulai dipusatkan pada sebuah obyek yang dipilih sesuai dengan
carita, maka meditasi permulaan ini disebut Parikamma Samadhi.
b.
Jika pikiran untuk sementara telah bebas dari kekacauan,atau pikiran
tidak tergoyahkan, hal ini disebut Upacara Samadhi.
c.
Apabila keadaan ini dapat dipertahankan terus, walaupun dengan perlahan tapi
pasti hingga pemusatan pikiran benar-benar tidak tergoyahkan, maka
hal ini disebut Appana Samadhi.
2. Pencapaian Appana Samadhi
berarti Rupa Jhana I telah tercapai.[24]
C. Macam-Macam
Meditasi
Ada
dua jenis meditasi yaitu meditasi ketenangan (samathā) dan pandangan
terang (vipassanā).[25]
1. Meditasi
untuk mencapai ketenangan
Bermeditasi
pada sepuluh alat bantu (kasina) hanya menimbulkan ketenangan, bukan
pandangan terang. Bermeditasi pada sepuluh hal yang menjijikkan (misalnya, mayat
yang membengkak) hanya menimbulkan ketenangan, bukan pandangan terang. Sepuluh
perenungan, seperti perenungan terhadap Sang Buddha atau Dhamma, juga
hanya menimbulkan ketenangan, bukan pandangan terang. Bermeditasi pada tiga
puluh dua bagian tubuh seperti rambut, kuku, gigi, dan kulit, juga tidak dapat
menimbulkan pandangan terang. Hal ini hanya dapat mengembangkan konsentrasi.[26]
2. Meditasi
untuk mencapai pandangan terang (Vipassana)
Memungkinkan
seorang calon mencapai kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang
ditenangkan oleh Samadhi. Pada mulanya ia mengembangkan pandangan yang bersih
(ditthivisuddhi) dan melihat atas segala sesuatu sebagai mereka seadanya.
Dengan pikiran terpusat ia menganalisa dan menguji apa yang ia sebut makhluk.
Pengujian in8i menunjukkan apa yang ia sebut dengan aku., hanyalah perpaduan
kompleks dari batin dan jasmani yang selalu dalam keadaan mengalir.[27]
Ketika
anda bermeditasi terhadap empat unsur (dhatu) di dalam tubuh anda, hal
ini dinamakan analisa terhadap empat unsur. Walaupun hal ini mengembangkan
konsentrasi, ini juga membantu mengembangkan pandangan terang. Keseluruhan
empat puluh obyek meditasi ini digunakan untuk mengembangkan konsentrasi. Hanya
pernafasan (anapanassati) dan analisa terhadap empat unsur (dhatu)
yang digunakan untuk mengembangkan pandangan terang. Obyek-obyek yang lain
tidak akan menimbulkan pandangan terang untuk mendapatkan pandangan terang,
anda harus berusaha lebih jauh.[28]
o
Ajaran
Tentang Sangha (Topik 7)
Triratna merupakan sesuatu yang
agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh
umat Buddha. Isi triratna yaitu Buddha, Dhamma, Sangha.
Buddha :
·
Sang
Buddha adalah guru suci junjungan kita
·
Yang
telah memberikan ajarannya kepada umat manusia dan para dewa
·
Untuk
mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Dhamma :
- Dhamma adalah kebenaran mutlak,
dan juga merupakan ajaran Buddha
- Yang menunjukkan umat manusia
dan para dewa ke jalan yang benar, yaitu yang terbebas dari kejahatan, dan
- Membimbing mereka mencapai
kebebasan mutlak (Nibbãna)
Sangha :
- Sangha adalah persaudaraan
Bhikkhu suci, yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapana,
Sakadagami, Anagami, Arahat)
- Sebagai pengawal dan pelindung
Dhamma
- Mengajarkan Dhamma kepada orang
lain untuk ikut melaksanakannya sehingga bisa mencapai kebebasan mutlak
(Nibbãna)[29]
A. Tingkat kesucian, kedudukan sangha
Tingkat Kesucian
1. Sotapanna: Orang suci tingkat
pertama, yang telah membasmi tiga belenggu. Akan lahr sebanyak tujuh kali
lagi. Ada tiga:
Sattakhatta
parama Sotapanna : Sotapanna paling banyak tujuh kali lagi lahir di alam yang
menyenangkan. Dalam kehidupan yang lampau melaksanakan Paramita kurang tekun,
maka apabila menjadi Sotapanna seperti ini.
Kolankola
Sotapanna : sotapanna yang kan dilahirkan dua sampai enam kali lagi, setelah
itu akan menjadi Arahat dan Parinibbana. Dalam kehidupan yang lampau
melaksanakan Paramita setengah tekun, apabila menjadi Sotapanna seperti ini.
Ekabiji
Sotapanna : Sotapanna yang akan dilahirkan paling banyak hanya satu kali lagi,
setelah itu akan menjadi Arahat dan Parinibbana. Dalam kehidupan yang lampau
melaksanakan paramita dengan tekun sekali, apabila menjadi sotapanna seperti
ini.
2. Sakadagami : orang suci tingkat
kedua yang telah membasmi tiiga belengg ditambah dua belenggu. Akan lahir
sebanyak satu kali lagi. Disebut Ariya Puggala berarti orang suci atau orang kudus. Ada lima:
Idha
patva idha parinibayi: mencapai sakadagami-phala di Alam manusia, dan mencapai
Arahatta-phala d Alam Dewa, jugadalam kehidupan yang sama.
Tattha
patva tattha parinibayi: mencapai Sakadagaim Phala di Alam Dewa, dan mencapai
Arahatta Phala di Alam Dewa, juga dalam kehidupan yang sama.
Idha
patva tattha parinibayi: mencapai sakadagami Phala di Alam manusia, setelah itu
meninggal dunia dulahirkan di Alam Dewa, dan mencapai Arahatta Phala di Alam
Dewa.
Tattha
patva idha parinibayi: mencapai sakadagami Phala di Alam Dewa, setelah
meninggal di Alam Dewa dilahirkan di Alam manusia , dan mencapai Arahatta Phala
di Alam manusia.
Idha
patva tattha nibbattitva iddha parinibbayi: mencapai Sakadagami Phala di Alam
Manusia, setelah itu meninggal dunia dan dilahirkan di Alam Dewa. Setelah itu
meninggal dunia dan dilahirkan di alam Dewa dilahirkan kembali di Alam manusia,
dan mencapai Aahatta Phala di Alam manusia.
3. Anagami : orang suci tingkat ketiga,
yang telah membasmi tiga kali belenggu dan dua belenggu. Tidak lahir di Alam
napsu yang menyenangkan, tapi menitis di Alam Suddhavassa dan mencapai Arahata
serta Parinibbana di alam ini. Ada lima:
Antaraparinibbayi:
anagami yyang mencapai Arahat dan Parinibbana dalam usia yang belum mencapai
setengah usia.
Upahaccaparinibbayi:
anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbana dalam usia yang hampir mencapai
batas usia.
Asangkharaparinibbayi:
anagami yang mencapai Arahat dan Pparinibbana dengan usaha keras.
Uddhangsoto
akanitthagami: anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbana di Alam Brahma yang
luhur atasAkanitthi Bhumi.
4. Arahat : prang suci tingkat keempat.
Telah membasmi lima belenggu
ditambah
lima belenggu. Ini terbebas dari kelahiran dan kematian di alam manapun juga.
Ada empat:
Sukkhavipassako:
Arahat yang tidak mempunyai Jhana. Hanya melaksanakan Vipassana Bhavana saja.
Tevijjo:
Arahat yang mempunyai Vijja (pengetahuan)[30]
Chalabinno:
Arahat yang mempunyai enam macam tenaga bathin.[31]
Patisambhida:
Arahat yang memiliki pengertian sempurna.[32]
Kedudukan
Sangha
Ada dua jenis:
- Sammuti Sangha = persaudaraan
para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
- Ariya Sangha = persaudaraan
para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian. [33]
B. Cara Menjadi Bikkhu
Bikkhu adalah orang
yang ditahbiskan dalam keyakinan Budha monastik. Monastisisme merupakan bagian dari sistem
"janji pembebasan individu". sumpah ini diambil oleh para biarawan
dan biarawati dari sangha biasa, dalam rangka untuk mengembangkan disiplin
etika pribadi. Sumpah pembebasan individu diambil dalam empat langkah. Orang
awam dapat mengambil lima upāsaka sumpah. Langkah selanjutnya adalah memasukkan
pabbajja atau cara hidup monastik, yang meliputi mengenakan jubah biarawan atau
biarawati. Setelah itu, seseorang dapat menjadi samanera, Atau biarawan /
biarawati pemula. Langkah terakhir adalah untuk mengambil semua kaul seorang bhikkhu
/ bhukkhuni. Biarawan dan biarawati mengucap sumpah mereka untuk seumur hidup.
Seorang rahib dapat memberikan bhikkhu sumpah kembali dan kembali ke rumah
tinggal, dan mengambil sumpah lagi nanti. Dia dapat membawa mereka sampai tiga
kali atau tujuh kali dalam satu kehidupan;. Setelah itu sangha tidak boleh
menerimanya. dengan cara ini, Buddhisme menjaga sumpah "bersih". Hal
ini dimungkinkan untuk menjaga mereka atau meninggalkan gaya hidup ini, tetapi
dianggap sangat negatif untuk memecahkan sumpah ini.[34]
C. Kelompok Budha Awam
Dari sudut
pandangan kelembagaan, masyarakat Buddhis terdiri atas dua kelompok (parisa),
yaitu :[35]
- Kelompok
masyarakat keviharaan (bhikkhu-bhikkhuni parisa). Sudah dijelaskan diatas.
- Kelompok
masyarakat awam (upasaka-upasika parisa). Kelompok
masyarakat awam meliputi semua umat Buddha yang tidak termasuk dalam
kelompok masyarakat keviharaan. Mereka menempuh hidup berumah tangga.
Kelompok ini terdiri atas upasaka (pria) dan upasika (wanita) yaitu mereka
yang telah menyatakan diri untuk berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha
serta melaksanakan prinsip-prinsip moralitas (sila) bagi umat awam.
o
Budha di india (Topik 8)
Budhisme
di India
Sejarah
perkembangan agama Buddha di India setelah Buddha Gautama wafat di bagi menjadi
3 periode, yaitu : Masa perkembangan
awal hingga konsili agung kedua, masa
kekuasaan raja ashoka, dan masa
kemunduran agama Buddha di India
Konsili
pertama di adakan di Raja Graha dan di hadiri oleh 500 arahat dengan tujuan
utama mengumpulkan ajaran-ajaran yang telah diedarkan Buddha dan menyusunnya
secara sistematis. Konsili ini berhasil mengumpulkan ajaran-ajaran Buddha
kedalam 3 golongan, dari sumber inilah kemudian disusun kitab Tripitaka
sebagaimana dikenal saat ini.
Pada
konsili II sebagai awal adanya 2 kelompok yakni Mahasanghika vajian yang
kemudian dikenal dengan aliran utara (Mahayana) sedangkan Sthaviharavada atau
aliran Selatan (Hinayana).
Setelah
konsili kedua tersebut, untuk selama 100 tahun tidak banyak yang diketahui
tentang perkembangan agama Buddha di India. Terutama setelah raja kalasoka
meninggal dunia. Baru dengan munculnya raja asoka dari dinasti maurya, sekitar
272 SM, agama Buddha memperlihatkan perkembangan yang sangat pesat ke seluruh
dunia.
Pada
konsili III diadakan sebagai akibat dari sebagian bhikkhu yang menganut
pandangan sarvas tivadin, sebagai melawan pandangan tradisional dari yang lebih
tuala
Dari
Konsili I sampai IV secara garis besar terpecahlah aliran Buddha menjadi empat
aliran besar, yaitu Sthavirada menjadi aliran yang sekarang bernama Theravada
Buddhis, sedangkan Mahasangika dan Sarvastivada kelak menjadi aliran Mahayana
Buddhis. Sammitya yang merupakan pecahan Sthavirada sudah punah.Theravada
Buddhis berkembang di India semasa Raja Asoka dan dibawa oleh Putra Raja Asoka
yang bernama Mahinda ke Srilanka dan kelak dari Sri Lanka menyebarlah Buddha
Theravada ke Asia Tenggara pada abad ke-11.
Dari
India menyebarlah agama Buddha Mahayana ke timur, yaitu Cina, Korea, Jepang,
dan ke Utara Tibet dan Nepal yang kelak menjadi Tantrayana Buddhis.
Menjelang
pertemuan terakhir atas anjuran raja asoka maka dikirimlah utusan utusan ke
berbagai Negara untuk menyebarkan dharma, antara lain : Syiria, Mesir, Yunani,
dan Asia Tenggara Masa Kekuasaan Raja Asoka.
Di
tahun 249 SM atau 24 tahun setelah menjadi raja, Raja Asoka mengunjungi
tempat-tempat yang berhubungan dengan kehidupan
Buddha Gotama. Tempat–tempat
tersebut adalah: Kapilavatthu (tempat kelahiran Buddha), Vārāṇasī (tempat Buddha pertama kali mengajarkan Dhamma),
Buddhagayā (tempat pohon MahāBodhi),
dan Kusināra (tempat Parinibbāna Buddha). Di tempat-tempat tersebut, Raja memberikan
dāna dan mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang masih sangat
bermakna untuk mempelajari sejarah masa lalu.
Raja
Asoka meninggalkan ajaran Brahmana dan mengikuti ajaran Buddha, kemudian Raja
menjadi Bhikkhu. Ajaran Buddha pada masa itu mendapat kedudukan sebagai agama
kerajaan. Atas titah Raja Asoka, sekitar 48.000 buah thūpa (stupa) didirikan.
Yang masih tersisa adalah stupa yang terkenal di Sanchi (India Tengah), dekat
ibukota di bawah pemerintahannya dulu. Untuk puterinya, Puteri Charumali yang
sangat berbakti, Raja mendirikan beberapa vihāra bagi kaum wanita, terutama di
bagian Nepal.
Pada
tahun kesepuluh masa pemerintahan Raja Asoka diselenggarakan Saṅgāyanā yang
ketiga di ibukota Magadha, Pataliputta (218 tahun sejak
Parinibbāna Buddha Gotama). Saṅgāyanā
di pimpin oleh Bhikkhu Tissa Moggaliputta
dan menetapkan Kattavatthu ke dalam
Abhidhammā. Diberitakan bahwa
pada masa itu terdapat delapan belas aliran
(Therāvada yang terkemuka) dalam ajaran Buddha. Seorang sarjana barat,
Kern, menilai bahwa Saṅgāyanā ketiga ini bukan bersifat umum, melainkan hanya
dihadiri oleh kelompok Therāvada.
o Budhisme
di Cina dan aliran2nya (topik 9)
Pada abad
pertama sebelum masehi, penduduk China berkembang dengan pesat. Penduduk negeri
ini diperkirakan sudah berjumlah 50 juta. Daerah-daerah subur di sepanjang
aliran-aliran sungai menjadi tempat pemukiman yang memberikan cukup makanan.
Padi merupakan bahan pokok utama. Tanaman baru yang berasal dari Champa
(Vietnam) yang berkembang pada abad 11 seperti gandum, ubi jalar yang dapat
tumbuh pada tanah-tanah yang sempit, ikut mendorong pertumbuhan jumlah
penduduk. Pada sekitar tahun 1200, jumlah penduduk China diperkirakan berjumlah
100 juta, jumlah tersebut menurun menjadi sekitar 65 juta pada tahun 1368 yakni
pada tahun berakhirnya dinasti Mongol. Sejak itu jumlah penduduk mengalami
peningkatan. Namun, laju pertumbuhan penduduk tidak terlalu pesat karena
mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh bencana alam (banjir,
penyakit), peperangan, dan kerusuhan sosial.
Penduduk China
terdiri dari suku-suku bangsa dengan bahasa yang berlainan. Suku yang utama
adalah Bangsa Han, yang mengembangkan dasar-dasar kebudayaan dan politik sejak
dinasti Han (202-220 SM). Para ahli bahasa menggolongkan bahasa China dalam
keluarga Sino-Tibet. Dialek-dialek yang merupakan bagian dari bahasa China
beberapa diantaranya adalah dialek Wu atau Soochow, didapati di sekitar sungai
Yangtze dan Shanghai, dialek Min diwakili oleh Amoy (Fukien selatan) dan Swatow
(Kwantung dan pulau Hainan), dialek Hakka Yueh (Kanton), serta suku-suku
minoritas di selatan dan barat yang berdarah campuran Turki dan Mongol. Karena
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, kesulitan bahasa telah melahirkan
bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional pada abad ke-20 ini.
Agama Buddha
berkembang ke China sekitar abad kedua sebelum masehi melalui Asia Tengah dan
mulai berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). Sejak dinasti
Han (202-220 M), agama Buddha mulai mendapat perhatian. Kira-kira pada masa
itulah Mo Tzu menyusun bukunya Li-huo-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai
apologia bagi agama Buddha.
Pada tahun 147 M
seorang bhikṣu dari Asia Tengah bernama Lokaraksha telah menetap di Loyang,
ibukota dinasti Han masa itu. Pada abad ke-2, ke-3, dan ke-4 banyak bhikkhu
dari India pergi ke China dan menyalin berbagai Sūtra dan sastra dalam bahasa
China.
Pada tahun 399 M
seorang bhikṣu China bermana Fa Hien, bersama rombongannya yang terdiri atas 10
orang, melakukan perjalanan ke India melalui jalan darat untuk mempelajari
agama Buddha. Pada tahun 413 M, beliau pulang melalui jalan laut dan singgah di
Sriwijaya (Sumatera) dan Jawa. Beliau menyalin berbagai sūtra. Catatan beliau
mengenai negara-negara Buddhis (Record of Buddhist countries) terkenal sampai
kini.
Agama Buddha di
Cina juga melahirkan beberapa aliran besar dalam golongan Buddha Mahayana,
antara lain :
Aliran
Chan atau Dhyana yang didirikan oleh Boddhirma, asal
India tetapi menetap di Cina antara 527-536 M. Boddhidharma di kenal sangat raqdikal terhadap kitab suci
yang menjadi sumber ajaran agama Buddha dan bermaksud untuk kembali pada
semangat ajaran Buddha yang asli sehingga aliran yang didirikannya sangat
memberi tekanan pada teks-teks suci. Aliran ini berkembang pesat di Cina
terutama pada masa Hui Neng (838-713 M.) karena mengaku mendapatkan
ajarannya langsung dari Sakyamuni .
dalam perkembangannya kemudian , aliran ini
masuk dan berkembang di Jepang menjadi Zen dan berpengaruh dalam
kehidupan keagamaan di Cina maupun Jepang sampai sekarang.
Aliran
Vinaya, didirikan oleh Too Hsuan (595-667M), yang
menekankan ajarannya pada pelaksanaan vinaya secara ketat. Menurut aliran ini,
pengingkaran terhadap dunia dan kesusilaan merupakan kondisi kehidupan sang
Buddha. Oleh karena itu aliran ini menekankan pada kehidupan mistik dan
membiara. Aliran Ching-tu atau tanah
putih, yang didirikan oleh Hin Yuan dan T’an Lun. Ajarannya didasarkan pada
kitab Amithayadhana, sebuah kitab yang merupakan kelanjutan dari kitab Sukhau
Zatiyuha. Aliran ini menekankan pada pemujaan terhadap Amida Atau Amitaba yang
mewujudkan diri dalam Dewi Kwan In
Aliran
Chen Yen yang bercorak esoteris dan banyak mempergunakan
mantram atau diagram magik dalam
mencapai tingkat kebuddhaan; Aliran T’ien T’ai yang didirikan oleh Chih-Yi,
seorang ahli tafsir atau kitab kitab sutra, dengan ajaranya yang menekankan
pada dharma dan meditasi dan yang lain sebagainya.
o
Budha
di thailand dan di jepang (topik 10)
Buddhisme di
Thailand
Agama Buddha
berkembang di Siam (sekarang disebut Thailand) sudah sejak awal abad pertama
atau kedua Masehi. Hal ini diketahui berdasarkan hasil penggalian arkeologi di Phra Pathom (kira-kira 50 kilometer sebelah
barat Bangkok) dan Pong Tuk (sebelah barat Phra Pathom) berupa rupaṁ Buddha
serta lambang agama Buddha yaitu dhammacakka.Selain itu, juga dijumpai reruntuhan bangunan serta pahatan bagus yang oleh
para ahli diduga berasal dari pengaruh jaman Gupta (India) serta diduga
merupakan peninggalan dari Dvaravati. Dvaravati adalah suatu
kerajaan yang makmur pada jaman Huang Tsang, yaitu bagian pertama abad
ke-7 M.Pada abad ke-8 atau 9, Thailand dan Laos secara politis merupakan bagian
dari Kamboja serta dipengaruhi oleh keadaan kehidupan beragama dari kerajaan
Kamboja, dimana agama Brahmana dan agama Buddha hidup
berdampingan. Pada pertengahan abad ke-13, terjadi perubahan politik sehingga
Thailand yang menguasai seluruh wilayah Thailand dan Laos serta mengakhiri
supremasi politik Kamboja di wilayah tersebut. Di bawah penguasaan Thailand,
agama Buddha Theravāda dan bahasa PāỊi kembali berjaya di
Thailand dan Laos.Raja Thailand, Sri Suryavamsa Rama Maha Dharmikarajadhiraja,
bukan hanya sebagai seorang penguasa yang mendorong pengembangan agama Buddha,
tetapi beliau juga adalah seorang bhikkhu yang aktif menyebarkan Dhamma
ke seluruh negeri. Pada tahun 1361, Raja Thailand mengirim sejumlah bhikkhu
dan ācariya ke Ceylon serta mengundang Mahasami Sangharaja dari Ceylon
untuk berkunjung ke Thailand. Atas prakarsa dan kegiatan raja, maka agama Buddha
dan bahasa PāỊi berkembang luas mencakup kerajaan-kerajaan kecil Hindu
di wilayah Laos seperti Alavirastra, Khmerrastra, Suvarnagrama,
Unmargasila, Yonakarastra, dan Haripunjaya. Sejak saat itu, agama
Buddha mulai menyebar dan agama Hindu mulai memudar.Meskipun
Thailand mendapatkan pengaruh agama Buddha yang mendalam dari Cyelon,
namun hal tersebut telah dibayar kembali oleh Thailand, dimana raja Thailand
mengirimkan rupaṁ Buddha dari emas dan perak, salinan kitab-kitab
suci agama Buddha serta sejumlah bhikkhu ke Ceylon. Dari
peristiwa tersebut, dapat diartikan bahwa pada waktu itu Ceylon mengakui
Thailand sebagai negeri yang memiliki agama Buddha dalam wujud yang
murni.
Pada masa pemerintahan raja Rama I (1789) telah
ditulis sebuah kitab tentang sejarah pembacaan kitab suci (History of Recitals) oleh seorang bhikkhu dari kerajaan, yaitu Somdej Phra vanarat (Bhadanta Vanaratana). Dalam kitab tersebut, Bhikkhu Bhadanta
Vanaratana menyebutkan sembilan Saṅghayāna dalam agama Buddha (Theravāda).
Sidang saṅgha tersebut diselenggarakan tiga kali di India ( tiga sidang
yang pertama), empat kali di Ceylon (sidang yang ke-4, 5, 6, dan 7) serta dua
kali di Thailand (sidang yang ke-8 dan 9).Saṅghayāna ke-8 di Thailand
berlangsung pada masa pemerintahan Raja Sridharmacakravarti Tilaka Rajadhiraja, penguasa Thailand bagian utara, diselenggarakan di Vihāra
Mahābodhi Ārāma, Chiengmai, selama satu tahun penuh antara tahun 1457
dan tahun 1483, sedangkan Saṅghayāna ke-9 (menurut versi Thailand)
berlangsung pada tahun 1788 setelah terjadi perang antara Thailand dengan
negeri tetangganya. Dalam peperangan tersebut ibukota Ayuthia (Ayodhya) hancur
terbakar, banyak kitab dan kitab suci Tipiṭaka telah menjadi abu. Raja
Rama I dan saudaranya sangat prihatin atas keadaan saṅgha. Dan setelah
mendengar pendapat para bhikkhu, kemudian diselenggarakan Sidang Saṅgha
(Saṅghayāna) yang dihadiri oleh 218 Thera dan 32 Ācariya
dan selama satu tahun membacakan kembali kitab suci Tipiṭaka. Selama dan
sesudah Sidang Saṅgha, dilakukan rehabilitasi bangunan vihāra dan
pagoda, serta dibangun juga bangunan-bangunan baru.
Buddhisme di Jepang
Agama Buddha
diperkenalkan di Jepang pada abad
ke-6
setelah ketika para bhiksu Cina melakukan perjalanan ke Jepang sembari membawa
banyak kitab-kitab suci dan karya seni. Agama Buddha lalu dipeluk menjadi agama
negara pada abad selanjutnya.Karena secara geografis terletak pada ujung Jalur
Sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha
ketika agama ini mulai hilang dari India dan ditindak di Asia Tengah serta
Tiongkok.Dari kurang lebih tahun 710
banyak sekali kuil dan vihara dibangun di ibu kota Nara,
seperti pagoda
lima tingkat dan Ruang Emas Horyuji,
atau kuil Kofukuji.
Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak terhitung dan seringkali
dengan sponsor pemerintah. Pembuatan seni Buddha Jepang mencapai masa keemasan
antara abad
ke-8
dan abad
ke-13 semasa pemerintahan di Nara,
Heian-kyō,
dan Kamakura.Dari
abad
ke-12 dan abad
ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen,
mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen
dan Eisai
setelah mereka pulang dari China. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas
lukisan asli (seperti sumi-e
dan ensō)
dan puisi (khususnya haiku
Aliran-Aliran Buddhisme
di Jepang
Ada
aliran Agama Buddha yang memiliki penyebutan mantera agung Nammyohorengekyo
,mantra agama Buddha ini adalah agama Buddha aliran Jepang berikut
ulasannya:
Sebelum
tersebar ke Jepang, Agama Buddha terlebih dulu tersebar luas di semenanjung
Korea dan daratan China. Di China, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan
Saddharmapundarika-sutra. Dalam bahasa Cina Saddharmapundarika-sutra disebut Miao
Hua Lien Hwa Cing dan dalam bahasa Jepang dibaca Myohorengekyo.
Sutra Saddharmapundarika adalah ajaran Buddha Sakyamuni mazhab Mahayana. Dari
China, Myohorengekyo atau Saddharmapundarika-sutra lalu disebarkan ke Jepang
oleh Mahaguru Dengyo.
Aliran Niciren Syosyu didirikan di Jepang oleh Buddha Niciren Daisyonin berdasarkan Saddharmapundarika-sutra. Niciren Daisyonin menandai lahirnya aliran ini dengan penyebutan mantera agung Nammyohorengekyo untuk pertama kali pada 28 April 1253. Nammyohorengekyo terdiri dari kata Namu (bahasa Sanskerta ‘Namas’ yang berarti memasrahkanjiwaraga)danMyohorengekyo. Buddha Niciren Daisyonin terlahir dengan nama Zennichi Maro pada tanggal 16 Pebruari 1222 di desa kecil Kominato Propinsi Awa (sekarang daerah Ciba) Jepang. Sejak usia 12 tahun Zennichi Maro masuk ke kuil untuk menjadi bhiksu. Pada usia 16 tahun dia ditahbiskan menjadibhiksu
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka Bhiksu Renco mendapatkan kesadaran bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah Ajaran Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidupnya. Sejak itu Bhiksu Renco disebut Niciren Daisyonin.
Aliran Niciren Syosyu didirikan di Jepang oleh Buddha Niciren Daisyonin berdasarkan Saddharmapundarika-sutra. Niciren Daisyonin menandai lahirnya aliran ini dengan penyebutan mantera agung Nammyohorengekyo untuk pertama kali pada 28 April 1253. Nammyohorengekyo terdiri dari kata Namu (bahasa Sanskerta ‘Namas’ yang berarti memasrahkanjiwaraga)danMyohorengekyo. Buddha Niciren Daisyonin terlahir dengan nama Zennichi Maro pada tanggal 16 Pebruari 1222 di desa kecil Kominato Propinsi Awa (sekarang daerah Ciba) Jepang. Sejak usia 12 tahun Zennichi Maro masuk ke kuil untuk menjadi bhiksu. Pada usia 16 tahun dia ditahbiskan menjadibhiksu
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka Bhiksu Renco mendapatkan kesadaran bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah Ajaran Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidupnya. Sejak itu Bhiksu Renco disebut Niciren Daisyonin.
o
Aliran
Hinayan dan Mahayana ( topik 11)
A.
Aliran
Hinayana
Kita
mulai dengan pengertian dari kata Hinayana. Kata Hinayana bukanlah berasal dari
bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi
berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya
pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah
mempelajari bagaimana kata hinayana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta.
Hinayana
berarti ( kereta kecil atau kurang berusaha, jalan kecil atau aliran selatan).[36]
Hinayana
terdiri dari hina (kecil) dan yana (kendaraan) sering disebut
sebagai “kendaraan kecil” karena
bertujuan menjadi arahat maupun paccekabuddha yang dianggap lebih rendah
(inferior). Istilah Hinayana sendiri sebenarnya merupakan istilah yang
diberikan oleh kaum Mahayana. Pengikut aliran Hinayana tersebar mulai dari
Srilanka, Burma, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos.
Tradisi
yang berkembang selama berabad-abad telah mengubah praktek sempit aliran
Hinayana yang pada awalnya hanya ditujakan untuk bikhu. Hinayana menjadi aliran
yang besar dengan dikenal ditengah masyarakat. Para bikhuni terus menekuni
ajaran guna mencapai tingkat arhat. Namun metode baru berkembang untuk perumah
tangga (umat awam) dalam mempraktikkan ajaran agama Buddha, meskipun mereka
tinggal bersama keluarga, memiliki harta dan mengejar karir. Aliran Hinayana
mengajarkan kepada pengikutnya untuk hidup sesuai ajaran, puas dengan apa yang
diperoleh, dan hidup bahagia dengan janji bahwa mereka akan terlahir kembali di
alam yang menyenangkan dalam kehidupan selanjutnya (Simkins dkk, 2000:24).
Kata Hinayana
berasal dari dua kata, yaitu ”hina” dan ”yana”. Kata ”yana” berarti kendaraan, tidak
ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang
mengatakan kata ”hina” adalah lawan dari kata ”maha”. Padahal bila kita
menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pali, lawan kata dari kata ”maha” yang
berarti besar bukanlah ”hina” tetapi kata ”cuula” yang berarti ”kecil”. Lalu
apakah arti kata ”hiina”? Kata ”hina” sendiri berarti rendah, buruk, amoral.
Hal ini dapat dibuktikan dengan kata ”hina” dalam kosakata Indonesia yang
sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.
Dalam teks Pali dan komentar lainnya, hiina
sering digunakan dalam kombinasi kata hiina-majjhima-pa.niita, yaitu :
buruk – menengah – baik. Dalam konteks hiina- majjhima-pa.niita (atau
kadang hanya hiina- pa.niita), kata ”hiina” selalu digunakan sebagai
suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti kebencian, keserakahan, dan
kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata ”hina” berarti ”rendah, yang harus
dihindari, tercela”, dan bukannya ”kecil” atau ”kurang”.[37]
Dalam pokok
ajarannya Hinayana Mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar
yang terdapat di dalam kitab-kitab kanonik. Jika ajaran ajaran itu di
ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:
1. Segala
sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yng berada
hanya sesaat saja disebut Dharma. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang
tetap berada. Tidak ada aku yang tetap berpikir, sebab yang ada adalah pikiran.
Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.
2. Dharma-dharma
itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok
sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran Dharma yang terus-menerus maka
timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang palsu.
3. Tujuan
hidup ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala
kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap
sesuatu. Apakah yang tinggal berada di dalam Nirwana itu, sebenarnya tidak
diuraikan dengan jelas.
4. Cita-cita
yang tertinggi ialah menkjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti
keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak
ditaklukan lagi pada kelahiran kembali.
Kitab
Suci Hinayana:
Kitab suci
aliran ini dikenal sebagai Pali Canon. Kitab
suci ini kemudian dibagi menjadi tiga bagianyang disebut Tipitaka (“tiga bakul”):
Ø Vinaya Pitaka, berbicara
mengenai Sangha.
Ø Sutta Pitaka, terdiri
dari bermacam-macam ceramah yang diberikan oleh Buddha.
Abhimdhamma
Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha
B.
Aliran
Mahayana
Dua
kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah Bhodhisattwa
dan Sunyata karena kedua kata itu hampir terdapat pada tiap halaman
tulisan-tulisan Mahayana.
Secara
harfiyah Bodhisattwa berarti orang yang hakikat atau taiatnya adalah Bhodhi
(hikmat) yang sempurna.
Berkaitan
dengan cita-cita tentang Bodhisattwa ini, di dalam aliran Mahayana ada ajaran
tentang pariwarta, yaitu bahwa
kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentingan orang lain. Orang yang
mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk
kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah barang tentu berlainan sekali dengan
ajaran agama Buddha kuno, yang mengajarkan bahwa hidup seseorang terpisah dari
hidup orang lain.
Di
dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bodhisattwa tidak akan
dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam keadaan yang tidak menyenangkan di dunia. Demikian
juga seorang Bodhisattwa tidak diharuskan menyangkal dunia ini. Ia menerima
keadaan hidup seperti apa adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan, dan
kekuasaan.
Demikianlah
cita-cita hidup di dalam Mahayana berbeda sekali dengan cita-cita hidup di
dalam Hinayana.
Hal
yang kedua, yang memberi ciri Mahayana adalah ajaran tentang Sunyata, yang artinya kekosongan
Kosong
(sunyata) berarti: tidak ada yang
mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti, bahwa tiada pribadi (yang
mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tidak ada yang
dapat diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia
yang kosong, melainkan juga Nirwana bahkan
Dharma juga kosong. Kebenaran yang
tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tak dapat dijadikan sasaran
kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat dipegang, seandainya ia dapat dipegang, tak
dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak tidak memiliki ciri-ciri yang membedakan
dengan yang lain.
Di
dalam perkembangannya Mahayana mengalami bermacam-macam pengaruh, di antaranya
dari gerakan Bakti dan dari aliran Tantra.
Bakti
adalah penyembahan pribadi yang berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah
yang digambarkan dalam bentuk manusia. Sejak abad petama Masehi, Bakti
mempengaruhi agama Buddha, dan makin lama pengaruh itu makin kuat. Karena
timbulnya unsur penyembahan ini berubalah keterangan tentang ajaran mengenai
tempat perlindungan orang Buddhis. Di dalam agama Buddha Hinayana, Triratna,
yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha,
menjadi tempat perlindungan. Akan tetapi di dalam Mahayana tempat perlindungan
itu ialah para Bhudda, anak-anak Buddha atau Bodhisattwa dalam arti yang luas
dan Dharmakaya. Demikianlah di dalam Mahayana timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan secara
mitologis.
Ajaran
tentang banyak Buddha ini dijabarkan
dari ajaran tentang lima skandha, atau lima
unsur yang menyusun hidup manusia. Semula diajarkan, bahwa
manusiaterdiri dari lima skandha, yaitu:
rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjna (pengamatan), samskara
(kehendak, keinginan, dsb.), dan wijnana
(kesadaran). Ajaran ini diterapkan terhadap diri Buddha sendiri. Diajarkan,
bahwa Buddha juga terdiri dari lima skandha, dan tiap skandha adalah seorang
tokoh Buddha, yang disebut Tathagata. (Di Tebet disebut Jina. Kelima Tathagata
itu ialah Wairoscana (Yang menerangi
atau Yang Bersinar), Aksobhya (Yang
Tenang, tak terganggu), Ratnasambhawa (Yang
Dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang
yang kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan
yang tak binasa). Para Tathagata ini berbeda sekali keadaannya dengan Buddha
yang biasa. Para Tathagata adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi
manusia, sedang Buddha yang biasa menjadi manusia.
Perkembangan
lebih lanjut adalah demikian, bahwa para Tathagata itu dihubungkan dengan
penjuru alam. Lima Tithagata itu dipandang bersama-sama membentuk tubuh alam
semesta. Demikianlah Aksobhya dipandang berkuasa di sorga sebelah timur,
Ratnasambhawa di selatan, Amitabha di barat, Amoghasiddhi di utara, dan
Wairocana di tengah-tengah langit.
Pengaruh
Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha yang pertama, yang dipandang sudah ada
pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang
tak pernah tampak karena berada di dalam
Nirwana.
Hakikat
Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari sunyata, kekosongan.
Dengan lima macam permenungan (dhyana)
sang Adhi Buddha mengalir dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhyana Buddha, yaitu: Wairocana,
Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha,
dan Amoghasiddhi. Para Dhyani Buddha
ini dipandang menguasai daerahnya sendiri-sendiri, yang disebut Buddha-ksetra.
Daerah-daerah itu ada yang digambarkan seperti alam yang murni dan ada yang
kurang murni, sesuai dengan tugas Dhyani Buddha masing-masing. Di dalam
daerahnya itu masing-masing mengajarkan Dharmanya kepada para makhluk dan
menolong manusia untuk mendapatkan pencerahan.
Dengan
daya pengetahuan serta permenungannya para Dhyani Buddha melahirkan lima Bodhisattwa, yang disebut: Dhyani Bodhisattwa, yaitu Wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhya melahirkan wajrapani, Ratnasambhawa melahirkan Ratnapani, Amitabha melahirkan Padmapani atau Awalokiteswara dan Amohasiddhi melahirkan Wispapani. Para Dhyani Bodhisattwa ini adalah pencipta alam
bendani. Dunia yang mereka jadikan dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa.
Dunia yang sekarang adalah dunia yang keempat, hasil karya Awalokiteswara, yang
memiliki Amitabha sebagai pelindungnya.
Akhirnya
para Dhyani Bodhisattwa memantulkan diri pada lima Buddha dalam bentuk manusia,
yang disebut: Manusia Buddha, yaitu
secara beruntun: Krakucchanda,
Kanakamuni, Kasyapa, Sakyamuni, dan Maitreya.
Mereka adalah guru utusan para
Dhyani Bodhisattwa.
Kesatuan
ajaran tentang Buddha yang bermacam-macam itu didapatkan dalam ajaran tentang tiga tubuh Buddha (trikaya).
Ketiga
tubuh itu adalah: Dharmakaya,
Sambhogakaya, dan Nirmanakaya.
Dharmakaya adalah tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaan sorgawi
Dharmakaya dan Nirmanakaya adalah
tubuh penampakan, emanasi (pengaliran), transformasi atau pemantulan tubuh
sorgawi, yaitu tubuh yang tampak pada tiap Manusia Buddha.
Di
dalam agama Hindhu, Dharmakaya adalah Brahman,
yang tanpa waktu dan tanpa sifat, sedang Sambhogakaya direalisasikan dalam
bentuk Iswara. Adapun Nirmanakaya
adalah penampakan Iswara dalam Awataranya
atau penitisannya.
Sebutan
lain dari Dharmakaya adalah Swabhawakaya atau
tubuh yang menampakkan tabiat atau hakikatnya sendiri, jadi sama dengan apa
yang di dalam agama Hindhu disebut Swarupa,
bentuknya sendiri. Selanjutya Dharmakaya juga disebut Sunya, yang kosong Nirwana, kelepasan
yang kekal, Bodhi, hikmat, Prajna, hikmat ilahi, Tathagatagarbha, kandungan Tathagata,
dan sebagainya. Dari sebutan-sebutan itu jelaslah bahwa Dharmakaya adalah suatu
asas jiwani, yang meliputi segala
sesuatu, yang tak terselidiki. Kadang-kadang Dharmakaya dipersonifikasikan
sebagai Adhi Buddha, kadang-kadang
sebagai Wairocana, jika Wairocana
dipandang sebagai Buddha yang tertinggi..
Prajnaparamita
(sakti) dipandang sebagai satu dengan Dharmakaya, sama seperti sakti adalah
satu dengan Siwa. Oleh karena itu,
maka Prajnaparamita dipandang juga sebagai “kebuddhaun”,
tempat tiap Bodhisattwa dilarutkan, atau menjadi fana. Selanjutnya
Prajnaparamita juga dipandang dengan Ibu-Buddha,
yang mengandung Buddha, yang menjadi sumber segala sesuatu yang ada, baik
jasmani maupun rohani.
Sambhogakaya adalah
penjelmaan Dharmakaya dalam alam sorgawi. Di situ Sambhogakaya dipandang sama
dengan para dewa di sorga, yang memiliki namarupa,
tetapi yang mahatahu, yang berada dimana-mana dan mahakuasa. Buddha dalam
arti ini dapat disamakan dengan Iswara di
dalam agama Hindu, yang dapat disembah dengan bermacam-macam sebutan, seperti
misalnya: Siwa dan Wisnu. Di dalam agama Buddha Mahayana, Buddha-buddha ini disebut
Dhyani Buddha.
Buddha
yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang ini adalah Amitabha atau Amida. Ia
memerintah di dalam sorganya Sukhawati di
sebelah barat. Sebagai juru selamatnya atau Dhyani Bodhisattwanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau
Utusannya adalah Gautama. Akhirnya, Nirmanakaya, adalah daratan Buddha yang
tampak mengalir atau dipantulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakkan oleh
Sakyamuni atau Gautama, setelah ia menjadi Buddha.
Demikianlah
ajaran tentang Trikaya mempersatukan Buddha yang bermacam-macam tadi. Tiap
Buddha mendapat bagian dari tabiat Trikaya itu. Hakikat Buddha yang sebenarnya
adalah Budhi, pencerahan.[38]
Kitab Suci Mahayana:
Kitab
suci Mahayana pada masa-masa awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta, yaitu
bahasa India pertama. Kebanyakan isinya dapat dijumpai dalam Pali Cannon tetapi dengan penambahan
kitab-kitab lalinnya. Dinyatakan bahwa kitab-kitab tambahan ini dipercaya
sebagai “sabda Buddha”. Salah satu diantanya yang paling terkenal ialah Vimalakirti Sutra, yang berisi tentang
seseorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci daripada semuanya Bodhisattwa.
Umat
buddha Tibet percaya bahwa banyak Kitab Suci masih tersembunyi sampai komunitas
Buddha siap menerima dan mengerti ajarannya. Kitab-kitab Suci ini masih
ditemukan dewasa ini, yang dipergunakan secara luas adalah Tibetan Book of the Dead.[39]
C. Perbandingan,
Perbedaan dan Persamaan Hinayana dan Mahayana
Perbandingan Antara Hinayana dan Mahayana
a)
Dalam
Hinayana adalah berdasarkan etika dan sejarah, dalam Mahayana adalah keagamaan
dan metafisika, adalah suatu fase belakangan dari Budhism
b)
Dalam
Hinayana Kitab Sucinya berbahasa Pali dan kemudian campuran Sanskrit, sedangkan
Mahayana murni dalam bahasa Sanskrit.
c)
Hinayana
konsepsinya mengenai non-ego (anatman) yaitu pencampuran dari lima unsur atau elemen (Panca Skandha) yang terus berubah (anitya) atau sementara (ksanika)
d)
Dalam
Hinayana Pembebasannya (Nirvana) ialah bersifat individu tapi harus dicatat bahwa
pada waktu yang bersamaan itu bukanlah merupakan penghancuran melainkan keadaan
kekal, damai, bahagia dan baik sekali, sementara dalam Mahayana Nirvana adalah perolehan
dari kesempurnaan pengetahuan yaitu Prajnaparamita
e)
Dalam
Hinayana diperoleh dengan pembersihan atau pemberantasan mengenai kekotoran
batin disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya), sedangkan Mahayana pembebasannya tidak hanya
dengan pemberantasan mengenai kekotoran batin yang disebabkan oleh
ketidaktahuan/kebodohan (avidya) tapi juga pembasmian mengenai ketidakjelasan
mengenai ketenangan yang abadi, murni dan kekal (jneyavarana)
f)
Dalam
Hinayana pengikutnya dikenal sebagai Sravaka, yang mencari ke-arhat-an pada akhir masa kehidupannya yaitu Nirvana,
sedangkan Mahayana pengikutnya dikenal sebagai Bodhisattwa, yang diajarkan
untuk memperoleh Bodhi-pranidhi-citta dan Bodhi-prasthana-citta
g)
Dalam
Hinayana umat awamnya adalah yang terutama sebagai penunjang sangha dengan
memberikan hadiah-makanan, pakaian, dan membangun Vihara untuk tempat tinggal
Bhiksu. Mereka semata-mata pendengar khotbah yang disampaikan Bhiksu dan
pengamat 5 atau kadang-kadang 8 aturan sila, sedangkan dalam Mahayana umat awamnya
dicalonkan sebagai Bodhisttwa yang mempunyai tugas seperti yang dijelaskan di
atas
h)
Menurut
Hinayana, Budha hanya muncul satu kali dalam satu kalpa, sedangkan menurut
Mahayana semua mutlak mempunyai sifat dasar atau benih-benih Budha, secara
teknis dikenal sebagai Tathagata-garbha yang merupakan tempat perpaduan ke dua-duanya yang
baik dan buruk, dan hanya bilamana yang buruk itu dibasmi secara total, maka
dia akan menjadi Tathagata
i)
Mahayana,
konsepsi Madhyamika dan yogacara menganggap makhluk dunia dan obyek adalah
tidak kekal, sementara (ksanika) dan karena itu mereka sebenarnya non-eksistensi (sunya) atau kesadaran murni secara mutlak
j)
Menurut
konsepsi Hinayana mengenai kebenaran tertinggiialah hanya Pudgala-sunyata dan Dharma-sunyata
k)
Menurut
Hinayana mengenai 4 tingkatan kesucian atau jana yaitu: Sotapatti,
Sakadagami, Anagami, dan Arahatta, sedangkan Mahayana 10 tingkat atau Dasa-Bhumi (menurut Bodhisattva-Bhumi ada12) mulai
Bodhisattva melewatinya untuk memiliki pembebasan sempurna dan menjadi Budha.[40]
Perbedaan Aliran Hinayana dan Mahayana
a) Perbedaan
di dalam Interpretasi mengenai Pratityasamutpada
b) Perbedaan
di dalam konsep mengenai Nirvana
c) Perbedaan
di dalam tujuan akhir
d) Perbedaan
yang berhubungan dengan usaha untuk mencapai Nirvana
e) Perbedaan
yang berhubungan dengan penghapusan mengenai avaranas atau rintangan
f) Perbedaan
di dalam konsep mengenai Dharma
g) Perbedaan
di dalam konsep mengenai Buddhology
h) Hinayana
Intelektual, Mahayana Intelektual juga bakti-puja
i)
Hinayan pluralistik, Mahayana
non-dualistik
j)
Hinayana rasionalistik, Mahayana ghaib.
Persamaan
Aliran Hinayana dan Mahayana
a)
Memusnahkan kemelekatan, kebencian, dan
khayalan atau ilusi.
b)
Dunia tiada permulaan atau awal (anamataggo-ayam-samsaro)
begitu juga akhir.
c)
Empat kesunyataan Mulia atau kebenaran
utama, dukkha, samudaya, nirodha, marga dan 8 jalan Utama.
d)
Semua makhluk dunia dan obyek adalah
tidak kekal (anitya), bersifat sebentar (ksanika)dan di dalam
keadaan terus-menerus berubah (santana), dan tanpa adanya sesuatu
subtansi nyata (anatmakam).
e)
Hukum sebab-akibat yang saling
bergantungan (pratitya-samutpada) adalah berlaku secara universal.
D. Ritual
dan Praktek Budha Hinayana dan Mahayana
Ritual dan Praktek Budha Hinayana
Di dalam aliran Hinayana tidak ada
upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yang menganut aliran ini,
masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri
masih hidup pada 25 abad yang silam.
Penganut-penganut Hinayana
menitik-beratkan meditasi untuk mencapai penerangan sempurna sebagai jalan yang
terpendek untuk menyelami Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya
mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini,
sedangkan yang lain-lain itu tidak menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kuranng
dianggap penting dan bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya
menjadikan ikatan-ikatan yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan batin.[41]
Ritual dan
Praktek Budha Mahayana
Di dalam Mahayana, terdapat banyak
sekali upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan Mahayana lebih
menitik-beratkan kebaktian pada Sang Triratna yaitu Sang Buddha, Dhamma dan
Sangha.
Mahayana dapat memuaskan mereka, yaitu
rakyat biasa yang sederhana jalan pikirannya. Dengan hati yang sujud dan penuh
bakti, mereka melakukan kebaktiannya kepada para suci, dan dengan jalan ini
mereka mendapatkan kebahagiaannya.
Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama
yaitu Dhamma atau kesunyatan dan kebajikan untuk pembebasan mutlak dari
penderitaan, Nibbana.
Baik dalam aliran Hinayana maupun
Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan tujuan yang sama, hanya
mungkin upacara-upacara keagamaannya yang agak berlainan.
Dalam aliran Mahayana banyak sekali para
Boddhisattva Mahasattva yang dipuja seperti Avalokitecvara, Maitreya, Amitabha
Buddha, dll. Sedangkan dalam Hinayana tidak.[42]
o
Aliran
tantrayan , mamnntrayan dan vajrayana (topik 12)
B. Aliran Tantrayana
Secara umum Tantrayana juga dapat dikatakan bagian dari mahayana,
karena ada beberapa bagian dari inti
filsafat mahayana yang di terangkan secara Esoterik dan penuh sibolis ,
seperti, ; sunyata bodhicita, tathata, vijnana[43]
Para
misionaris Barat sangat kagum setelah mempelajari mazhab tantrayana, karena
terdapat konsepsi maupun ide-ide religi serta filsafat yang sangat kenal,
berlainan dengan konsepsi maupun ide yang mereka kenal sebelumnya.
Tantrayana di Tibet berkembang
hingga menjadi tiga periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta
periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini).
Mazhab Tantrayana,baik Tantra Barat
maupun Tantra Timur disebut esoterik (rahasia/tersembunyi), karena dalam
penyebarannya tidaklah bersifat terbuka. Tantra diajarkan oleh seorang guru
pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian[44]
v Kitab Suci Mazhab Tantrayana di
Tibet
Mazhab Tantrayana di Tibet memiliki
naskah terjemahan kitab suci yang kebanyakan berasal dari India dan terdiri
lebih dari 4.566 naskah. Kumpulan naskah dalam bahasa Tibet tersebut
digolongkan dalam dua bagian, masing-masing :
Bkahgyur(dibaca
Kanjur) yang sebahagian besar adalah terjemahan dari bahasa Sanskerta dan
sebahagian kecil terjemahan dari bahasa mandarin, terdiri dari 3.458 naskah
serta dihimpun dalam tiga bagian, yakni :
1.
Dulva (Vinaya), terdiri dari 13 bagian, merupakan peraturan-peraturan,disiplin,
tata tertib untuk anggota Sangha.
2. Do
(Sutra), terdiri dari 66 bagian yang mencatat ajaran Hyang Buddha, seperti
halnya dalamsutra-sutra canon pali dan sutta-sutta kanon sanskerta dan selalu
diawali dengan "Demikianlah yang saya dengar".
3.
Chon non pa (Abhidhamma), terdiri dari 21 bagian yang merupakan pelajaran
filsafat dan pembahasan dari ajaran Hyang/Sang Buddha.
Bstanghyur
(dibaca Tanjur), merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) yang dihimpun
dalam dua kitab :
1.
Tantra (Rgyud), terdiri dari 22 bagian yang berisi doa-doa,dharani-dharani,
mudra, mandala dan lain-lainnya.
2.
Sutra, merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) dari Do (sutra).[45]
Tantra terpisah dari Mahayana dalam
hal pendefinisian tujuan dan tipe manusia ideal dan juga dalam cara pengejaran.
Tujuannya masih sama, yaitu Kebuddhaan, walaupun tidak lagi terjadi di masa
depan, berkalpa-kelpa kemudia, tetapi saat ini, “dengan tubuh ini”, “dalam satu
piiran” yang diperoleh secara ajaib dengan cara-cara yang baru, cepat, dan
mudah. Orang suci yang ideal sekarang adalah Siddha atau ahli mukjizat,
walaupun agak mirip dengan Bodhisattwa yang telah melewati tahap kedelapan
dengan kekuatan-kekuatannya yang ajaib dan berkembang sempurna.
Tantra, walaupun secara jelas
menggabungkan doktrin dari sekte-sekte yang lebih dahulu, berbeda secara
radikal dari mereka semuanya di dalam mengenai bukan dengan perluasan teori
yang lebih lanjut dari doktrin-doktrin ini, tapi dengan penerapan metode menuju
pada realisasi realitas dari mana mereka adanya namun simbol konseptual. Jadi
Tantra memiliki sebegitu banyak pada bidang menguasai doktrin sebagaimana pada
bidang menguasai metode. Tradisi-tradisi Buddhist yang ada diterima sebagaimana
adanya, asalkan bukan sebagai suatu titik awal untuk tindakan. Lebih daripada
setiap sekte lainnya, Tantra mewakili segi latihan mengenai Buddhism, dan
karena alasan ini, jadi Dr. Herbest V. Guenter sangat menekankan [46]
‘Itulah di dalam Tantra bahwa
Buddhism menemukan kemekaran dan peremajaan lagi yang konstan’.
Tetapi walaupun Tantra berarti
tindakan, dan karenanya untuk kekuatan di dalam semua modenya, itu tidak
berarti tindakan secara umum, yang akan lebih baik dimiliki hanya aktivitas,
tapi terutama untuk ritual atau perbuatan sakral. Di dalam prinsip ringan yang
fundamental ini, dasar ‘kebenaran bagi eksistensi’ lebih dari penekanan Tantra
dengan ciri-cirinya secara jelas diperlihatkan.
Pentingnya aspek dan tradisi yang
permulaan di mana memberikan dasar teori yang paling dekat mengenai
kesakramenan Tantra; dikarenakan, sebagaiman Conze mengamati secara dekat;
‘jikalau Tantra mengharapkan
keselamatan dari perbuatan suci, itu haruslah mempunyai suatu konsepsi mengenai
Alam Semesta yang menurut perbuatan seperti itu dapatlah pada pengangkatan
pembebasan’.
yang tidak terhitung semua mewakili
baik aspek yang berbeda mengenai Realitas atau tingkatan yang berbeda mengenai
Jalan Transendental, dihubungkan tidak hanya dengan suatu kumpulan (skandha)
dari milik mereka, tapi juga dengan suatu kumpulan yang penting ‘mantra, mudra,
unsur (elemen), arah, hewan, warna, indera-perasaan, bagian dari tubuh dan
sebagainya. Tantra adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan
daripada sekte lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai
ajaran bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan
dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam,
karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah eksoterik melainkan
esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara
tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang
kotor.[47]
Pada jaman sekarang, Tantrayana
lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Hal ini tidaklah mengherankan,
karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra
tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.
C. Aliran Mantrayana
Bahwa
Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain dari pada yang
ditawarkan oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai merumuskan
berbagai jalan kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga oleh agama Hindu[48]
Pada
mulanya perkembangan Mantrayana ini merupakan reaksi alami terhadap tren
sejarah yang makin tidak sesuai dan mengancam kepunahan agama Buddha India.
Untuk mempertahankan dan melindungi diri, penganut-penganutnya semakin banyak menggunakan
kekuatan mukjizat dan meminta pertolongan dari makhluk-makhluk luhur, yang
keberadaan sebenarnya telah dibuktikan oleh mereka sendiri melalui pelaksanaan
meditasi trans. Di antara ini, perhatian besar ditunjukkan kepada makhluk luhur
berpenampilan menyeramkan, seperti “Pelindung Dharma”, yang disebut juga vidyaraja,
“raja adat dan pengetahuan yang suci” yang bermaksud baik tetapi menampilkan
wajah yang megerikan untuk melindungi orang yang percaya. Menarik juga untuk
dicatat bahwa untuk mendapatkan perlindungan, umat Buddha pada masa itu
mengandalkan makhluk-makhluk luhur feminin. Sekitar tahun 400 M, Tara dan
Prajnaparamita dipuja sebagai Bodhisattwa Kosmis[49].
Hal ini
berarti bahwa dalam setiap usaha untuk membentuk suatu Mandala haruslah memiliki
suatu nilai praktis yang mempengaruhi prilaku perseorangan (carya). Mantrayana
ini juga memiliki sikap yang tegar menentang segala bentuk khayalan dan
menumbuhkan bodhi sebagai lawan dari nirodha. Kesemua hal ini, dilaksanakan
untuk mencapai langkah terakhir yakni guru yoga sebagai sarana kekuatan untuk
mengatasi diri seseorang.
D. Aliran Vajrayana
ledakan
kreatif dari tantra permulaan
menuju suatu asumsi yang kompleks tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu
adalah Vajrayana yang menentukan tata cara mengenai banyak sekali tradisi yang luas dalam taraf
permulaan yang telah berkembang.[50]
Berasal
dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam
aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya.
Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Menurut
Wang Shifu, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri
berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya
yang bertahap namun pasti.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama
Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti
misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana
adalah merupakan ajaran
yang berkembang dari ajaran BuddhaMahayana, dan berbeda dalam hal praktek,
bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering
dibarengi dengan visualisasi[51].
Adapun tujuan akhir dari pada
Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita
saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang
tak terhitung. Oleh karena tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui
metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Ajaran Vajrayana secara umum di
berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama BuddhaTibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha
Sakyamuni yang amat cocok untuk di praktikkan oleh umat perumah tangga, umat
yang hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup
sebagai bhiksu di vihara Vajrayana.
Dalam ajaran Vajrayana, sekte
menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi
tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
Sekte Gelugpa: pendirinya adalah
Tsongkhapa (1357-1419) lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya
para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat,
dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam
Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan
·
Kadampa
sebagai pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru
India, yaitu Atisha Dipamkara.
·
Sekte
Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan naskah-naskah autentiknya,
pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray (Jalan dan Hasil). Tradisi ini
berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang merupakan pemegang tahta terakhir
dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari
Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince
Delusion sebelumnya.
·
Sekte
Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa (1079-1133). terkenal sebagai
tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada metode-metode Yoga-nya. Pusaka
ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang meliputi Enam Yoga Naropa
(tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta metode-metode esoterik lain
yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12
tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup selama 3
tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam tradisi Kagyu. Sekte
Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma
nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran
dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra
Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[52]
v Ritual dan Praktek
A. Tantrayana
Perdebatan
yang ada dalam aliran mahayana tidak terletak
pada ada tidaknya esensinya,
namun hanya terbatas pada pemahaman tentang sifat dari dharmakaya itu sendiri.
Kebanyakaan sutra menggambarkan dharmakaya sebagai sesuatu yang impersonal,
bukan pribadi dan bukan tidak
pribadi. Pada naskah-naskah yang
lain dharmakaya di kenal sebagai
personal dan kepadanya di beri
sifat-sifat yang baik. Khusus dalam aliran Tantrayana, dharmakaya
disembah sebagai budha primodial atau
Adi Budha.[53]
Tindakan atau perbuatan itu ada 3
macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan
mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling
manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan
sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran
dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai
arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai
arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan
oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran,
menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan
yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang
diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan,
dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral
dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh
menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang
tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak
hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material
dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga
bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan,
memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang
Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di
dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya
diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan
tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran
bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air
mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah
satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis.
Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada
dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu
yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan.
Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan
petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.[54]
B
.Mantrayana
Bagi
Mantrayana di ketemukan suatu dasar yang
dogmatis –filosofis karena orang
menganut suatu ajaran mahatunggal yang konsekwen. pastilah di dalam lingkungan
perbuatan-perbuatan magis, bahwa di dalam ajaran mahatunggalpun , Mahayana
bertindak sebagai persiapan bagi
mantrayana. ajaran mahatunggal ini di ajukan di dalam ini; bahwa orang mulai
berbicara tentang suatu “Maha-Budha ” ,
yang bentuk pertanyaanya berupa alam semesta,
seluruh dunia dengan segala
isinya. Alam semesta itu manifestasi dari dharmakaya.[55]
Langkah pertama untuk mencapai
tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil
perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang
berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha
kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua
bagian, yakni
§ Bodhi pranidhi citta : Tingkat
persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
§ Bodhi prasthana citta :Tingkat
pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap
umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi
perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang
Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan
spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini
berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan
selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai
melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan
selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru
yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra
adalah kata dalam bahasa sansekerta yang berarti pesona. Langkah berikutnya
adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti
filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang
telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah
selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur
Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri
dari :
§ Dana Paramita: Perbuatan luhur
tentang amal secara materi maupun spiritual.
§ Sila Paramita: Perbuatan luhur
tentang kehidupan bersusila.
§ Kshanti Paramita: Perbuatan luhur
yang dapat menahan segala macam penderitaan.
§ Virya Paramita: Perbuatan luhur
mengenai keuletan dan ketabahan.
§ Dhyana Paramita: Perbuatan luhur
mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
§ Prajna Paramita: Perbuatan luhur
mengenai kebijaksanaan.
C
.Vajrayana
Dalam
ajaran Vajrayana yang berkembang di
tibet, kosmos di jelaskan alam kaitan
mata angin: pusat, timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteris di waliki oleh unsur-unsur yang berpasangan
yang di wujudkan dalam bentuk tathaga pasanganya.[56]
Dalam
Vajrayana, terdapat
banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Vajrayana
yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik.
Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal
ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita
pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering
kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita,
yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering
akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus
kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun
sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan
kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia.
Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang
dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas
dari penyapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra
rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut
dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa
ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin
mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan.
Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang
akan ia peroleh..
Vajrayana memandang alam kosmos
(alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di
Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana,
Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah
wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api,
angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim,
Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti
ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan
cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra)
dan mandala.[57]
v Perbandingan
Ajaran ketiga Aliran di atas
Jadi,
Konsep Mantra pada intinya didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara
(sabda) sebagai sustu sumber kekuatan atau kekuatan itu sendiri, yang memiliki
pengaruh kuat terhadap organisme manusia dan alam semesta. Ini berarti pengakuan
akan adanya hubungan misterius tertentu antara evolusi kosmik dan suara. Begitu
pula dengan Tantra, walaupun pada prinsipnya Tantra tidak bersifat spekulatif,
dengan menerangkan berbagai tahapan kontemplatif yang harus dialami oleh
seorang sudhaka sebelum mencapai pencerahan bathin, namun Tantra berpandangan
bahwa penyamaan nirvana dengan samsara oleh Madhyamika adalah kebenaran dasari.
Begitu pula halnya dengan Vajrayana, aliran ini lebih menekankan dengan
silsilah yang berhubungan dengan sederetan dengan para Guru dari Hyang Budha[58].
v Tantra Theravada
Garis-garis
besar filsafat Tantrayana
Mazhab Tantrayana dikenal luas oleh dunia Barat sebagi
aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik). Sedangkan mazhab-mazhab
lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu yang kelihatan).
Menurut umat Buddha mazhab Tantrayana ini, sesungguhnya
Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan
tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara
dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan
pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal dari si pelaku
itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan Buddha.
o
Aliran
nichiren soshu(Topik 13)
Nichiren
Shōshū (日蓮正宗) adalah
sebuah aliran agama Buddha yang
berasal dari Jepang. Pendiri
ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap oleh penganut aliran ini
sebagai Sang Buddha pokok. Sekte ini merupakan salah satu dari
sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang. Sekte Nichiren Shoshu ini
berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang.
Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai pendiri sekte Nichiren
Shoshu.
A. Sejarah Agama Buddha di Jepang
Agama Buddha
masuk ke Jepang diperkirakan 853 atau 552 M. Ketika sebuah kerajaan kecil di
Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di
samping membawa berbagai hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan
rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku
lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan dan terutama para dewa
mereka[59].
Tokoh utama
dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taisi (547-621
M) yang naik tahta pada 593 M., yang peranannya dalam agama Buddha dapat
disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan agama Buddha
sebagai agama negara, menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh
dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Ia mengirimkan
para ahli Jepang ke Korea dan Cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu
pengetahuan. Pada tahun 607 M ia mendirikankuil-kuil Nara dan Haryuji yang
merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang.
a. Ajaran-ajaran
dari Nichiren Daishonin
1. Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo berarti “Aku mengabdikan diriku
terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan kedalam dan keindahannya
yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang
paling luhur”.
Dengan
kata lain perkataan, kata-kata itu menyatakan pengabdian dirinya kepada
realitas hidup semesta-terhadap hidup yang ada dimana-mana dalam alam semesta.
Nichiren Daishonin berpendapat bahwa hanya bilamana manusia menjadi satu dengan
hidup dari alam semesta dia benar-benar mencapai kebahagiaan mutlak, yang tak
tergoncangkan (alam ke-Buddha-an).
2. Gohonzon
Untuk memberi manusia biasa suatu barang pusat
pemujaan yang jelas, Nichiren Daishonin menciptakan ‘Gohonzon’ diamanatkan
kepada setiap orang yang percaya pada Nichiren Daishonin dan ajaran-ajarannya
yang benar. Sebagai suatu benda pusat pemujaan bagi semua orang di mana saja,
dia mengukir Dai-Gohonzon Agung, yang kini ditempatkan di ruang utama Sho-Hondo
dari Diseki-ji, kuil utama Nichiren Shoshu. Siapa pun yang tawakal pada
Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo kepadanya akan merasa roh
perorangannya bergabung dengan roh semesta. Nam-myoho-renge-kyo bukan
semata-mata bacaan; ini melibatkan doa-doa dan perbuatan-perbuatan pula.
3. Teori
‘Kaidan’
Berdasarkan sejarah, kaidan adalah suatu balai
Buddhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan. Dalam agama
Buddhisme Nichiren Daishonin, ini mempunyai arti lebih banyak, merupakan tempat
pusat pemujaan di mana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka
untuk mengubah hidup mereka untuk perbaikan mereka sendri dan seluruh umat
manusia dan membersihkan diri mereka dari karma yang menyedihkan melalui
kekuatan Dai-Gohonzon yang maha besar.[60]
Falsafah
Buddhisme Nichiren; Nichiren Daisonin memperkembangkan teori-teori;
1.
Tentang hubungan antara budi dan zat
dalam jasad hidup dan menghasilkan istilah-istilah khas untuk menerangkan
teorinya. Kata Shikiko berarti semua
zat atau semua fenomena fisik. Kata shimpo
berarti kerja pikiran atau cara berpikir. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan
atau funi. Shikishin: gabungan dari bagian-bagian pertama dari Shiki-ho dan Shim-po funi, karena itu berarti keutuhan dari budi dan zat. Teori
ini mencapai perkembangannya yang paling halus berhubungan dengan gagasan bahwa
jiwa hidup meresapi segala sesuatu.
2.
Tentang hubungan antara lingkungan dan
jasad. Untuk mengerti ini perlu mengetahui dahulu istilah Shoho berarti pokok, kedudukan subyektif, atau jasad hidup yang
merupakan pokok. Eho adalah obyek,
kedudukan obyektif atau lingkungan; ialah, obyek tanpa mana subyek Shoho tak akan dapat merupakan shoho. Shoho dan Eho adalah dua
dan meskipun demikian bukanlah dua; keduanya adalah terpisah namun tak dapat
dipisahkan. Jika Shoho adalah badan, eho adalah bayangan. Gagasan akan suatu
dunia yang sama sekali tak bernyawa adalah dua segi dari suatu barang. Teori
Nichiren mengajarkan bahwa shoho dan eho tidak dapat dipisahkan karena keduanya
adalah jalan bagaimana kehidupan pokok menunjukkan dirinya.
Lingkungan
atau eho, mengandung syarat-syarat yang membawa hidup ke dalam perwujudan yang
diberi sifat khusus dalam bentuk shoho itu. Dengan lain perkataan lingkungan
(eho) dan bentuk kehidupan (shoho) karena itu tidak dapat dianggap dua barang
terpisah oleh sebab jiwa hidup hadr di mana-mana di seluruh alam semesta dan
merupakan zat dasar utama dari keduanya. Nichiren Daishonin menjelaskan tentang
alam semesta sebagai diresapi dengan hidup telah berabad-abad mendahului
pengetahuan ilmiah; selanjutnya penjelasan itu lama berselang mengajar
bagaimana manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya, yang pada akhirnya
adalah suatu bagian dari kehidupan semesta yang sama dari mana manusia pula
merupakan suatu manifestasi. [61]
3.
Nichiren mengajarkan bahwa roh semesta
meresapi segala sesuatu dalam alam semesta. Buddhisme tidak membuat perbedaan
antara benda bernyawa dan benda tidak bernyawa tetapi membagi segala sesuatu di
dalam alam semesta ke dalam wujud-wujud perasaan (ujo) dan tanpa rasa (hijo).
Ujo berarti wujud yang mempunyai perasaan dan kesadaran; hijo berarti
wujud-wujud tak mempunyai perasaan dan kesadaran. Ujo dapat mengandung hijo;
ialah makhluk-makhluk perasaan mengandung unsur-unsur tanpa rasa. Dan hijo
dapat menampilkan sifat perasa; meskipun emosi-emosi dan kesadaran masih dalam
keadaan tidur, apabila diberi syarat yang tepat, makhluk-makhluk tanpa rasa
dapat berkembang menjadi perasa. Wujud hayati dan nirhayati tidak lebih dari
sementara, karena roh yang sama hadir di dalam perwujudan dalam kedua golongan.
Bentuk hayati menampakkan hidup sedang berjalan, bentuk nirhayati
menggambarkannya dalam keadaan latent.
Kesadaran
Buddhist akan peresapan roh semesta pada semua perwujudan baik perasa maupun
tanpa rasa, menuju ke kesadaran akan kekekalan hidup.
4.
Nichiren juga menguraikan tentang
kesadaran manusia melihat dunia dengan berbagai cara yang dapat diringkaskan
dalam tiga golongan pokok; 1. Pengamatan akan bentuk-bentuk sementara atau
fenomena material (ketail), 2. Pengamatan akan kehampaan atau fenomena
spiritual (kutai), 3. Pengamatan akan sifat hakiki dari benda-benda (chutai),
yang menampakkan dirinya dalam kedua bentuk lainnya. In dikenal dengan teori
santai. Ku dari Kutai adalah padanan
dari kata Sunyata (skt.). pendek kata
Ku berarti dunia kebenaran yang
mutlak, tak terbatas yang tercapai dengan melampaui pandangan sesuatu yang
relatif, hipotesis, konseptual, dan semua gagasan tentang eksistensi dan
noneksistensi. Masing-masing dari ketiga cara itu mengandung kedua lainnya.
Istilah en’yu-no-santai atau
“jenis-jenis pengamatan, yang saling mengisi dan melengkapi” secara ringkas
menyatakan persatuan ini. Teori ini diperkembangkan oleh Bhiksu Chih-i
(538-597) pendiri sekte T’ien-t’ai Buddhisme d China. Di Jepang sekte Tendai
(T’ien-t’ai) ddirikan oleh Bhiksu Saicho (767-822).[62]
5.
Ajaran Nichiren Daishonin juga
berdasarkan dari Sekte T’ien-t’ai yakni Ichinen-Sanzen
yang berarti secara harfiah ‘tiga ribu gagasan dalam satu saat tunggal’. Kata Ichinen berarti mikrokosmos. Kata sanzen dapat menunjang kepada banyak
aspek yang berlainan yang dapat diambil oleh hidup semesta, ialah totalitas
dari semua fenomena. Sanzen sebagai
makrokosmos.
Apa
itu tiga ribu? Penjelasannya ialah terdapat 10 alam eksistensi, yang harus
dilalui makhluk-makhluk hidup di mana mereka menempatkan drinya. Tiap-tiap alam
mengandung kesemuanya dari 10 alam dalam dirinya, jadi seluruhnya menjadi 100
alam. Terdapat 10 faktor pokok yang memberi ciri kepada semua barang (ju-myoze). Jadi 100 alam dikalikan 10
faktor menjadi 1000 alam. Dan setiap makhluk hidup dapat berhubungan dengan 3
lingkungan. Jadi jumlah alam eksistensi adalah 3000. Istilah ichinen sanzen berarti jiwa semesta yang
terdapat dalam satu saat pikiran tunggal (ichinen) mengandung semua alam yang
mungkin ada dalam alam semesta dengan cara ini atau saling berkaitan itu;
mikrokosmos memenuhi makrokosmos, dan makrokosmos adalah tersirat dalam
mikrokosmos.
Sepuluh
Alam Hidup:
1. Jigoku-kai
(Neraka; lam derita),
2. Gai-kai
(kelobaan; alam yang menguasai orang dengan kerakusan),
3. Chikusho-kai
(kebinatangan; alam yang menyebabkan orang dikuasai oleh naluri-nalurinya),
4. Shura
(keberangan; alam yang menguasai orang dengan sifat persaingan),
5. Nin-kai
(kemanusiaan atau ketenteraman; keadaan biasa dari hidup),
6. Ten-kai
(surga atau sukacita; alam kebahagiaan),
7. Shomon-kai
(kesarjanaan; alam orang yang merasakan kebahagiaan berilmu),
8. Engaku-kai
(penciptaan; alam kejiwaan di mana orang menghargai kesenangan penciptaan),
9. Bosatsu-kai
(bodhisattva; alam yang menginginkan kebahagiaan bagi orang lain),
10. Bukkai
(cita Buddha; alam ke-Buddha-an).[63]
Kesepuluh
Alam tersebut mengandung semua alam (10 alam) lainnya dalam dirinya. Ini
berarti bahwa setiap alam, disamping semua alam lainnya mengandung alam
ke-Buddha-an. Dengan kata lain bahwa semua orang dari semua jenis dan derajat
mempunyai benih-benih Buddha untuk mencapai Cita Buddha. Jadi jumlah Alam 10 x
10 = 100 Alam.
o
Sejarah
budhisme zen, aliran dan ajaranya (topik 14)
Sejarah aliran Zen
Jika kita pelajari sejarah agama Budha
dengan perhatian utama terhadap segi ini, hal yang lain segera menarik
perhatian kita adalah Agama-agama itu terpecah.[64]
Agama-agama selalu terpecah belah. Dalam tradisi kita, agama yahudi kuno
terpecah menjadi agama Israel dan agama Judah, agama Kristen terpecah menjadi
Gereja Timur dan Gereja Barat. Hal yang sama juga terjadi pada agama Budha.
Agama Budha terpecah kedalam dua mazhab besar, yaitu Hinayana (perahu kecil)
dan Mahayana (perahu besar), kedua aliran tersebut memiliki arti yang berbeda.
Aliran Hinayana menyatakan bahwa dirinya adalah Jalan para sesepuh, dan pada
dasarnya memandang manusia sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak
bergantung kepada penyelamatan orang lain, sedangkan aliran Mahayana menyatakan
dirinya sebagai pemelihara semangat Budha yang asli, berdiri lurus pada garis
Ilhamnya, dan berpendirian sebaliknya, oleh karena kehidupan itu satu, nasib
seseorang berkaitan dengan nasib manusia seluruhnya. Kaum Mahayan bersifat
liberal dalam segala hal. berdasarkan sejarah simgkat diatas, aliran Theravada
bersatu dalam suatu trdisi tunggal yang utuh. Sebaliknya, Mahayana
terus-menerus pecah. Hal ini disebabkan oleh luasnya daerah
penyebarannya, perpecahan itu juga mungkin disebabkan oleh sikap liberal
agama tersebut terhadap berbagai perbedaan dalam lingkungannya. Mazhab Mahayana
ini berkembang menjadi tujuh aliran terbesar, yaitu: aliran San-lun, aliran
Wei-shih, aliran Tien-tai, aliran Hua-yen, aliran Chan, aliran Ching-tu, dan
aliran Cheng-yen. Dan dalam buku Huston Smith aliran perahu besar terpecah
dalam lima paham. Yang satu menekankan iman, yang lainnya mengutamakan studi,
yang berikutnya menyandarkan diri pada rumus-rumus yang jitu, sedangkan yang
keempat mempunyai kecendrungan setengah poitik.
yang kau cari itu berada dalam dirimu
sendiri. Keagungan tidak datang dari luar. Keagungan berasal dari dalam dirimu
sendiri. Kenalilah dirimu - temukan dirimu dan kau tidak akan membutuhkan
sesuatu apa pun lagi dari luar.[65]
1. Pengalaman
Langsung
Zen menuntut pengalaman langsung - bukan
hasil pemikiran teori atau hasil menjalankan suatu ritual tertentu.
Satu-satunya iman yang dituntut dari seorang praktisi Zen adalah keyakinannya
pada pencerahan Siddharta ! Meditasi harus dijalani dengan tubuh ini bukan
dengan pikiran atau yang lain. Seorang Master Zen pernah mengatakan : Dalam
tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah - seseorang dengan ketekunan akan
menemukan Buddha !
2. Laku
- bukan Filsafat
Zen adalah Laku , bukan Filsafat ! Anand
Krishna dalam bukunya : Zen untuk Orang Modern - menggambarkannya dengan sangat
jelas - Zen bukanlah Filsafat Ia adalah Falsafah , sebuah Laku Hidup. Filsafat
melahirkan Konsep Falsafah membebaskan diri dari Konsep. Filsafat menyibukkan
pikiran Falsafah mengistirahatkan pikiran. Filsafat mengikat. Falsafah
membebaskan. Akan tetapi - masalahnya adalah - bila Laku Zen ini pun kita
jadikan konsep untuk dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan - ia akan kembali
menjadi filsafat. Kembali ke Zen : Zen adalah Za - Zen. Duduk Diam. Punggung
Lurus. Buka mata hati. Masuk ke dalam diri - M e d i t a s i !
3. Kesadaran
Hishiryo - Menjadi Sederhana
Taisen Deshimaru berbicara tentang apa
yang dalam bahasa Jepang disebut Hishiryo - Kesadaran Hishiryo. Kesadaran
Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan hidup. Satu hal yang menyebabkan
mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang adalah karena Zen menuntut kita
untuk menjadi sederhana. Dunia modern dengan segala corak kehidupan
masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu menuntut kita untuk
berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu - telah menyebabkan kita
secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks. Kesadaran Hishiryo
bukanlah sesuatu yang misterius atau esoterik. Kesadaran Hishiryo adalah
kesadaran yang seharusnya demikian dalam memandang suatu kehidupan. Suatu kesadaran
yang seharusnya normal-normal dan biasa saja. Masalahnya adalah bahwa apa yang
seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar manusia karena
pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa pemikiran dlsbnya.
Kesadaran Hishiryo ini akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa
yang ada di sekitar kita : alam , manusia dan makhluk lain - dan terutama juga
dengan ' diri ' kita sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan kita dari segala
sesuatu yang hanya mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' - tetapi akan membawa
kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas - yang pada akhirnya dengan
ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi : Kesadaran
Murni, Kesadaran Kosmis, Kesadaran No - Mind , Shunyata - Pencerahan Total.[66]
4.
Jalan Tengah
Zen mengajar kita untuk tidak menjadi
ekstrim dalam hal apa pun.Latihan Zen yang keras dengan laku disiplin yang
tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi keras. Sebaliknya - latihan ini
dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu kondisi mental yang teguh, tidak
mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu ekstrim - dari ekstrim yang satu
ke ekstrim yang lain.Agar kita dapat selalu berada dalam kesadaran mental yang
seimbang - menjalani hidup yang tak tergoyahkan oleh hedonisme. Zen mengajar
kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun
kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia.
Tetapi segi spiritual, segi bathin - amatlah penting untuk peningkatan evolusi
jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia. Dualisme
adalah produk dari pikiran - Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat
kesatuan dari segala sesuatu dan men-sintesa-kan keseluruhan dari kita ke suatu
kondisi yang seimbang.
5.
Pengantar untuk pokok-pokok ajaran
berikut :
Buddhisme Zen menurut Prof Dr. Suzuki
adalah bagaikan sebuah organisme yang hidup. Organisme yang hidup tumbuh dan
berkembang. Benih Buddhisme berasal dari India - diturunkan oleh Siddharta,
sang Buddha - kepada Mahakasyapa. Benih ini kemudian tumbuh dan berkembang.
Seribu tahun kemudian dengan kedatangan Bodhidharma di Tiongkok, benih
Buddhisme ini mencapai Tiongkok dan di sana bertemu dengan sebuah lapangan
pergulatan baru. Buddhisme Zen ( yang di Tiongkok disebut Chan ) bertemu dengan
Taoisme dan Konfusianisme.
7.Mushotoku
- Berhenti Mengejar
Melakukan apa yang harus dilakukan.
Tanpa Pamrih. Tanpa terlebih dulu memikirkan hasil atau keuntungan. Menjalankan
sesuatu sebagai suatu Dharma - sesuatu yang memang telah menjadi suatu hal yang
harus dilakukan.
8. Sekarang, Di Sini, Saat Ini
8. Sekarang, Di Sini, Saat Ini
Inilah
pragmatisme yang harus dilakukan dalam memandang kehidupan. Yang paling nyata
adalah sekarang yang terus berubah. Kehidupan harus dijalani pada kenyataannya
yang paling riel, paling nyata - yaitu saat ini. Masa lalu tak akan kembali,
masa depan belum nyata. Di sini Zen bertemu dengan Konfusius. Konfusius selalu
menekankan pada sekarang. Konfusius mementingkan apa yang nyata terlihat - apa
yang ada dihadapan kita. Sangat membumi.
9. Wu - Wei
Istilah ini
susah diartikan dan bahkan sangat sering salah diterjemahkan. Inilah kebijakan
yang berasal dari Taoisme. Sering diterjemahkan sebagai : Tidak berbuat - atau
dalam Bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ' Action in No Action ' -
sebuah terjemahan yang mungkin artinya agak membingungkan. Yang mendekati arti
sesungguhnya dari wu-wei mungkin adalah : Kebijakan untuk tidak mencampuri,
tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang alami. Let nature takes
care of itself - Biarkan yang alami bekerja, jangan memaksakan, jangan
mengatur, jangan mempengaruhi. Biarkan Hukum Alam bekerja. Harmoni dengan alam.[67]
o
Daftar
Pustaka
·
Pandita S.
Widyadharma, INTI SARI AGAMA BUDDHA, Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995)
·
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup
Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979),
·
Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan
Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA,
1979),
·
Mukti ali, Agama agama dunia cet
pertama, Pt hanindita offset, jogjakarta,
1988
·
A.G. Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT
BPK Gunung Mulia, 1997) Dhamananda”. Sari Keyakina umat Budha (terjemahan) 2007
·
“ Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis
Budhayana Indonesia) PANJIKA “Rampaian Dhamma” (PERVITUBI)
·
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat
Buddha, Kuala Lumpur: Ehipassiko Foundation, Cet ll, 2012, Pak Dyon, Kumpulan
Materi Agama Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
·
Bu Guru Kecil, Pengertian Meditasi,
Diakses pada 15 April 2013, dari http://khemakalyani.blogspot.com/2011/01/pengertian-meditasi.html
·
Pak Dyon, Kumpulan Materi Agama
Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari
http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
·
Samaggi Phala.or.id, Dasar-Dasar
Meditasi Vipassana, diakses pada 13 April 2013, dari
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/dasar-dasar-meditasi-vipassana/
·
Buddhakketta, Meditasi Samatha dan
Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
·
Mahatera, Narada, Sang Buddha dan
Ajarannya, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arema, jilid ll,
·
Buddhakketta, Meditasi Samatha dan
Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari
http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
·
Dhamma study group bogor, daikses
pada 20 april 2013, dari http://www.buddhistonline.com/dasar/tiratana2.shtml
·
Pandit J. Kaharuddin, Kemasyarakatan
Umata Buddha, diakses pada 21 April2013, dari
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml
·
http//:Bhagavant.com
·
Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h.72-73.
·
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
·
Edward Conze. Sejarah Singkat Agama
Buddha. Oneworld Publication. 2010 Hal.97
·
http.wikipedia.vajrayana.com
·
http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
·
Albert Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz
Media.2000http://tamandharma.com
[2] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995), hal.7-8
[3]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.4
[4] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995), hal.8
[5]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 10
[6] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17,
2010), hal.65
[7]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11
[8] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17,
2010), hal.65.
[9]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11-14
[10] Forum
Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di
unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[11]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.15-16
[12] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17,
2010), hal.66
[13] A.G.
Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[14]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 19-20
[15]“
Dhamananda”. Sari Keyakina umat Budha (terjemahan) 2007 H152
[16]“
Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis Budhayana Indonesia) H 134
[17] PANJIKA
“Rampaian Dhamma” (PERVITUBI) H 69
[18]
Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis Budhayana Indonesia) H 134
[19] PANJIKA
“Rampaian Dhamma” (PERVITUBI) H 80
[20]
Kebahagiaan Dalam Dhamma” (majelis Budhayana Indonesia) H 136-137
[21]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, Kuala Lumpur: Ehipassiko
Foundation, Cet ll, 2012, h. 288-294
[22] Pak
Dyon, Kumpulan Materi Agama Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
[23] Bu Guru
Kecil, Pengertian Meditasi, Diakses pada 15 April 2013, dari http://khemakalyani.blogspot.com/2011/01/pengertian-meditasi.html
[24] Pak
Dyon, Kumpulan Materi Agama Buddha, diakses pada 15 april 2013, dari http://pak-diyon.blogspot.com/2012/01/cara-meditasi.html
[25] Samaggi
Phala.or.id, Dasar-Dasar Meditasi Vipassana, diakses pada 13 April 2013,
dari http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/dasar-dasar-meditasi-vipassana/
[26]
Buddhakketta, Meditasi Samatha dan Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
[27]
Mahatera, Narada, Sang Buddha dan Ajarannya, Jakarta: Yayasan Dhammadipa
Arema, jilid ll, hal. 217-218
[28]
Buddhakketta, Meditasi Samatha dan Vipassana, diakses pada 19 April 2013, dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat7/Sub31/Sub203/Art212/baca.php?com=1&id=212
[29] Dhamma
study group bogor, daikses pada 20 april 2013, dari http://www.buddhistonline.com/dasar/tiratana2.shtml
[30]
Berkemampuan mengingat penitisan lampau, melihat Alam-alam halus dan melihat
muncul-lenyapnya makhluk yang menitis sesuai dengan kamma, berkemampuan
memusnahkan arus-kekotoran-bathin atau asava. Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, h. 40
[31] Tiga
diatas ditambah, dapat membaca pikiran makhluk lain; dapat mendengar suara di
Alam manusia, Dewa, Brahma; punya kekuatan Gaib. Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, h. 40
[32] Terdiri
dari empat; Atthapatisambhida; Dhammapatisambidha; Niruttipatisambhida; Pati
bhanapatisambida. Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma,
h. 40
[33] Dhamma
study group bogor, daikses pada 20 april 2013, dari http://www.buddhistonline.com/dasar/tiratana2.shtml
[35] Pandit J. Kaharuddin,
Kemasyarakatan Umata Buddha, diakses pada 21 April2013, dari http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml
[36] T.Suwarto.
Buddha Dharma Mahayana.(Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, 1995), h 107
[37] http//:Bhagavant.com
[38] Harun
Hadiwijono, Agama Hinda dan Buddha, (Jakarta:
PT BPK Gunung Mulia, 2009), Cet. Ke-16, h. 91-96.
[39] Michael
Keene, Agama-Agama Dunia,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), h.72-73.
[40] T.Suwarto.
Buddha Dharma Mahayana.(Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, 1995),h 839-842
[46]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha
Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.439
[48]Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia,
Jakarta: 1997 hal.236
[51]http.wikipedia.vajrayana.com
[52]http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[54]Ibid
hal. 440
[55] ibid ,
ilmu Agama h 236
[57] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[59] Ali
Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta
(IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 140-142
[60] T
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta,
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 522.
[61] T
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta,
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[62] T
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta,
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[63] T
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta,
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 526
[64] Albert
Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz
Media.2000. hal. 56
[65] http://tamandharma.com
[66] http://tamandharma.com
[67] http://tamandharma.com