Thursday, May 30, 2013

nibana

Pengertian Nibbana
            Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukan Nibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan  kerajaan-Nya dan berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga.  Tujuan mereka menyetarakan Nibbana dengan alam surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India,  tetapi itu Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan menuju Nibbana tertuju lebih dari surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu? Secara tegas, kita tidak dapat bertanya di manakah Nibbana itu. Nibbana ada sama seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk muncul. Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda, maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan bahwa Nibbana adalah keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya: duka yang dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana saat duka, perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru memperpanjang perjalanan samsara adalah Nibbana. Nibbana adalah akhir dari nafsu yang menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk mengetahui bagaimana menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana, bagaimana mencapai keheningan dan kebeningan pandangan yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan sadari tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara konstan lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan dan  dialami.



Nibbana dan samsara
pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara dan Nibbana adalah satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lain. Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal terkondisi dan keadaan tak terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima gugus, empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin; sedangkan Nibbana digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah “Kebenaran Mutlak”.
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbana direlisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Saupadisesa Nibbana. Saat seorang  Araha merealisai Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan terhadap seorang atau sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, kita tidak akan pernah merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang hidup dan yang tak hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri  dengan cara yang benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak ada istana yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah ketidaan,  semata-mata karena orang tidak mampu merasakannya dengan panca indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa cahaya itu tidak ada hanya karena orang buta tidak melihatnya. [1]
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
            Nibbana mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non-being. Di dalam Sutta-sutta seperti Angutaranikaya I:152, Samyut-tanikaya IV: 359 dan lain-lain, nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Di dalam agama Buddha Mahayana, yang mutlak adalah sunyata, terutama seperti yang digambarkan dalam ajaran Nagaryuna. Namun demikian, semua aliran agama Buddha memandang yang mutlak sebagai tujuan yang terakhir, yaitu nibbana.
            Dari paparan di atas tampak bahwa konsepsi ketuhanan dalam aliran Theravada tidak dapat digolongkan ke dalam konsep teisme yang memahami Tuhan sebagai pribadi, melainkan termasuk konsep yang non teis dan sangat berbeda dengan konsep agama lain. Aliran tersebut mengakui adanya Tuhan, namun, seperti ajaran asli Buddha, Tuhan tidak harus dipandang sebagai suatu pribadi yang selalu berhubungan dengan alam semesta dan lainnya beserta isinya.[2]
Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbana. Banyak buku yang mengujikan uraian tentang Nibbana telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbana bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri. Nibbana adalah suatu “keadaan”, seperti diajarkan oleh Sang Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran bathin. Dengan demikian, Nibbana adalah Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan (na-uppado-pannayati), tidak termusnah (na vayo-pannayati), ada dan tidak berubah (nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut Asankhata-Dhamma (keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbana). Keadaan ini sulit untuk dipaparkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenal jika keadaan terang diketahui. Nibbana dapat dialami jika dukkha telah disadari. Menyadari dukkha berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.
Sedih dan gembira adalah nilai subyektif yang timbul dari pikiran orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi, karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nialai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi “aku” yang khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbana. Jika khayalan “aku” telah terbasmi, maka tiada lagi perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan “Nibbana peranan sukkham” (Nibbana Kebahagiaan Tertinggi), bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosional, melainkan pembebasan mutlak dari segala bentuk ikatan indera dan keiginan rendah (tanha).
Pengertian Nibbana yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses “menjadi” (dumadi) Dalam Milinda Panha (kitab yang berisi percakapan antara Bhikku Nagasena dan Raja Yunani) dikatakan:
“Nibbana penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barang siapa yang mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui kebijaksanaan (panna), sebagaimana seorang siswa, yang mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri”.
“Jika Anda bertanya, bagaimana Nibbana dapat diketahui, hal itu dapat diketahui melalui pembebasan dari ketenangan dan bahaya, melalui kedamaian, ketengan, kebahagiaan dan kesucian”.
“sebagaimana seorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui ushanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dari mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luhur, begitupula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi sungguh-sungguh menyelami kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana setelah panas yang membakar dari tiga api (api keserakahan, api kebencian, api kebodohan bathin) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas, orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri menggambarkan dirinya yang menempuh kehidupan dengan benar, sedangkan tempat yang sejuk menggambarkan arti Nibbana”.
“Apakah Nibbana itu suatu tempat?” tanya Raja Milinda. “Nibbana bukanlah suatu tempat, O Raja, tapi nibana itu ada, sebagi mana nyala api, itu ada meskipun  api itu tidak disimpan di suatu tempat tertentu”
“Apakah tiadak tempat berpijak lagi seseorang untuk mencapai Nibbana ?”
“Ya, O Raja, ada tempat seperti itu, tempat itu adalah kebajikan.”
Mereka yang mencapai Nibbana tidak lagi menaruh perhatian terhadap kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelah umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun Kamma baru, melainkan sekedar menghabiskan Kamma lampaunya.
Sang  Buddha pernah ditanya apakah seorang Buddha, seseudah mencapai Parinibbana, ada atau tidak ada. Sang Buddah diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermamfaat bagi pembebasan manusia dari dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai kesalah pahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada. Selama paham “aku” masih melekat, mustahil Nibbana dapat tercapai
a)      Dalam Abhidhammatthasangaha, berbunyi sebagai berikut :
“VANA SANKHATAYA TANHAYA NIKKHANTATTA NIBBANAM”
Artinya :
Keadaan yang terbebas dari tanha(keinginan rendah), disebut Nibbana.
b)      Dalam Paramatthadipanitika, berbunyi sebagai berikut :
“NATTHI VANAM ETTHANI NIBBANAM”
Artinya:
Keadaan ketenangan yang timbul dengan terbelahnya dari Tanha ( keinginan rendah), disebut Nibbana.
c)      “TAYIDAM SANTI LAKKHANAM”
Artinya :
Nibbana adalah kebahgiaan yang terbebas dari kilesa (kekotoran bathin)
“NIBBANAM PARAMAM SUKHAM”
Artinya:
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.[3]
Anda seharusnya dapat menjawab dengan benar pertanyaan “Apakah kedamaian itu?”…
Jika Anda bertanya pada anak kecil dan orang dewasa apakah kedamaian itu, jawaban mereka akan sangat berbeda. Jika Anda bertanya pada majikan dan pegawai, apakah kedamaian itu, Anda akan mendapatkan jawaban yang tidak akan pernah cocok. Kedamaian sulit dipahami. Kedamaian tubuh adalah kedamaian materi saja; kedamaian batin adalah kedamaian mental saja. Yang benar, seharusnya kebenaran keduanya…       (Buddhisme on Economics p.16)
Nibbana seharusnya direnungkan sebagai sesuatu yang telah disediakan oleh Alam untuk manusia pada tingkat tertinggi. Kita seharusnya memahami ini sehingga nibbana dan hidup kita tidak berlawanan. (Nibbana for Everyone > Evolution/Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 12)
Kata nibbana berarti “membuat menjadi tenang”…
Ketenangan hati dan kedamaian batin yang diharapkan setiap orang adalah arti dari nibbana.
Menurut Buddha, nibbana adalah akhir dari nafsu, akhir dari kebencian, dan akhir dari khayalan, yang merupakan pemadaman akhir semua api dan ketenangan “paling tenang” yang ada dalam hidup. (No Religion p. 33/ Nibbana for Everyone > Evolution/ Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 11, 12)
Kapan saja Anda mengalami ketenangan, catat ketenangan itu dengan sungguh-sungguh di dalam hati Anda, serta tarik nafas dan keluar nafas. Menarik nafas adalah ketenangan, mengeluarkan nafas adalah ketenangan, di dalam tenang, diluar tenang. Lakukan ini sejenak… Inilah jalan terbaik untuk membantu batin kembali pada Sifat Dasar.
…Marilah kita hidup dalam kehidupan pemadaman total, sebuah kehidupan yang menyiram api nafsu keinginan, sebuah kehidupan yang tenang. Saat kita terbakar nafsu, kita mati. Seseorang yang panas di dalam batin seperti iblis di neraka… (Nibbana for Everyone p. 10, 14/ No Religion p.33)
Nibbana adalah kematian Ego sebelum tubuh mati.
Kapan saja kita bertikai karen pendapat, penghargaan, kesombongan, atau sikap keras kepala, hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan hubungan dengan nibbana. (The Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 8/ No Religion p. 35)
Sifat tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiran, akan ada kebahagiaan sejati.
Hal ini mungkin terdengar menggelikan bagi Anda, tetapi lenyapnya gangguan adalah kebahagiaan sesungguhnya. (Happiness and Hunger p. 15)
Kehidupan bertahan oleh munculnya secara alami “nibbana-nibbana sementara”; jika tidak, kita semua menjadi penderita gangguan jiwa atau mati dengan segera.
Kita memiliki nibbana sebagai sebuah kebutuhan untuk menopang kehidupan pada semua tingkatan… tetapi kita tidak melihatnya. Jika kita tidak memiliki satu periode di mana pikiran terbebas dari kotoran batin untuk sementara (nibbana sementara), kita akan menjadi penderita gangguan jiwa atau gila dan telah mati sejak lama dahulu.
jadi kita hendaknya tidak berpikir bahwa kita hrus mengganggu selama puluhan atau ratusan ribu tahun sebelum kita dapat mencapai nibbana, yang sebenarnya telah menopang kehidupan kita setiap saat.
Seseorang hendaknya mengatur kehidupan sehari-hari sehingga hidupnya terisi oleh nibbana-ketenangan yang damai. (The Dawing of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 43/ A Buddhis Charter p.35/ The Dawning of Truth: Difficult for Anyone to Believe no. 62)
Nibbana tidak memiliki hubungan apa pun dengan kematian
Kebanyakan orang menunggu untuk mendapat kenikmatan nibbana setelah mati, meskipun mereka semstinya mendapatkannya di sini dan di saat ini.
Nibbana dapat ditemukan pada lingkaran kehidupan bukan sebagai tujuan luar seperti yang sering dipikirkan.
Pemadaman api ada di dalam api, demikian juga pemadaman dukkha ada pada dukkha sendiri… (the Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 3, 63/ A Buddhist Charter p. 35)
“Kecantikan terdapat di jasad tubuh, ketenangan terdapat di dalam pelepasan, bhikkhu terdapat di dalam kebenaran, nibbana terdapat pada keadaan hampir mati sebelum kematian”. (Legacy We Would Leave with You no. 39)
Nibbana- ketenangan dan kedamaian yang dialami saat tidak ada kemelakatan-tidak membutuhkan biaya sepeser pun.
Yesus mengatakan jumlah biaya yang sama pada hal yang sama. Beliau mengundang kita untuk meminum air kehidupan tanpa biaya. Lebih lanjut, beliau memanggil kita untuk memasuk kedalam kehidupan abadi yang berarti mencapai keadaan dimana kita menjadi satu dengan Tuhan, dan oleh karenanya kita tidak mengalami kematian lagi. (no Religion p. 29)
Nibbana adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan cara apapun. Nibbana tidak seperti kondisi keduniawian maupun manapun. Sebenarnya,  nibbana adalah negasi dari kondisi duniawi. Kita tidak dapat menciptakan nibbana karena nibbana melampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat menciptakan kondisi untuk merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang menuntun kebebasan dari kotoran batin. (Handbook for Mankind p. 151/ Nibbana for Everyone p. 8)
…Hukum Alam, kekososngan, dan nibbana. Ketiganya tidak memiliki pencipta. Bahkan Tuhan tidak dapat menciptakannya karena ketiganya memiliki setatus yang sama sebagai Tuhan. (Legacy we Would Leave with You no. 59).[4]
Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokan ke Nibbanadhatu, tujuan akhir umat Budha, istilah Pali “ Nibbana” berasal dari kata ini dan vana. Ni merupakan partikel negative, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut Nibbana, karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan”. Secara harfiah, Nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserekahan, kebencian dan  kebodohan. Sang Buddha bersabda: “seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian, dan kebodohan, oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah”.
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalanya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu, yang dengan bangga mengatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalan agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta”. Karenanya, Nibbana bersifat kekal. (dhuva), damai (santi), dan bahagia (sukha).
Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan” atau “dimusnahkan”.
Menurut kitab-kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa-upadisesa-Nibbana dan Anupadisesa- Nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana merupakan suatu percapaian (Dhamma) yang berada dalam jangkauan semua orang. Nibbana merupakan sauatu keadaan di atas keduniawian (lokuttara) yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir ini hanya dapat dicapai dalm kehidupan ala mini. Di sinilah terdapat letak perbedaan pokok antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep Non- Buddhis tentang surga kekal yang hanya dapat dicapai kematian atau bersatu dengan zat agung pada kehidupan setelah mati. Apabila Nibbana dicapai dalam kehidupan sekarang ini, sewaktu hidup, itu disebut sisa kehidupan fisik, itu disebut Anupadisesa Nibbanadhatu. Dari sudut pandangan metafisik, Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut pandangan psikologis, Nibbana adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak? Sang Budha menjawab “ Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( Khanda) itu sungguh dalam, tak dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatkan bahwa ia akan dilahirkan kembali adalah tidak sesuai. Menyatkan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan kembali juga tidak benar”.
Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati tumimbal telah dihancurkan; jika orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tidak ada sesutu yang dimusnahkan.
“Misalnya apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus menjawab “tidak ”. apabila kita bertanya apakah elektron berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab,” Tidak”. Bila kita bertanya apakah elektron bergerak, kita juga harus menjawab “Tidak”.
Sang Budha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya mengenai kondisi-kondisi seorang Arahat setelah wafatnya.
JALAN KE NIBBANA
Bagaiamana caranya  untuk mencapai Nibbana?  Dengan melakasanakan delapan faktor jalan utama, yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran benar (samma-sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar (samma-kammanta), penghidupan benar ( samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agma budha, mencakup pengetahuan tentang empat kebenaran mulia. Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta: “empat kebenaran mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depan beserta kesadaranya”. Dalam melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian benar berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna), yang langsung membawa kepada tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar. Karena itu, faktor kedua dari jalna utama ini (samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan pikiran-pikiran jahat dan mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu:
         Nekkhamma: melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
         Abyapada: cinta kasih, i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, i’tikad jahat, atau kemarahan.
         Avihmsa: tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar, faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar, yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, pencurian dan perbuatan-perbuatan kelamin yang salah.
Dalam membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal. Musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupanya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu: Memperdagangkan senjata, manusia, binatang-binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah meliputi perbuatan-perbuatan munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk memeperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat macam kegiatan yaitu: usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar, adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaaan-perasaan, pikiran-pikiran, serta obyek-obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar, yaitu menunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memundak dalam Jhana.
Dari kehidupan faktor jalan utama ini, dau yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga yang selanjutnya ke dalam bagian moral (sila). Dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi (sammadhi). Tetapi menurut urutan pengembangannya, rangkaian itu adalah sebagai berikut Sila, Samadhi, Panna.
Moral (Sila) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh ata melukai makhluk-makhluk apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.
Azas-azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seorang yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana. Melanggar hal-hal tersebut berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinya sendiri. Pelaksanaan hal-hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap denagn mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indra-indranya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu, kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa: “Kehidupan rumah tangga  merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah seperti udara terbuka”.
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa seiap orang harus menjadi Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu, Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin (samadhi), tingkat kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam objek meditasi sesuai dengan watak masing-masing individu. Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Sammadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagian batin.
Pengembangan empat keadaan batin luhur: cinta kasih (Metta), belas kasihan (karuna), kegembiraan bersimpati (Mudita) dan keseimbangan batin (Upekkha) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati obyek-obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai ia benar-benar tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran lainnya tida dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah: keinginan indara, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelishan, kekhawatiran dan keragu-raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana, menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa (abhinna), yaitu: mata-dewa (Dibbacakkhu), telinga-dewa (Dibbasota), ingatan akan kelahiran-kelahiran lampau (Pubbenivasanussati-nana), membaca-pikiran (paracitta vijanna), dan berbagai kemampuan-kemampuan batin lainnya (iddhividha). Namun harus diingat bahwa kekuatan-kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecendrungan-kecendrungan yang terpendam dalam batin. Karena dengan samadhi nafsu-nafsu hanya tertidur untuk sementara. Kotoran-kotoran batin itu dapat muncul pada saat-saat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Sammadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangn-rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu-nafsu oleh Sammadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari jalan yang menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia meliahat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemampuan ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun selain tiga corak umum kehidupan, yaitu: Annica ( ketidak-kekalan), Dukkha (penderitaan), dan Anatta (tanpa pribadi kekal), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang bersayarat itu tidak kekal adanya. Baik disurga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus mengembangkan pandangan terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat-saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancrkan tiga belenggu: pandangan salah tentang aku (sakkaya ditthi), keragu-raguan (vicikiccha), serta kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Silabbata-paramasa).
Pada tingkat kesucian ini ia disecut seorang Sotapanna (pemenang arus), seorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan terang yang lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami (hanya kembali sekali) dengan melemahkan dua belenggu kali, yaitu: keinginan indra (Kamaraga) dan i’tikad jahat (patigha). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.
Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, anagami (tak pernah kembali), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang disebutkan di atas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke alam dewa. Karena ia tidak memiliki kesenangan-kesenagan indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “Alam Murni” (Suddavasa), suatu alam brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengushakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan sisa belenggu batin seperti, keinginan akan kelahiran kembali dalam alam-alam bentuk (rupa raga) dan alam-alam tak berbentuk (arupa-raga), kesombongan (mana), kegelisahan (unddhacca), kebodohan (avijja), dan menjadi seorang suci yang sempurna (Arahat).
Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, bahkan berat penderitaan telah diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak-gejolak nafsu dan kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.[5]






DAFTAR PUSTAKA
1. Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
2. Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
3. Rampaian Dhamma, panjika
    ( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
4. Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa,
jess peter koffman, thitikwan      liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya           ke 131, cet-I, november 2007, h- 210.
5. Http://Www.semanggi-pahala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/.


[1] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
[2] Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
[3] Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[4] Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.

No comments:

Post a Comment