Friday, May 17, 2013

cara menjadi budha




A.    PENDAHULUAN
Terlahir sebagai manusia dan dapat mengenal serta bertemu dengan ajaran Sang Buddha yang disebut DHAMMA adalah hal yang amat sangat sulit. Karena tidak semua manusia/makhluk didunia ini memiliki kesempatan untuk bertemu dan mendengarkan Dhamma Ajaran Sang Buddha.
Untuk itu kita sebagai manusia yang mengenal Dhamma merupakan hasil dari kamma baik kita di masa lampau dan juga didukung oleh kamma baik kita dimasa sekarang ini. Meskipun kita mengenal dan bertemu dengan Dhamma yang telah di ajarkan oleh Sang Buddha namun tidaklah semua orang bisa sepenuhnya untuk bisa menjadi seorang Samana ,dalam hal ini adalah menjadi seorang Bhikkhu.
Pada makalah ini penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :
1.      Pengertian Bhikku atau Bhikkuni ?
2.      Cara dan Persyaratan untuk menjadi seorang Bhikku atau Bhikkuni?
Demikian pembahasan tentang pengantar agama Kristen, untuk pembahasan lebih lanjut akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Bhikku atau Bhikkuni
Secara kelembagaan, ummat budha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu keelompok masyarakat kewiharaan atau Sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok pertama terdiri dari para Bhikku dan Bhikkuni, samanera dan samaneri. Mereka menjalani kegidupan suciuntuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam yang terdiri dari Upasaka dan Upasakiyang telah menyatakan diri berlindung kepada Budha, Dharma dan Sangha, serta melaksanakan prinsip-prinsip moralbagi ummat awam dan berumah tangga.[1]
Bhikku atau Bhikkuni adalah seorang yang kehidupannya sudah tidak lagi mencampuri urusan duniawi, telah mejalani kehidupan suci dan patuh serta setia mengayati dean menhamalkan Budha Dharma, patuh menjalankan pratomoksa (sila-sila untuk para Bhikku dan Bhikkuni) terdapat dalam buku Budha Mahayana yakni Paccimovada Pari Nirvana Sutra terjemahan oleh Kumarajiva.[2]
2.      Cara dan Persyaratan untuk menjadi seorang Bhikku atau Bhikkuni
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka begi setiap ummat begi setiap ummat untuk masuk dan bergabung kedalamnya, dengan mellui tahap-tahap tertentu baik pria maupun wanita. Seseorang yang masuk dan bergabung kedalam Sangha berarti akan hidup dalam ‘wihara’ (biara) tanpa lagi memiliki rumah tempat kediaman dan hidup sebagai petapa.
Seorang yang mengikuti persaudaraan para Bhikku atau Bhikkuni, untuk pertama kalinya akan menerima ‘jubah kuning’. Ia tidak lansung diterima sebagai Bhikku atau Bhikkuni melaikan terlebih dahulu menjadi calon ‘semantara’ dengan menepati sepuluh janji(dasa sila), tekun mempelajari Dharma, dan menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci dibawah asuhan seorang Bhikku atau Bhikkuni sebagai gurunya (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah selesai melaksanakan semua itu, maka barulah  ia diterima sepenuhnya menjadi Bhikku dalam suatu upacara ‘upasampada’ (penahbisan)yang dihari oleh para sepupuh atau Thera. Jika ia wanita maka pentahbisannya dilakukan dua kali, pertama oleh Bhikku dan kemudian oleh Bhikku Sangha. Setelah itu, barulah ia menjdi Bhikku atau Bhikkuni.
Sesudah menjadi Bhikku atau Bhikkuni maka ia harus menjalani hidup bersih dan suci sebagaimana ditentukan dalam ‘Vinaya Pitaka’, yaitu melaksnakan 227 peraturan yan antara lain tentang :
1.      Paraturan tata-tertib lahiriah,
2.      Peraturan cara menggunakan pakaian, makanan dan kebetuhan hidup lainnya,
3.      Cara mennggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin,
4.      Cara memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.
Selama masa lima tahun pertama sebagai Bhikku atau Bhikkuni ia masih dalam ikatan keguruan, setelah lebih dari sepuluh tahun ia sudah disebut sebagai Thera.[3]
Terlahir sebagai manusia dan dapat mengenal serta bertemu dengan ajaran Sang Buddha yang disebut DHAMMA adalah hal yang amat sangat sulit. Karena tidak semua manusia/makhluk didunia ini memiliki kesempatan untuk bertemu dan mendengarkan Dhamma Ajaran Sang Buddha.Untuk itu kita sebagai manusia yang mengenal Dhamma merupakan hasil dari kamma baik kita di masa lampau dan juga didukung oleh kamma baik kita dimasa sekarang ini.
Meskipun kita mengenal dan bertemu dengan Dhamma yang telah di ajarkan oleh Sang Buddha namun tidaklah semua orang bisa sepenuhnya untuk bisa menjadi seorang Samana ,dalam hal ini adalah menjadi seorang Bhikkhu.
Untuk menjadi seorang Bhikkhu haruslah orang yang benar-benar sehat secara nama dan rupa/batin dan jasmani. Selain itu juga harus ada seorang Upajjhaya yang akan menahbis untuk menjadi Bhikkhu.[4]
Menurut Sang Buddha, faedah-faedah menjadi Bhikkhu antara lain:
1.      Setelah menjadi Bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan Bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yag paling kecil sekalipun. Ia menyesuailkan dan melatih dirinya dalamperaturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempruna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya.
2.      Tugas utama seorang Bhikkhu adalah menyingkirkan lima rintangan (Panca Nivarana) dari dirinya. Lima rintangan tersebut adalah:
o    Kerinduan terhadap dunia (Kamachanda-Nivarana)
o    Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
o    Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
o    Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca- Nivarana)
o    Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)
Bila ia menyadari bahwa lima rintangan ini telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbulla kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena bathin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman. Kemudian ia akan merasa bahagia, karena bahagia maka pikirannya terpusat. Lalu setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam jhana pertama, suatu keadaan bathin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai Vitakka (pengarah pikiran pada obyek) dan Vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari ‘kebebasan’. Semua bagian tubuhnya diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia.
3.      Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan diri dari Vitakka dan Vicara, memasuki dan berdiam dalam jhana kedua, yaitu keadaan bathin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan Vitakka dan Vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tibuhnya diluputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari ‘konsetrasi’.
4.      Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan pengertian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang bathinmua seimbang dan penuh perhatian murni’, ia memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur.
5.      Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam jhana keempat, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi). Bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikian ia duduk disana, menghayati seluruh tubuhnya dengan perasaan bathin yang bersih dan jernih.
6.      Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Maka ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk terdiri aas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian. Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya.
7.      Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘tubuh-ciptaan-bathin (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun.
8.      Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasoa (telinga dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengarkan suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.
9.      Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain.
10.  Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang ubenivasanusati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana), dan dengan kemampuan dibbacakkhu (mata dewa) yang jernih, melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berbalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya.
11.  Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,, ia menpergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda bathin (asava) ia mengetahui sebagaimana adanya “Inilah jalan yang menuju pada lenyapnya asava”.Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda pewujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan 9avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya. Dan ia mengetahui; ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.[5]
Menjadi Bhikkhu, memang bukanlah hal yang mudah, ini yang harus pertama kali kita pahami dan mengerti. Menjadi Bhikkhu tidaklah semudah menjadi “Pendeta”. Dalam Buddhisme, seorang dapat menjadi Pendeta, atau Pandhita, dengan persyaratan tertentu, dengan aturan-aturan moralitas tertentu, namun masih dapat hidup secara duniawi dan berumah-tangga.
Sedangkan Bhikkhu, tidak dapat hidup dengan cara demikian ( duniawi dan berumah tangga ) apalagi hidup sembarangan, seorang Bhikkhu harus menjaga Sila ( moralitas ) yang sangat ketat yang terdiri dari 227 Sila Patimokha. Hal-hal sederhana yang membedakan Bhikkhu dengan ummat awam misalnya saja, seorang Bhikkhu tidak boleh menonton televisi, mendengarkan musik, menonton hiburan, berjalan-jalan ke mall, menggunakan wewangian, menghias diri, mencari uang / mengumpulkan kekayaan, dan lain-lain hal yang sifatnya keduniawian. Tidak memiliki apapun, bahkan melepaskan segala “kepemilikan”. Sebuah latihan yang “berat” bagi orang-orang yang masih memiliki sifat keduniawian setipis apapun.
Seseorang juga tidak begitu saja bisa memperoleh suatu kondisi yang mendukung baginya menjadi seorang Bhikkhu. Seorang anak, yang masih mempunyai kewajiban untuk merawat orang tuanya, membalas jasa kepada orang tuanya, belum tentu dapat menjadi Bhikkhu, bila orang-tuanya tidak mengijinkannya menjadi seorang Bhikkhu. Sang Buddha mengajarkan hal ini, setelah mempertimbangkan permohonan Raja Suddhodana( berkaitan dengan penahbisan Pangeran Nanda dan cucunda , Rahula ) ketika ia berkunjung ke Kapilavathu.[6]



















C.     DAFTAR PUSTAKA
1.      Ali Mukti, Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
2.      T. Suwarto, “Budha Dharma Mahayana” Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
3.      Hadikusuma Hilman, “Antropologi Agama Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia”, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1993
5.      http://www.artikelbuddhis.com/2010/11/manfaat-menjadi-bhikkhu.html
6.      http://ratnakumara.wordpress.com/2009/01/23/dilema-menjadi-bhikkhu-atau-ummat-awam/









[1] Ali Mukti, Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Hal. 129
[2] T. Suwarto, “Budha Dharma Mahayana” Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995. Hal. 51
[3] Hadikusuma Hilman, “Antropologi Agama Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia”, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1993. Hal.237

[4]Tanhadi, “Tidak Semua Orang Bisa Menjadi Bhikkhu”: waru-sidoarjo, Jatim, Indonesia, artikel diakses pada 19 Maret 2013 dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/07/tidak-semua-orang-bisa-menjadi-bhikkhu.html



[5] Edi Kurniawan, “Artikel Bhuddis, Manfaat Menjadi Bhikku”, artikel diakses pada 19 Maret 2013 dari http://www.artikelbuddhis.com/2010/11/manfaat-menjadi-bhikkhu.html
[6] Kumara Ratna,” Dilema: Menjadi Bhikku atau Ummat Awam” artikel diakses pada 19 Maret 2013 dari http://ratnakumara.wordpress.com/2009/01/23/dilema-menjadi-bhikkhu-atau-ummat-awam/

No comments:

Post a Comment