Thursday, May 30, 2013

Aliran hinayana dan mahayana


A.    Pengantar
Setelah Budha Gautama wafat pada tahun 438 SM, maka tidak ada dari pengikutnya yang dapat menggantikannya, karena kedudukan Budha bukan kedudukan yang dapat dicapai orang dalam waktu satu generasi saja. Calon Budha yang akan datang adalah Maitreya, yang kapan turunnya ke dunia dalam wujud manusia tidak ada orang yang tahu.
            Ajaran budha waktu itu belum dicatat dan dibukukan. Apa yang diajarkan olehnya kepada murid-muridnya hanya tersimpan dalam ingatan mereka. Maka tidak mustahil kalau ajaran-ajaran Budha Gautama dalam proses penyampainnya dari satu generasi ke generasi berikutnya terdapat perubahan-perubahan. Dan akhirnya timbullah beberapa macam-macam penafsiran terhadap Dhamma atau ajaran-ajaran Budha itu yang kemudian munculnya beberapa banyak mazhab.
Dari sekian banyak mazhab yang ada itu dapat dikelompokkan menjadi dua aliran yaitu, aliran Hinayana dan aliran Mahayana.
Disini penulis ingin menguuraikan beberapa sejarah awal munculnya aliran Mahayana dan aliran Hinayana. Dan menjelaskan tentang ajaran-ajaran yang terdapat dalam aliran Mahayana dan aliran Hinayana. 








B.     Sejarah awal alirana Hinayana dan Mahayana
Agama Budha, yang berasal dari ajaran Sakyamuni, yang muncul di india lebih dari 25 abad yang lalu di bagi menjadi empat fase.
1.      Agama Budha Awal, periode dari permulaan Budha mengajar hingga 100 tahun sesudah Budha parinirwana, 530-380 S.M.
2.      Agama Budha Hinayana, perkembangan dari berbagai aliran sejak 100 tahun sesudah Budha parinirwana hingga tahun 100 Masehi.
3.      Perkembangan Agama Budha Mahayana, Hinayana dan Mahayana tumbuh bersama. Sebuah masa baru dalam Agama Budha, 106-300 Masehi, Agama Budha disatukan oleh Nagarjuna.
4.      Dominasi Mahayana, 300-500 Masehi. [1]
Agama budha mempunyai tiga fondasi dasar dalam ajaran religi kuno. Yang pertama ajaran Weda, Brahmana, dan Upanishad. Agama Budha dipandang sebagai perkembangan dari lanjutan dari religi India. Pada masa Budha ada banyak guru dan pemikiran yang menimbulkan kebingungan, dan tetapi ketika budha muncul, dan menjadi tercerahkan, budha menegakkan jalan tengah, dari guru dan pemikir lainnya. Budha mempertahankan ajaran lama dan menolak sisanya. Karena personalitas yang agung, dan sikap filosofis-Nya yang sintetik, agama Budha mulai menjadi populer.
Pada abad ketiga S.M. Raja Asoka berusaha menjadikan Budha menjadi agama dunia. Menyesuaiakan dirinya dengan perkembangan zaman, agama ini berkembang dari Agama Budha awal menjadi berbagai aliran Agama Budha yang berbeda dan kemudian menjadi aliran Mahayana, setelah itu menjadi agama yang bahkan kebih besar. Belakangan, benih-benih kemerosotan timbul secara perlahan-lahan dan Agama Budha menghadapi konflik dengan semangat ortodoks india. Tapi kesudahaanya apa yang hilang di india mendapatkan tempat dan akhirnya Agama Budha mempengaruhi semua pemikiran Asia.
Semua sutra Mahayana dan Hinayana dimulai dengan “Demikian yang telah kudengar,” tetapi tidaklah berarti bahwa “aku” merupakan pendengar langsung dari khotbah yang diberikan. Agaknya penutur membacakan kembali apa yang dia percaya sebagai khotbah Guru (Budha).
Konsili yang pertama, yang diperkirakan berlangsung tidak lama setelah Budha parinirwana, tidak meninggalkan catatan tertulis berupa kumpulan dokumen kepustakaan dari semua khotbah yang diberikan selama 49 tahun (versi lain 45 tahun) membabarkan Dharma. Sebuah konsili seperti itu hanya dapat mencatat garis-garis besar ajaran Guru Agung yang bersifat umum, tidak dalam bentuk sutra-sutra formal, melainkan dalam bentuk ringkasan dan khotbah-khotbah pendek seperti yag kita temukan dalam Sutta-Nipata, Itiwuttaka, Udana, dan lain-lain.
Salah satu cara untuk menelusuri ajaran asli Budha tanpa dipengaruhi komentar-komentar, interpretasi, dan tambahan yang berhubungan dengan sejarah adalah dengan memeriksa secara cermat dan ilmiah literatur tentang khotbah-khotbah budha dan menemukan benang merah yang menghubungkannya. Sumber-smuber pali bukan satu-satunya petunjuk yang patut dipercaya, Karena terjemahan dakam bahasa mandarin kadang-kadang mencerminkan tradisi yang lebih awal, dan secara lebih meyakinkan menunujukkan gagasan awal yang berlaku di zaman budha. Teks pali milik aliran tertentu, dan tak terelekkan bisa sampai fase itu. Kitab-kitab tersebut berasal dari aliran wibhajjawada dan kebanyakan menyajikan ajaran budha yang bersifat rasional.
Tetapi sungguha aneh melihat para kritikus Barat, yang bersikeras membuktikan pernyataan-pernyataan dari kitab-kitab sucinya, telah memperlakukan kanon pali dengan sangat hormat karena secara terbuka menentang setiap usaha untuk menerapkan penelitian serupa yang cermat secara tidak memihak terhadap sumber-sumber informasinya, seperti yang mereka tuntu dari para peneliti sejarah agama Kristen. Kanon pali ditulis bertahap bahkan beberapa muncul belakangan. Agama budha awal menjadi berubah bentuknya dan mengalami kristalisasi di tangan para biksu, dan berkembang menjadi apa yang dinamakan agama budha Mahayana. Oleh sebab itu keliru jika menempatkan kanon pali yang digunakan kaum Hinayana sekarang sebagai ajaran langsung dari budha.  Ajaran-ajaran Hinayana tersebut merupakan produk dari para biksu petapa, yang telah mengubah ajaran budha yang sebenarnya.
Sedangkan kaum Mahayana yakin bahwa mereka dapat menemukan dalam wacana mereka sendiri. Seperti para agama-agama lain, dalam agama budha ada kelompok konservatif, fundamentalis, dan kelompok yang berpikir luas, yang modern; Hinayana mewakili yang pertama sedangkan Mahayana yang kedua.  
C.    Aliran Mahayana
Ajaran Sakhyamuni Budha lazimnya disebut Budha dharma sering diibaaratkan sebagai “Yana’’ di dalam kitab-kitab suci atauu sutra-sutra agama Budha. Mahayana secara harfiah berarti:
Maha berarti: besar, luas, agung, diperluas.
Yana berarti: kendaraan, kereta.
Mahayana berarti kendaraan besar yang mengangkut pengemudinya bersama para penumpangnya mencapai suatu tempat yang dituju bersama. Ajaran sakhyamuni budha membimbing penganutnya mencapai suatu tujuan suci dan mulia yang dikehendaki oleh para penganutnya, seperti sebuah kendaraan besar yang mengangkut pengenmudinya bersama-sama para penumpangnya mencapai tempat yang dituju.[2]
Mahayana yang artinya kendaraan besar  adalah aliran yang mengadakan pembaharuan terhadap ajaran budha yang asli. Ciri yang menonjol dari aliran Mahayana adalah timbulnya upacara penyembahan kepada Tuhan dalam agama Budha. Jika diteliti lebih mendalam konsepsi ketuhanan menurut aliran Mahayana itu sebenarnya menyerupai paham kedewataan dalam agama Hindu. Dengan demikian nyatalah bahwa kepercayaan india lama masih juga tampak pengaruhnya terhadap keperacayaan yang timbul kemudian.
Dalam konsepsi ketuhanan aliran Mahayana ini juga tampak adanya pengaruh dari aliran Bhakti dan Tantra. Yaitu aliran yang merupakan perpaduan yang sikretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk kepercayaan primitif di india. Buku-buku ajaran Mahayana banyak menggunakan bahasa Sansekerta. Sedangkan penganutnya banyak terdapat di negara-negara India, Nepal, Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang dan Indonesia. Tokoh terkemuka yang di anggap sebagai reformer oleh penganut-penganutnya dalah acvaghosa.
Menurut teologi Mahayana, yang disebut Budha itu bukan hanya Budha gautama saja, melainkan ada 4 orang lagi yang disebut budha sebagai guru dunia. Yaitu, Kakusandha, Konagammana, dan Kasappa yang telah datang sebelum Budha Gautama dan setelah Budha Gautama kelak akan datang lagi seorang manusia Budha yang bernama Maitreya. Tiap-tiap masa dunia tertentu hanya turun seorang Budha.
Susunan kedewataan (wujud-wujud tingkat tinggi) sampai wujud tingkat terendah menurut aliran Mahayana dapat digambarkan sebagai berikut:[3]
          Tingkat wujud
          Tingkat alam
          Adhi budha
           Maha para nirwana
          Dhyani budha
           Para nirwana
          Dhyani bodhisatwa
          Dewacan
           Arupa dewacan rupa
           Dewacan
         Manusia Budha
         Manusia
         Binatang
          
           Rupa
         Arta
         Asuraka
           Kamaloka
            Adhi Budha adalah Budha yang asli tidak lain adalah tuhan yang Maha Esa, yang bersemayam di dalam maha para Nirwana (Nirwana yang tertinggi). Pada tingkat bawahnya terdapat Dhyani Budha, yang merupakan pancaran Adhi Budha. Dhyani Budha mempunyai kedudukan sebagai dewa tertinggi yang bersemayam di surga Sukhawati.
Dhyani Budha memancarkan sinarnya ke tingkat di bawahnya dan menjelma sebagai Dhyani Bodhisatwa atau calon Budha, yang mempunyai kedudukan sebagai dewa yang menguasai dunia. Inilah dewa pelindung dunia dan penyelamat umat manusia.
Untuk dapat berhubungan dengan dunia dan seisinya, termasuk umat manusia, Dhayani Bodhisatwa memancarkan sinarnya ke tingkat di bawahnya dan menjelma dalam bentuk seorang manusia yang mempuyai derajat ke-Budha-an.
Pada masa sidharta gautama menjadi guru dunia, yang menjadi dhyani budha adalah amitaba dan yang menjadi Dhayani Bodhisatwa adalah Avalokiteswara dan yang menjadi manusia Budha adalah Sidharta Gautama atau Budha Gautama.
Timbulnya kepercayaan terhadap susunan tingkat kebudhaan di dasarkan atas ajaran tentang Trikarya (tiga tubuh budha), yaitu:
1.      Dharmakaya, yang artinya tubuh kebahagian, tubuh hakiki.
2.      Sambhogakaya, yang artinya penjelmaan surgawi dari dharmakaya.
3.      Nirmanakaya, yang artinya tubuh penampakan atau emanasi dari tubuh surgawi tersebut.[4]
Menurut kepercayaan aliran Mahayana, tujuan tertinggi bukannya menjadi arahat, tetapi menjadi Boddishatwa. Seorang Bodhisatwa sebenarnya bisa langsung menikmati kebahagiaan di Nirwana, tetapi ia belum menetap di Nirwana, melainkan masih ingin turun ke dunia guna menyelamatkan umat manusia yang percaya dari penderitaan.
Demikianlah cita-cita penganut aliran mahayana, bukanlah kelepasan individual, melainkan kelepasan bersama-sama orang banyak sehingga aliran itu di beri nama “kendaraan besar” karena mempunyai jangkauan untuk menyelamatkan lebih banyak umat manusia.
D.    Aliran Hinayana
Aliran Hinayana (kendaraan kecil) adalah aliran ortodoks. Yaitu aliran yang mempertahankan keasliannya ajaran agama Budha. Pengikut aliran ini banyak terdapat di negara-negara Srilangka, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos dan Vietnam. Sesuai dengan ajaran asli Budha Gautama, aliran Hinayana tidak mengajarkan penyembahan kepada Tuhan. Yang penting ialah melaksanakan ajaran moral yang diajarkan oleh gurunya itu. Buku-buku ajarannya banyak menggunakan bahasa pali. Tujuan tertinggia ialah menja arahat yaitu seorang yang benar-benar telah lenyap nafsu dan keinginannya dan ketidaktahuannya (Avidya) sehingga ia dapat mencapai Nirwana dan dengan demikian terbebaslah ia dari rangkaian Samsara. Aliran ini menitikberatkan pada kelepasan inidvidual, artinya tiap-tiap oang berusaha melepaskan dirinya masing-masing dari penderitaan hidup.
Jika agama hindu beranggapan bahwa alam semesta ini besifat maya karena hanya merupakan manifestasi dari brahman yang benar-benar mempunyai wujud yang sesungguhnya, maka aliran hinayana beranggapa bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini berwujud dalam suatu ketika saja. Segala sesuatu selalu dalam perubahan, selalu dalam proses, hanya saja mata manusia tak mampu mengamatinya.
Jika mengamati kehidupan seseorang mulai sejak lahir sampai tua, kita melihat bahwa ia adalah pribadi yang satu dan utuh. Padahal sebenarnya tidak demikian menurut kepercayaan agama budha. Keadaan sebagai bayi, sebagai pemuda dan sebagai orang tua yang tampaknya sebagai satu kesatuan sebenarnya rangkaian kehidupan yang berbeda-beda. Apa yang manusia rasakan sebagai “aku” sebenarnya tidak ada budha gautama tidak mengakui adanya jiwa perorangan.
Jika kita melihat tubuh si fulan, kita menganggap ada roh (jiwa) si fulan. Menurut budha gautama, di balik tubuh si fulan tidak tersimpan sesuatu pribadi atau roh pribadi yang tertentu. Adanya manusia yang bernama fulan karena bertemunya seperangkat skandha-skandha. Pengertian “aku yang berpikir” tidak ada, yang ada adalah “pikiran”. “aku yang merasa” tidak ada, yang ada adalah “perasaan”.
E.     Ajaran hinayana dan mahayana
1.      Ajaran hinayana
Dalam pokok ajaran hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik. Jika ajaran itu diiktisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian.
a.      Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang berada untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh kerena itu tidak ada sesuatu tang tetap ada. Tidak ada aku yang berpikir, sebab yang ada adalah pikiranku. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.
b.      Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang palsu.
c.       Tujuan hidup adalah mencapai nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal berada didalam Nirwana itu, sebenarnya tidak di uraikan dengan jelas.
d.      Cita-cita yang tinggi ialah menjadi arhat, yaitu orang sudah berhentin keinginannya, ketidaktahuannya, dan oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali.[5]
2.      Ajaran mahayana
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran mahayana adalah Bhodhisattwa dan Sunyatakarena kedua kata itu hampir terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan mahayana.
Secara harfiah Bhodhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna.
Sebelum mahayana timbul,  pengertian Bhodhisattwa sudah dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Budha Gautama, sebelum ia menjadi Budha. Di situ Bhodhisattwa berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang bakan menjadi Budha. Jadi semula Bhodhisattwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi Budha. Di dalam mahayana Bhodhisattwa adalah orang yang sudahh melepaskan dirinyadan dapat untuk menjadikann sarana untuk menjadi benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodhisattwa bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja, melaikan  juga turut merasakannya dengan berat. Oleh karenanya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktifitasnya sekarang dan kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong pada orang lain.
Cita-cita tinggi dalam mahayana ialah untuk menjadi Bhodhisattw. Cita-cita ini berlainan sekali ndengan cita-cita Hinayana yaitu untuk menjadi arhat. Sebab seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri sendiri. Cita-cita Mahayana ini juga berlainan sekali dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka Budha, seperti yang diajarkan oleh  Hinayana, yaitu bahwa karena usahanya sendiri orang dapat mencapai pencerahan bagi dirinya sendiri saja, tidak untuk diberitakan kepada orang lain. Sekalipun karena kebajikannya seorang Bhodhisattwa sudah dapat mencapai nirwana namun ia memilih jalan yang lebih panjang. Ia belum mau masuk nirwana, dikarenakan belaskasihya pada dunia, agar dunia dalam arti seluas-luasnya (termasuk para dewa dan manusia) bisa mendapatkan nirwana yang sesemputna mungkin.
Berkaitan dengan cita-cita tentang Bhodhisattwa ini, didalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwara, yaitu bahwa kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentingan orang lain. Orang mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk kepentingan otrang lain. Ajaran ini sudah barang tentu berlainan sekali dengan ajaran agama Budha kuno, yang mengajarkan bahwa hidup seseorang terpisah dari hidup orang lain. 
Didalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bhodhisattwa tidak akan dilahirkan kembali kedalam tempat penyiksaan atau dalam keadaan tidak menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bhodhisattwa tidak diharuskan menyangkal dunia ini. Ia menerima kenyataan hidup seperti apa adanya.  Ia boleh beristri memiliki kemewahan, dan kekuasaan.
Demikian cita-cita hidup di dalam Mahayana berbeda sekali dengan cita-cita hidup di dalam Himayana. Hal yang kedua yang memberi ciri Mahayana ialah ajaran tentang Sunyata, yang berarti kekosongan.
Kekosongan (Sunyata) berarti: tidak ada yang mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti bahwa tiada pribadi (yang mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong oleh karenanya tidak ada yang dapat diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong, melainkan juga Nirwana bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran tertinggi adalah kosong oleh karenanya tidak dapat dijadikan sasaran kepercayaan. Yang mutlak tak dapat dipegang , seandainya ia dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab yang mutlak tidak memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan yang lain.[6]
F.     Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas, saya dapat mengambil kesimpulan bahwasanya. ketika seorang budha mencapai pencarahan sempurna di bawah pohon bodhi. Ada dua pilihan terbuka bagi-Nya. Yang pertama, menyimpan pengetahuan-Nya dan menikmati kebahagian Nirwana bagi diri sendiri. Dan yang kedua, terdorong oleh kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain, tetap tinggal di dunia untuk melimpahkan berkah dsri kebijaksanaan-Nya kepada semua makhluk. Kedua hal inilah yang membedakan antara aliran Mahayana dsan aliran Hinayana.
Aliran Hinayana menekankan pencerahan terhadap individual. Sedangkan Mahayana, walau tidak mengabaikan kebijaksanaan, akan tetapi aliran Mahayana menekankan kasih sayang sedemikian rupa sehingga melampaui tingkatan Hinayana dalam aspek Budhisme. Dalam Mahayana, pencapaian kebijaksanaan adalah untuk kepentingan praktek kasih sayang.  
   















Daftar Pustaka

·         Hadiwijono, harun, Agama Hindu dan Budha, PT. gunung mulia, Jakarta: 2010,
·         Manal, abdul mujahid, SEJARAH AGAMA-AGAMA, PT. raja grafindo persada, Jakarta: 1996,
·         Suzuki, batrice lane, Agama Budha Mahayana, Karaniya, 2009.
·         Suwarto, BUDDHA DHARMA MAHAYANA, majelis agama budha Mahayana Indonesia, Palembang: 1995.



[1] Suzuki, batrice lane, Agama Budha Mahayana, Karaniya, H. 5
[2] Suwarto, BUDDHA DHARM MAHAYANA, majelis agama budha Mahayana Indonesia, Palembang 1995. H. 114
[3] Manal, abdul mujahid, SEJARAH AGAMA-AGAMA, PT. raja grafindo persada, Jakarta, 1996, H. 37
[4] Ibid, H. 38
[5] Hadiwijono, harun, Agama Hindu dan Budha, PT. gunung mulia, Jakarta, 2010, H. 90
[6] Ibid, H. 93

No comments:

Post a Comment