A.
Pengantar
Setelah Budha Gautama wafat pada tahun 438 SM, maka tidak ada dari
pengikutnya yang dapat menggantikannya, karena kedudukan Budha bukan kedudukan
yang dapat dicapai orang dalam waktu satu generasi saja. Calon Budha yang akan
datang adalah Maitreya, yang kapan turunnya ke dunia dalam wujud manusia tidak
ada orang yang tahu.
Ajaran budha waktu itu belum dicatat
dan dibukukan. Apa yang diajarkan olehnya kepada murid-muridnya hanya tersimpan
dalam ingatan mereka. Maka tidak mustahil kalau ajaran-ajaran Budha Gautama
dalam proses penyampainnya dari satu generasi ke generasi berikutnya terdapat
perubahan-perubahan. Dan akhirnya timbullah beberapa macam-macam penafsiran
terhadap Dhamma atau ajaran-ajaran Budha itu yang kemudian munculnya beberapa
banyak mazhab.
Dari sekian banyak mazhab yang ada itu dapat dikelompokkan menjadi
dua aliran yaitu, aliran Hinayana dan aliran Mahayana.
Disini penulis ingin menguuraikan beberapa sejarah awal munculnya
aliran Mahayana dan aliran Hinayana. Dan menjelaskan tentang ajaran-ajaran yang
terdapat dalam aliran Mahayana dan aliran Hinayana.
B.
Sejarah awal alirana Hinayana dan
Mahayana
Agama Budha, yang berasal dari ajaran Sakyamuni, yang muncul di
india lebih dari 25 abad yang lalu di bagi menjadi empat fase.
1.
Agama Budha Awal, periode dari
permulaan Budha mengajar hingga 100 tahun sesudah Budha parinirwana, 530-380
S.M.
2.
Agama Budha Hinayana, perkembangan
dari berbagai aliran sejak 100 tahun sesudah Budha parinirwana hingga tahun 100
Masehi.
3.
Perkembangan Agama Budha Mahayana,
Hinayana dan Mahayana tumbuh bersama. Sebuah masa baru dalam Agama Budha,
106-300 Masehi, Agama Budha disatukan oleh Nagarjuna.
4.
Dominasi Mahayana, 300-500 Masehi. [1]
Agama budha mempunyai tiga fondasi dasar dalam ajaran religi kuno.
Yang pertama ajaran Weda, Brahmana, dan Upanishad. Agama Budha dipandang
sebagai perkembangan dari lanjutan dari religi India. Pada masa Budha ada
banyak guru dan pemikiran yang menimbulkan kebingungan, dan tetapi ketika budha
muncul, dan menjadi tercerahkan, budha menegakkan jalan tengah, dari guru dan
pemikir lainnya. Budha mempertahankan ajaran lama dan menolak sisanya. Karena
personalitas yang agung, dan sikap filosofis-Nya yang sintetik, agama Budha
mulai menjadi populer.
Pada abad ketiga S.M. Raja Asoka berusaha menjadikan Budha menjadi
agama dunia. Menyesuaiakan dirinya dengan perkembangan zaman, agama ini
berkembang dari Agama Budha awal menjadi berbagai aliran Agama Budha yang
berbeda dan kemudian menjadi aliran Mahayana, setelah itu menjadi agama yang
bahkan kebih besar. Belakangan, benih-benih kemerosotan timbul secara
perlahan-lahan dan Agama Budha menghadapi konflik dengan semangat ortodoks
india. Tapi kesudahaanya apa yang hilang di india mendapatkan tempat dan
akhirnya Agama Budha mempengaruhi semua pemikiran Asia.
Semua sutra Mahayana dan Hinayana dimulai dengan “Demikian yang
telah kudengar,” tetapi tidaklah berarti bahwa “aku” merupakan pendengar
langsung dari khotbah yang diberikan. Agaknya penutur membacakan kembali apa
yang dia percaya sebagai khotbah Guru (Budha).
Konsili yang pertama, yang diperkirakan berlangsung tidak lama
setelah Budha parinirwana, tidak meninggalkan catatan tertulis berupa kumpulan
dokumen kepustakaan dari semua khotbah yang diberikan selama 49 tahun (versi
lain 45 tahun) membabarkan Dharma. Sebuah konsili seperti itu hanya dapat
mencatat garis-garis besar ajaran Guru Agung yang bersifat umum, tidak dalam bentuk sutra-sutra formal, melainkan
dalam bentuk ringkasan dan khotbah-khotbah pendek seperti yag kita temukan
dalam Sutta-Nipata, Itiwuttaka, Udana, dan lain-lain.
Salah satu cara untuk menelusuri ajaran asli Budha tanpa
dipengaruhi komentar-komentar, interpretasi, dan
tambahan yang berhubungan dengan sejarah adalah dengan
memeriksa secara cermat dan ilmiah literatur tentang khotbah-khotbah budha dan
menemukan benang merah yang menghubungkannya. Sumber-smuber pali bukan
satu-satunya petunjuk yang patut dipercaya, Karena terjemahan dakam bahasa
mandarin kadang-kadang mencerminkan tradisi yang lebih awal, dan secara lebih
meyakinkan menunujukkan gagasan awal yang berlaku di zaman budha. Teks pali
milik aliran tertentu, dan tak terelekkan bisa sampai fase itu. Kitab-kitab
tersebut berasal dari aliran wibhajjawada dan kebanyakan menyajikan ajaran
budha yang bersifat rasional.
Tetapi sungguha aneh melihat para kritikus Barat, yang bersikeras
membuktikan pernyataan-pernyataan dari kitab-kitab sucinya, telah memperlakukan
kanon pali dengan sangat hormat karena secara terbuka menentang setiap usaha
untuk menerapkan penelitian serupa yang cermat secara tidak memihak terhadap
sumber-sumber informasinya, seperti yang mereka tuntu dari para peneliti
sejarah agama Kristen. Kanon pali ditulis bertahap bahkan beberapa muncul
belakangan. Agama budha awal menjadi berubah bentuknya dan mengalami
kristalisasi di tangan para biksu, dan berkembang menjadi apa yang dinamakan
agama budha Mahayana. Oleh sebab itu keliru jika menempatkan kanon pali yang
digunakan kaum Hinayana sekarang sebagai ajaran langsung dari budha. Ajaran-ajaran Hinayana tersebut merupakan
produk dari para biksu petapa, yang telah mengubah ajaran budha yang
sebenarnya.
Sedangkan kaum Mahayana yakin bahwa mereka dapat menemukan dalam
wacana mereka sendiri. Seperti para agama-agama lain, dalam agama budha ada
kelompok konservatif, fundamentalis, dan kelompok yang berpikir luas, yang
modern; Hinayana mewakili yang pertama sedangkan Mahayana yang kedua.
C. Aliran Mahayana
Ajaran Sakhyamuni Budha lazimnya disebut Budha dharma sering diibaaratkan
sebagai “Yana’’ di dalam kitab-kitab suci atauu sutra-sutra agama Budha.
Mahayana secara harfiah berarti:
Maha berarti: besar, luas, agung, diperluas.
Yana berarti: kendaraan, kereta.
Mahayana berarti kendaraan besar yang mengangkut pengemudinya bersama para
penumpangnya mencapai suatu tempat yang dituju bersama. Ajaran sakhyamuni budha
membimbing penganutnya mencapai suatu tujuan suci dan mulia yang dikehendaki
oleh para penganutnya, seperti sebuah kendaraan besar yang mengangkut
pengenmudinya bersama-sama para penumpangnya mencapai tempat yang dituju.[2]
Mahayana yang artinya kendaraan besar
adalah aliran yang mengadakan pembaharuan terhadap ajaran budha yang
asli. Ciri yang menonjol dari aliran Mahayana adalah
timbulnya upacara penyembahan kepada Tuhan dalam
agama Budha. Jika
diteliti lebih mendalam konsepsi ketuhanan menurut aliran Mahayana itu
sebenarnya menyerupai paham kedewataan dalam agama Hindu. Dengan demikian
nyatalah bahwa kepercayaan india lama masih juga tampak pengaruhnya terhadap
keperacayaan yang timbul kemudian.
Dalam konsepsi ketuhanan aliran Mahayana ini
juga tampak adanya pengaruh dari aliran Bhakti dan Tantra. Yaitu
aliran yang merupakan perpaduan yang sikretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk kepercayaan primitif di india. Buku-buku ajaran Mahayana
banyak menggunakan bahasa Sansekerta. Sedangkan penganutnya banyak terdapat di
negara-negara India, Nepal, Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang dan Indonesia. Tokoh terkemuka yang di anggap sebagai reformer oleh penganut-penganutnya
dalah acvaghosa.
Menurut teologi Mahayana, yang
disebut Budha itu bukan
hanya Budha gautama
saja, melainkan ada 4 orang lagi yang disebut budha sebagai guru dunia. Yaitu, Kakusandha,
Konagammana, dan Kasappa yang telah datang sebelum Budha Gautama dan setelah Budha
Gautama kelak akan datang lagi seorang manusia Budha yang bernama Maitreya.
Tiap-tiap masa dunia tertentu hanya turun seorang Budha.
Susunan kedewataan (wujud-wujud tingkat tinggi) sampai wujud tingkat
terendah menurut aliran Mahayana dapat digambarkan sebagai berikut:[3]
Tingkat wujud
|
Tingkat alam
|
Adhi budha
|
Maha para nirwana
|
Dhyani budha
|
Para nirwana
|
Dhyani bodhisatwa
Dewacan
|
Arupa dewacan rupa
Dewacan
|
Manusia Budha
Manusia
Binatang
|
Rupa
|
Arta
Asuraka
|
Kamaloka
|
Adhi
Budha adalah Budha yang asli tidak lain adalah tuhan yang Maha Esa, yang
bersemayam di dalam maha para Nirwana (Nirwana yang tertinggi). Pada tingkat
bawahnya terdapat Dhyani Budha, yang merupakan pancaran Adhi Budha. Dhyani Budha mempunyai
kedudukan sebagai dewa tertinggi yang bersemayam di surga Sukhawati.
Dhyani Budha memancarkan sinarnya ke tingkat di bawahnya dan menjelma
sebagai Dhyani Bodhisatwa atau calon Budha, yang mempunyai kedudukan sebagai
dewa yang menguasai dunia. Inilah dewa pelindung dunia dan penyelamat umat
manusia.
Untuk dapat berhubungan dengan dunia dan seisinya, termasuk umat manusia, Dhayani
Bodhisatwa memancarkan sinarnya ke tingkat di bawahnya dan menjelma dalam
bentuk seorang manusia yang mempuyai derajat ke-Budha-an.
Pada masa sidharta gautama menjadi guru dunia, yang menjadi dhyani budha
adalah amitaba dan yang menjadi Dhayani Bodhisatwa adalah Avalokiteswara dan
yang menjadi manusia Budha adalah Sidharta Gautama atau Budha Gautama.
Timbulnya kepercayaan terhadap susunan tingkat kebudhaan di dasarkan atas
ajaran tentang Trikarya (tiga
tubuh budha), yaitu:
1. Dharmakaya, yang artinya tubuh kebahagian, tubuh hakiki.
2. Sambhogakaya, yang artinya penjelmaan surgawi dari dharmakaya.
3. Nirmanakaya, yang artinya tubuh penampakan atau emanasi dari tubuh surgawi
tersebut.[4]
Menurut kepercayaan aliran Mahayana,
tujuan tertinggi bukannya menjadi arahat, tetapi menjadi Boddishatwa. Seorang Bodhisatwa sebenarnya bisa langsung menikmati
kebahagiaan di Nirwana, tetapi ia belum menetap di Nirwana, melainkan masih
ingin turun ke dunia guna menyelamatkan umat manusia yang percaya dari
penderitaan.
Demikianlah cita-cita penganut aliran mahayana, bukanlah kelepasan
individual, melainkan kelepasan bersama-sama orang banyak sehingga aliran itu
di beri nama “kendaraan besar” karena mempunyai jangkauan untuk menyelamatkan
lebih banyak umat manusia.
D. Aliran Hinayana
Aliran Hinayana
(kendaraan kecil) adalah aliran ortodoks. Yaitu aliran yang mempertahankan
keasliannya ajaran agama Budha. Pengikut
aliran ini banyak terdapat di negara-negara Srilangka, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos dan Vietnam. Sesuai
dengan ajaran asli Budha Gautama, aliran Hinayana tidak mengajarkan
penyembahan kepada Tuhan. Yang
penting ialah melaksanakan ajaran moral yang diajarkan oleh gurunya itu.
Buku-buku ajarannya banyak menggunakan bahasa pali. Tujuan tertinggia ialah
menja arahat yaitu seorang yang benar-benar telah lenyap nafsu dan keinginannya
dan ketidaktahuannya (Avidya) sehingga ia dapat mencapai Nirwana dan dengan
demikian terbebaslah ia dari rangkaian Samsara. Aliran ini menitikberatkan pada
kelepasan inidvidual, artinya tiap-tiap oang berusaha melepaskan dirinya
masing-masing dari penderitaan hidup.
Jika agama hindu beranggapan bahwa alam semesta ini besifat maya karena
hanya merupakan manifestasi dari brahman yang benar-benar mempunyai wujud yang
sesungguhnya, maka aliran hinayana beranggapa bahwa segala sesuatu dalam alam
semesta ini berwujud dalam suatu ketika saja. Segala sesuatu selalu dalam
perubahan, selalu dalam proses, hanya saja mata manusia tak mampu mengamatinya.
Jika mengamati kehidupan seseorang mulai sejak lahir sampai tua, kita melihat
bahwa ia adalah pribadi yang satu dan utuh. Padahal sebenarnya tidak demikian
menurut kepercayaan agama budha. Keadaan sebagai bayi, sebagai pemuda dan
sebagai orang tua yang tampaknya sebagai satu kesatuan sebenarnya rangkaian
kehidupan yang berbeda-beda. Apa yang manusia rasakan sebagai “aku” sebenarnya
tidak ada budha gautama tidak mengakui adanya jiwa perorangan.
Jika kita melihat tubuh si fulan, kita menganggap ada roh (jiwa) si fulan.
Menurut budha gautama, di balik tubuh si fulan tidak tersimpan sesuatu pribadi
atau roh pribadi yang tertentu. Adanya manusia yang bernama fulan karena
bertemunya seperangkat skandha-skandha. Pengertian “aku yang berpikir” tidak
ada, yang ada adalah “pikiran”. “aku yang merasa” tidak ada, yang ada adalah
“perasaan”.
E. Ajaran hinayana dan mahayana
1. Ajaran hinayana
Dalam pokok ajaran hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari
dasar-dasar yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik. Jika ajaran itu
diiktisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian.
a. Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang
berada untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh kerena itu tidak ada sesuatu
tang tetap ada. Tidak ada aku yang berpikir, sebab yang ada adalah pikiranku.
Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.
b. Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek,
yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus
menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang
palsu.
c. Tujuan hidup adalah mencapai nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab
kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap
sesuatu. Apakah yang tinggal berada didalam Nirwana itu, sebenarnya tidak di
uraikan dengan jelas.
d. Cita-cita yang tinggi ialah menjadi arhat, yaitu orang sudah berhentin
keinginannya, ketidaktahuannya, dan oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada
kelahiran kembali.[5]
2. Ajaran mahayana
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran mahayana adalah
Bhodhisattwa dan Sunyatakarena kedua kata itu hampir terdapat pada tiap halaman
tulisan-tulisan mahayana.
Secara harfiah Bhodhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya
adalah bodhi (hikmat) yang sempurna.
Sebelum mahayana timbul, pengertian
Bhodhisattwa sudah dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Budha Gautama,
sebelum ia menjadi Budha. Di situ Bhodhisattwa berarti orang yang sedang dalam
perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang bakan menjadi
Budha. Jadi semula Bhodhisattwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan
untuk menjadi Budha. Di dalam mahayana Bhodhisattwa adalah orang yang sudahh
melepaskan dirinyadan dapat untuk menjadikann sarana untuk menjadi benih
pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodhisattwa
bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja, melaikan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh
karenanya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktifitasnya
sekarang dan kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka
segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong pada orang lain.
Cita-cita tinggi dalam mahayana ialah untuk menjadi Bhodhisattw. Cita-cita
ini berlainan sekali ndengan cita-cita Hinayana yaitu untuk menjadi arhat.
Sebab seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri sendiri. Cita-cita Mahayana
ini juga berlainan sekali dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka Budha,
seperti yang diajarkan oleh Hinayana, yaitu
bahwa karena usahanya sendiri orang dapat mencapai pencerahan bagi dirinya
sendiri saja, tidak untuk diberitakan kepada orang lain. Sekalipun karena
kebajikannya seorang Bhodhisattwa sudah dapat mencapai nirwana namun ia memilih
jalan yang lebih panjang. Ia belum mau masuk nirwana, dikarenakan belaskasihya
pada dunia, agar dunia dalam arti seluas-luasnya (termasuk para dewa dan
manusia) bisa mendapatkan nirwana yang sesemputna mungkin.
Berkaitan dengan cita-cita tentang Bhodhisattwa ini, didalam aliran
Mahayana ada ajaran tentang pariwara, yaitu bahwa kebajikan dapat
dipergunakan untuk kepentingan orang lain. Orang mendapatkan pahala karena
kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk kepentingan otrang lain.
Ajaran ini sudah barang tentu berlainan sekali dengan ajaran agama Budha kuno,
yang mengajarkan bahwa hidup seseorang terpisah dari hidup orang lain.
Didalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bhodhisattwa tidak
akan dilahirkan kembali kedalam tempat penyiksaan atau dalam keadaan tidak
menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bhodhisattwa tidak diharuskan
menyangkal dunia ini. Ia menerima kenyataan hidup seperti apa adanya. Ia boleh beristri memiliki kemewahan, dan
kekuasaan.
Demikian cita-cita hidup di dalam Mahayana berbeda sekali dengan cita-cita
hidup di dalam Himayana. Hal yang kedua
yang memberi ciri Mahayana ialah ajaran tentang Sunyata, yang berarti
kekosongan.
Kekosongan (Sunyata) berarti: tidak ada yang mendiaminya. Oleh
karena itu sunyata berarti bahwa tiada pribadi (yang mendiami orang). Segala
sesuatu adalah kosong oleh karenanya tidak ada yang dapat diinginkan atau
dicari. Bukan hanya dunia yang kosong, melainkan juga Nirwana bahkan Dharma
juga kosong. Kebenaran tertinggi adalah kosong oleh karenanya tidak dapat
dijadikan sasaran kepercayaan. Yang mutlak tak dapat dipegang , seandainya ia
dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab yang mutlak tidak memiliki
ciri-ciri yang membedakan dengan yang lain.[6]
F.
Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas, saya dapat mengambil kesimpulan
bahwasanya. ketika seorang budha mencapai pencarahan sempurna di bawah pohon
bodhi. Ada dua pilihan terbuka bagi-Nya. Yang pertama, menyimpan
pengetahuan-Nya dan menikmati kebahagian Nirwana bagi diri sendiri. Dan yang
kedua, terdorong oleh kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain, tetap tinggal
di dunia untuk melimpahkan berkah dsri kebijaksanaan-Nya kepada semua makhluk.
Kedua hal inilah yang membedakan antara aliran Mahayana dsan aliran Hinayana.
Aliran Hinayana menekankan pencerahan terhadap individual. Sedangkan
Mahayana, walau tidak mengabaikan kebijaksanaan, akan tetapi aliran Mahayana
menekankan kasih sayang sedemikian rupa sehingga melampaui tingkatan Hinayana
dalam aspek Budhisme. Dalam Mahayana, pencapaian kebijaksanaan adalah untuk
kepentingan praktek kasih sayang.
Daftar Pustaka
·
Hadiwijono, harun, Agama Hindu
dan Budha, PT. gunung mulia, Jakarta: 2010,
·
Manal, abdul mujahid, SEJARAH
AGAMA-AGAMA, PT. raja grafindo persada, Jakarta: 1996,
·
Suzuki, batrice lane, Agama
Budha Mahayana, Karaniya, 2009.
·
Suwarto, BUDDHA DHARMA MAHAYANA,
majelis agama budha Mahayana Indonesia, Palembang: 1995.
No comments:
Post a Comment