A.
PENDAHULUAN
Terlahir sebagai manusia dan dapat mengenal serta
bertemu dengan ajaran Sang Buddha yang disebut DHAMMA adalah hal yang amat
sangat sulit. Karena tidak semua manusia/makhluk didunia ini memiliki
kesempatan untuk bertemu dan mendengarkan Dhamma Ajaran Sang Buddha.
Untuk itu kita sebagai manusia yang mengenal Dhamma
merupakan hasil dari kamma baik kita di masa lampau dan juga didukung oleh
kamma baik kita dimasa sekarang ini. Meskipun kita mengenal dan bertemu dengan
Dhamma yang telah di ajarkan oleh Sang Buddha namun tidaklah semua orang bisa
sepenuhnya untuk bisa menjadi seorang Samana ,dalam hal ini adalah
menjadi seorang Bhikkhu.
Pada makalah
ini penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut
:
1.
Pengertian Bhikku
atau Bhikkuni ?
2.
Cara dan Persyaratan
untuk menjadi seorang Bhikku atau Bhikkuni?
Demikian
pembahasan tentang pengantar agama Kristen, untuk pembahasan lebih lanjut akan
dibahas pada pembahasan selanjutnya.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Bhikku atau Bhikkuni
Secara kelembagaan, ummat budha
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu keelompok masyarakat kewiharaan atau
Sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok pertama terdiri dari para Bhikku
dan Bhikkuni, samanera dan samaneri. Mereka menjalani kegidupan suciuntuk
meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup
keluarga. Kelompok masyarakat awam yang terdiri dari Upasaka dan Upasakiyang
telah menyatakan diri berlindung kepada Budha, Dharma dan Sangha, serta
melaksanakan prinsip-prinsip moralbagi ummat awam dan berumah tangga.[1]
Bhikku atau Bhikkuni adalah seorang
yang kehidupannya sudah tidak lagi mencampuri urusan duniawi, telah mejalani
kehidupan suci dan patuh serta setia mengayati dean menhamalkan Budha Dharma,
patuh menjalankan pratomoksa (sila-sila untuk para Bhikku dan Bhikkuni)
terdapat dalam buku Budha Mahayana yakni Paccimovada Pari Nirvana Sutra
terjemahan oleh Kumarajiva.[2]
2.
Cara dan
Persyaratan untuk menjadi seorang Bhikku atau Bhikkuni
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka begi setiap
ummat begi setiap ummat untuk masuk dan bergabung kedalamnya, dengan mellui
tahap-tahap tertentu baik pria maupun wanita. Seseorang yang masuk dan
bergabung kedalam Sangha berarti akan hidup dalam ‘wihara’ (biara) tanpa lagi
memiliki rumah tempat kediaman dan hidup sebagai petapa.
Seorang yang mengikuti persaudaraan para Bhikku atau Bhikkuni,
untuk pertama kalinya akan menerima ‘jubah kuning’. Ia tidak lansung
diterima sebagai Bhikku atau Bhikkuni melaikan terlebih dahulu menjadi calon ‘semantara’
dengan menepati sepuluh janji(dasa sila), tekun mempelajari Dharma, dan
menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci dibawah asuhan seorang Bhikku
atau Bhikkuni sebagai gurunya (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah
selesai melaksanakan semua itu, maka barulah
ia diterima sepenuhnya menjadi Bhikku dalam suatu upacara ‘upasampada’
(penahbisan)yang dihari oleh para sepupuh atau Thera. Jika ia wanita
maka pentahbisannya dilakukan dua kali, pertama oleh Bhikku dan kemudian oleh Bhikku
Sangha. Setelah itu, barulah ia menjdi Bhikku atau Bhikkuni.
Sesudah menjadi Bhikku atau Bhikkuni maka ia harus menjalani hidup
bersih dan suci sebagaimana ditentukan dalam ‘Vinaya Pitaka’, yaitu
melaksnakan 227 peraturan yan antara lain tentang :
1.
Paraturan
tata-tertib lahiriah,
2.
Peraturan cara
menggunakan pakaian, makanan dan kebetuhan hidup lainnya,
3.
Cara
mennggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin,
4.
Cara memperoleh
pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.
Selama masa
lima tahun pertama sebagai Bhikku atau Bhikkuni ia masih dalam ikatan keguruan,
setelah lebih dari sepuluh tahun ia sudah disebut sebagai Thera.[3]
Terlahir sebagai
manusia dan dapat mengenal serta bertemu dengan ajaran Sang Buddha yang disebut
DHAMMA adalah hal yang amat sangat sulit. Karena tidak semua manusia/makhluk
didunia ini memiliki kesempatan untuk bertemu dan mendengarkan Dhamma Ajaran
Sang Buddha.Untuk itu kita sebagai manusia yang mengenal Dhamma merupakan hasil
dari kamma baik kita di masa lampau dan juga didukung oleh kamma baik kita
dimasa sekarang ini.
Meskipun kita mengenal
dan bertemu dengan Dhamma yang telah di ajarkan oleh Sang Buddha namun tidaklah
semua orang bisa sepenuhnya untuk bisa menjadi seorang Samana ,dalam hal ini adalah menjadi seorang Bhikkhu.
Untuk menjadi seorang
Bhikkhu haruslah orang yang benar-benar sehat secara nama dan rupa/batin dan
jasmani. Selain itu juga harus ada seorang Upajjhaya yang akan menahbis untuk
menjadi Bhikkhu.[4]
Menurut Sang Buddha,
faedah-faedah menjadi Bhikkhu antara lain:
1. Setelah menjadi Bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan
Patimokkha (peraturan-peraturan Bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya,
dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yag paling kecil sekalipun. Ia
menyesuailkan dan melatih dirinya dalamperaturan-peraturan. Menyempurnakan
perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempruna silanya,
terjaga pintu-pintu inderanya.
2. Tugas utama seorang Bhikkhu adalah menyingkirkan lima rintangan (Panca
Nivarana) dari dirinya. Lima rintangan tersebut adalah:
o
Kerinduan terhadap
dunia (Kamachanda-Nivarana)
o
Itikad- itikad jahat
(Vyapada-Nivarana)
o
Kemalasan dan
kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
o
Kegelisahan dan
kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca- Nivarana)
o
Keragu-raguan
(Vicikiccha-Nivarana)
Bila ia menyadari bahwa
lima rintangan ini telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbulla
kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena bathin
tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman. Kemudian ia akan merasa bahagia,
karena bahagia maka pikirannya terpusat. Lalu setelah terpisah dari
nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk
dan berdiam dalam jhana pertama, suatu keadaan bathin yang tergiur dan bahagia
(piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai Vitakka (pengarah
pikiran pada obyek) dan Vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Seluruh
tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta diliputi dengan perasaan
tergiur dan bahagia, yang timbul dari ‘kebebasan’. Semua bagian tubuhnya
diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia.
3. Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan diri dari Vitakka dan Vicara,
memasuki dan berdiam dalam jhana kedua, yaitu keadaan bathin yang tergiur dan
bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan Vitakka
dan Vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tibuhnya diluputi
oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari ‘konsetrasi’.
4. Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur,
berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan
pengertian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan
bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh
mereka yang bathinmua seimbang dan penuh perhatian murni’, ia memasuki dan
berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi
serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur.
5. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan
menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan
sebelumnya, Bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam jhana keempat, yaitu suatu
keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati
parisuddhi). Bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikian ia duduk
disana, menghayati seluruh tubuhnya dengan perasaan bathin yang bersih dan
jernih.
6. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari
noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia
mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari
pengetahuan (nana-dassana). Maka ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk
terdiri aas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin), berasal dari ayah
dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat
tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian.
Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya.
7. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas
dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,
ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan
‘tubuh-ciptaan-bathin (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki
anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ
apapun.
8. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas
dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,,
ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasoa
(telinga dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasota yang jernih, yang melebihi
telinga manusia, ia mendengarkan suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang
dekat.
9. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas
dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,,
ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk
membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya sendiri, ia mengetahui
pikiran-pikiran makhluk lain.
10. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas
dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,
ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang
ubenivasanusati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Dengan pikiran
yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak,
siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan
dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya
makhluk-makhluk (cutupapata-nana), dan dengan kemampuan dibbacakkhu (mata dewa)
yang jernih, melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah
makhluk-makhluk berbalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain;
rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana
makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya.
11. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas
dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,,
ia menpergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran
noda-noda bathin (asava) ia mengetahui sebagaimana adanya “Inilah jalan yang
menuju pada lenyapnya asava”.Dengan mengetahui, melihat demikian, maka
pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda pewujudan
(bhavasava), noda-noda ketidaktahuan 9avijjasava). Dengan terbebas demikian,
maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya. Dan ia mengetahui;
‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang
harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.[5]
Menjadi Bhikkhu, memang bukanlah hal yang
mudah, ini yang harus pertama kali kita pahami dan mengerti. Menjadi Bhikkhu
tidaklah semudah menjadi “Pendeta”. Dalam Buddhisme, seorang dapat menjadi
Pendeta, atau Pandhita, dengan persyaratan tertentu, dengan aturan-aturan
moralitas tertentu, namun masih dapat hidup secara duniawi dan berumah-tangga.
Sedangkan Bhikkhu, tidak dapat hidup dengan
cara demikian ( duniawi dan berumah tangga )
apalagi hidup sembarangan, seorang Bhikkhu harus menjaga Sila
( moralitas ) yang sangat ketat yang terdiri dari 227 Sila Patimokha. Hal-hal
sederhana yang membedakan Bhikkhu dengan ummat awam misalnya saja, seorang
Bhikkhu tidak boleh menonton televisi, mendengarkan musik, menonton hiburan,
berjalan-jalan ke mall, menggunakan wewangian, menghias diri, mencari uang / mengumpulkan
kekayaan, dan lain-lain hal yang sifatnya keduniawian. Tidak memiliki apapun,
bahkan melepaskan segala “kepemilikan”. Sebuah latihan yang “berat” bagi
orang-orang yang masih memiliki sifat keduniawian setipis apapun.
Seseorang juga tidak begitu saja bisa
memperoleh suatu kondisi yang mendukung baginya menjadi seorang Bhikkhu.
Seorang anak, yang masih mempunyai kewajiban untuk merawat orang tuanya,
membalas jasa kepada orang tuanya, belum tentu dapat menjadi Bhikkhu, bila
orang-tuanya tidak mengijinkannya menjadi seorang Bhikkhu. Sang Buddha
mengajarkan hal ini, setelah mempertimbangkan permohonan Raja Suddhodana(
berkaitan dengan penahbisan Pangeran Nanda dan cucunda , Rahula ) ketika ia
berkunjung ke Kapilavathu.[6]
C.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ali Mukti, Agama-Agama
Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
2.
T. Suwarto, “Budha
Dharma Mahayana” Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
3.
Hadikusuma
Hilman, “Antropologi Agama Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama
Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia”, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
1993
5.
http://www.artikelbuddhis.com/2010/11/manfaat-menjadi-bhikkhu.html
6.
http://ratnakumara.wordpress.com/2009/01/23/dilema-menjadi-bhikkhu-atau-ummat-awam/
[1] Ali
Mukti, Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988. Hal. 129
[2] T.
Suwarto, “Budha Dharma Mahayana” Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, 1995. Hal. 51
[3]
Hadikusuma Hilman, “Antropologi Agama Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan,
Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia”, Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 1993. Hal.237
[4]Tanhadi, “Tidak Semua Orang Bisa Menjadi Bhikkhu”: waru-sidoarjo, Jatim, Indonesia, artikel diakses pada 19 Maret 2013 dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/07/tidak-semua-orang-bisa-menjadi-bhikkhu.html
[5] Edi
Kurniawan, “Artikel Bhuddis, Manfaat Menjadi Bhikku”, artikel diakses pada
19 Maret 2013 dari http://www.artikelbuddhis.com/2010/11/manfaat-menjadi-bhikkhu.html
[6] Kumara
Ratna,” Dilema: Menjadi Bhikku atau Ummat Awam” artikel diakses pada 19 Maret 2013 dari http://ratnakumara.wordpress.com/2009/01/23/dilema-menjadi-bhikkhu-atau-ummat-awam/
No comments:
Post a Comment