Sejarah hidup buddha
Responding Paper ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Dissusun Oleh
Ahmad Sobiyanto (1111032100027)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
SEJARAH HIDUP BUDHA
I.
RIWAYAT
SIDHARTA GAUTAMA
A.
Kehidupan Sang
Buddha
1.
Kelahiran
Bodhisattva
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh
para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran
Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha.
Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang
Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda
menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan
mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu
menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa,
atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu
adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.[1]
Saat ia
dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang
mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[2]
Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum
bunga ke arah utara,[3]dengan
jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri
menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru
para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air
suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alaam
menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada
nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia,
mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam
samsara ini.[4].
2.
Pada umur 12
tahun
Pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu
taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra);
silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri
(logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu
pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara sembahyang);
athavarveda(mantra)
1.
Melihat Empat
Peristiwa
Pada suatu hari pangeran mengunjungi
Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana
untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. tetapi
sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya
baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.[5]
Sekalipun sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang
akan dilalui putranya itu harus dibersihkan dari segala hal yang tidak
menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah
tua sekali. Pandangan ini mengejutkan Siddharta.[6]pangeran
terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
Channa menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang
tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia
sudah tua sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat.
Sebaiknya tuanku lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu
lama hidup di dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat
dielakkan.”[7]
Atas keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan
menjadi tua seperti orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta
kembali keistana.[8]
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi
sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran
meninggalkan istana.
Berselang beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar
diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih
dulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada
gunanya melarang, sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada
kesempatan ini pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak
kelurga Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Pangeran memperhatikan orang-orang
kecil yang sderhana dan semua orang kehilatannya sibuk sekali, bahagia dan
senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sdeang
merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan kedua tangannya memegang
perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya
berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang
membuat beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh
kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan
kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau,
engku mengapakah?” orang sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya
menangis tersedu-sedu.
“ Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan
nafasnya? Mengapa ia tidak bicara”?
“ O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn
darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar.
Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku
mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar
Tuanku meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit
pes itu sangat meenular.”
“apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang
dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit.
Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar ini pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk
merenungi hal ini.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja
agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya
karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang
bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu.
Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang
menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam
keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah
sungai dan meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya.
Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya
dari semua sudut.
Pangeran heran
dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran
berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus
dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang
Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan
dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[9]
Pangeran
kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana
lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk
menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju
taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk
menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang
dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun mendekati petapa itu dan
bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal
dirinya.[10]
“ Pangeran yang
mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian,
meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua,
sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan
barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini
mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O petapa suci,
dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang
mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat,
jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan
perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[11]
Sejak saat itu
Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana
dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[12]
Ketika pangeran
Siddharta masih di dalam taman dan benaknya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup
bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang di utus oleh raja
Suddhodana mengabarkan bahwa Putri yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki
yang tampan. Mendengar kabar itu, Pangeran justru bersedih hati dan berujar : “
seorang beenggu telah terlahir bagiku”! kelahiran tersebut merupakan halangan
karena ia mencintai keluarga dan anaknya yang baru saja dilahirkan. Mengetahui
apa yang diutarakan Pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian
memberi nama bayi itu “ Rahula” yang berarti “belenggu”.
B.
Sang Budha
Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.
Pangern
siddharta Meninggalkan istana
Sebelum
meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi
Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat
yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran,
bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya
kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang
kekal.[13]
Pangeran kemudian
pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk
bertapa. Istrinya sedang tidur nenyak dan memeluk bayinya.
Setelah sampai
di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota
Kapilavattu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya
yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Perjalanan
diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan
satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma.[14]
2.
Penerangan
Agung
Pada suatu
malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara, ketika ia
sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan duduk
padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah
petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang
meliputi hal berikut:
a.
Pubbenivasanussati,
yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.
Dibacakkhu,
yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.
Cuti Upapatana,
yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, bik atau
buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.
Asvakkhayanana,
pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang
menghilangkan ketidaktahuan
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama
telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’
atau guru dari manusia.
C.
Sang Budha
Mengajarkan Dharma
Setelah itu
sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain,
karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana, maka ia pergi ke
Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu,
tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali
mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa
tersebut diatas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma Cakra
Pravantana Sutra”, yaitu “pemutaran roda dharmma” yang selalu diperingati oleh
para penganut agama Buddha. Begitu juga taman isi patana di Benares yang merupakan
tempat asal mula kelahirana ajaran Buddha dan Sangha, apar pemula penganut
ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak peristiwa
pemutaran Rodha dharma tersebut mulailah siddharta Goutama yang telah menjadi
Buddha itu, menyebarkan ajaran diseluruh India mulai dari kota Rajagraha yang
berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
-
kehidupan manusia itu pada dasrnya tidak
Bahagia
-
sebab-sebab
tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri terbelengggu oleh
nafsu,
-
pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu
dapat ditekan habis jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadaan, yang dalam
ajaran Buddha adalah Nirwana,
-
Menimbng benar,
berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah, berusaha yang benar, mengingat
yang benar, meditasi yang benar,
Selama 45 tahun
lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang
anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak
Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di kusiwara yang letaknya sekitar
180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa yang menjadi
penerus, sehingga di kemudian hari ajaran terpecah menjadi dua golongan yaitu
Teravadha ( Hinayana ) dan Mahasangika
(Mahayana).
[2] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995), hal.7-8
[3]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.4
[4] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995), hal.8
[5]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 10
[6] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17,
2010), hal.65
[7]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11
[8] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17,
2010), hal.65.
[9]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11-14
[10] Forum
Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di
unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[11]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.15-16
[12] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17,
2010), hal.66
[13] A.G.
Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[14]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 19-20
No comments:
Post a Comment