Thursday, May 30, 2013

budhisme zen dan aliran aliranya



A.    Pengertian Zen
Zen merupakan salah satu dari ajaran Budhisme yang berasal dari India, yang menyebar melalaui Cina dan Korea. Banyak orang yang sulit mengartikan makna zen sesungguhnya. Zen yang diambil dari aksara Cina berarti "menunjukkan kesederhanaan". Zen adalah ajaran yang sangat jelas dan singkat. Ada juga yang berpendapat bahwa zen merupakan filosofi, dan bukanlah sebuah agama.[1]

Menurut Suzukizen bukanlah filosofi karena pemikiran zen bukanlah berdasarkan pada logika dan analisis. Zen tidak pernah mengajarkan untuk berpikir secara intelektual dan menganalisis. Pemikiran yang dihasilkan oleh seorang ahli zen selalu diajarkan secara turun - temurun kepada muridnya demikian juga seterusnya. Jika menyangkut bagaimana cara Zen menyebarkan ajarannya, yaitu sama dengan yang dilakukan Sidharta. Hal ini didukung oleh pernyataan, yang menyebutkan bahwa ajaran dari Budha sendiri diturunkan kepada murid – muridnya secara langsung dan turun – temurun.

pengajaran Bodhidharma tentang zen adalah perbuatan baik saja tidak cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong kemurnian moral dimana menjadi suatu syarat yang mutlak bagi pencerahan. Zen memiliki tiga arti yang berbeda
namun berkaitan. Chrismas humpeyrs dalam key kit, mengatakan bahwa: Pertama, zen berarti meditasi. Zen adalah istilah Jepang mengungkapkan Bahasa cina Chan, yang bila ditelusuri berasal dari Bahasa Sanskerta Dhyana. Ini adalah arti yang paling umum dari istilah tersebut. Kedua, dalam arti khusus zen adalah
nama dari kekuatan absolut atau realitas tinggi yang tidak dapat disebutkan dengan kata – kata. Ketiga, dalam arti yang lebih khusus zen adalah pengalaman mistis akan keabsolutan kekuatan tersebut, suatu kesadaran, tiba – tiba dan diluar batasan. Pengalaman mistis ini biasanya disebut kesadaran atau wu dalam Bahasa Cina dan satori dalam Bahasa Jepang. Ketiga arti zen tersebut saling berkaitan. Meditasi, arti umum adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi, dan mungkin orang yang melaksanakan meditasi akan mengalami pemahaman realistas kosmis ini dalam situasi yang penuh inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual.[2]
Zen adalah disiplin dalam pencerahan. Tujuan dari pelatihan zen ini adalah membuat kita menyadari apa sesungguhnya zen dalam pengalaman kita sehari – hari dan apa yang tidak dapat kita peroleh dari luar. Zen adalah bentuk Budhisme
sebagai penyebaran hati atau pikiran Budha. Anesaki menyatakan bahwa pada awalnya meditasi merupakan salah satu dari tiga bagaian latihan penganut Budha. Ketiga latihan tersebut yaitu berupa latihan kebatinan, disiplin moral dan kebijaksanaan. Selain itu jika menyangkut apa yang ada didalam zen, bahwa pengalaman pribadi adalah segalanya dalam zen. Karena untuk mendapatkan pengertian paling mendasar tentang sesuatu , maka harus dialami sendiri. Pengalaman merupakan hal yang mendasar dalam Zen. Pengalaman merupakan jawaban dari semua teka-teki kehidupan. seperti halnya dalam menjalani hidup, seseorang akan mengerti dengan kehidupan apabila ia telah menjalaninya, dan selama menjalani kehidupan tersebut akan begitu banyak pembelajaran yang di dapat.
Pendekatan zen terhadap realitas tidak sering dengan pendekatan ilmiah yakni menghindarkan penalaran logis, karena penalaran logis mengakibatkan kerangka pemikiran hidup mendua artinya suatu pemikiran yang selalu bertentangan antara subjek dengan objek atau berorientasi pada adanya dua prinsip kehidupan yang saling bertentangan.
Nilai ajaran zen digunakan oleh orang Jepang sebagai konsep pemahaman terhadap alam dan isinya, yakni tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami antara lain ; (1) kesederhanaan, (2) ketidak-sempurnaan, dan (3) ketidak-abadian. Nilai nilai tersebut terekspresi dalam konsep dasar pemahaman estetika wabi - sabi. Bagi orang jepang ajaran zen Budhisme diekspresikan melalui konsep estetika wabisabi yang digunakan sebagai acuan dalam berpedoman, mengatur dan juga sebagai pengendali dalam mencipta maupun memahami suatu karya seni. Makna dari wabi - sabi itu sendiri adalah kepasrahan (seijaku) dan ketulusan dalam menghadapi pergantian waktu, sehingga rasa ketulusan dan kepasrahan tersebut bagi orang Jepang diekspresikan ke dalam karya seninya dengan melukiskan situasi keadaan hening, tenang dan diam. Sehingga dapat dikatakan Zen Buddhisme adalah sebuah aliran yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha adalah berintikan tentang transimi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa.[3]

2.      Sejarah aliran Zen
Jika kita pelajari sejarah agama Budha dengan perhatian utama terhadap segi ini, hal yang lain segera menarik perhatian kita adalah Agama-agama itu terpecah.[4] Agama-agama selalu terpecah belah. Dalam tradisi kita, agama yahudi kuno terpecah menjadi agama Israel dan agama Judah, agama Kristen terpecah menjadi Gereja Timur dan Gereja Barat. Hal yang sama juga terjadi pada agama Budha. Agama Budha terpecah kedalam dua mazhab besar, yaitu Hinayana (perahu kecil) dan Mahayana (perahu besar), kedua aliran tersebut memiliki arti yang berbeda. Aliran Hinayana menyatakan bahwa dirinya adalah Jalan para sesepuh, dan pada dasarnya memandang manusia sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak bergantung kepada penyelamatan orang lain, sedangkan aliran Mahayana menyatakan dirinya sebagai pemelihara semangat Budha yang asli, berdiri lurus pada garis Ilhamnya, dan berpendirian sebaliknya, oleh karena kehidupan itu satu, nasib seseorang berkaitan dengan nasib manusia seluruhnya. Kaum Mahayan bersifat liberal dalam segala hal. berdasarkan sejarah simgkat diatas, aliran Theravada bersatu dalam suatu trdisi tunggal yang utuh. Sebaliknya, Mahayana terus-menerus pecah. Hal ini disebabkan oleh luasnya daerah penyebarannya,  perpecahan itu juga mungkin disebabkan oleh sikap liberal agama tersebut terhadap berbagai perbedaan dalam lingkungannya. Mazhab Mahayana ini berkembang menjadi tujuh aliran terbesar, yaitu: aliran San-lun, aliran Wei-shih, aliran Tien-tai, aliran Hua-yen, aliran Chan, aliran Ching-tu, dan aliran Cheng-yen[4]. Dan dalam buku Huston Smith aliran perahu besar terpecah  dalam lima paham. Yang satu menekankan iman, yang lainnya mengutamakan studi, yang berikutnya menyandarkan diri pada rumus-rumus yang jitu, sedangkan yang keempat mempunyai kecendrungan setengah poitik. Kita akan melewati keempat paham ini dan akan menelaah aliran intuitif Mahayana yang terdapat dalam bentuknya paling hidup dalam agama Budha aliran Zen di Jepang. Kata Zen adalah logat Jepang dari perkataan Cina Cha’an, yang merupakan terjemahaan lebih lanjut dari perkataan sansekerta dhayana yang berarti meditasi (semadi) yang menghasilkan wawasan yang mendalam. Seperti penganut Mahayana lainnya, pengikut aliran zen Budhisme ini mengatakan bahwa, paham mereka bersumber langsung dari Gautama sendiri. Ajaran beliau yang tercantum dalam kitab Hukum  agama berbahasa Pali adalah ajaran yang di ikuti banyak orang. Namun para pengikut Budha yang mempunyai pandangan yang lebih luas, memperoleh dari gurunya sudut pandang  yang lebih tinggi, contoh yang paling tua dari hal ini di temukan dalam “ Khotbah Sekuntum Bunga” Sang Budha. Sewaktu berdiri di puncak sebuah bukit yang dikelilingi oleh para muridnya, pada kesempatan itu Sang Budha tidak menggunakan kata-kata. Beliau hanya memegang tinggi-tinggi sekuntum  bunga teratai keemasan. Tidak seorangpun yang memahami makna gerakan yang gamblang itu kecuali Mahakasyapa, yang dengan senyum kecilnnya menunjukan bahwa ia memahami butir ajaran tersebut.
Oleh karena itu Budha pada masa hidupnya, menurut aliran chan tidak memberikan dan membukakan ilmu tertinggi itu kepada siapapun  juga kecuali ia di angkat sebagai pengganti Budha.[5] Menurut silsilah didalam aliran Chan Mahakasyapa merupakan First Patriach (imam pertama), seorang murid yang yang di pandang Sang Budha Gautama sanggup memahamkan simbol yang dipakai oleh beliau. Aliran Zen ini merupakan pecahan dari aliran Mahayana. yang memiliki arti perahu besar, maksud dari perahu besar adalah Aliran Chan di Tiongkok itu dikenal di India dengan aliran Dhyana dan di jepang dikenal dengan aliran Zen. Dhyana itu bermakna: meditasi ( Samadhi ). Chan dan Zen itu prubahan bunyi dari Dhyana, menurut dialek Tiongkok dan dialek Jepang. Ajaran zen pertama kali dibawa ke Cina pada awal abad ke-6, oleh seorang pendeta India yang bernama Bodhidharma (470-543).[6] Bodhidharma adalah seorang pendeta yang mengajarkan Buddhisme lewat metode Meditasi. Sehingga, Bodhidharma dianggap sebagai perintis ajaran Zen. Banyak sekali cerita yang muncul mengenai Bodhidharma, salah satunya adalah ketika Bodhidharma mencabut kelopak matanya lalu membuangnya karena merasa kelopak mata itu selalu membuatnya tertidur ketika Meditasi Kelopak mata tersebut, kemudian berubah menjadi pohon teh. Bodhidharma datang ke Tiongkok pada masa dinasti Liang (502-557M), beliau mula-mula sampai di Nanking. Sebenarnya apa yang diajarkan oleh Bodhidharma tidak menitik beratkan teori-teori, yang penting adalah pengertian dan intuisi dari seorang siswa yang timbul dari dalam batinnya sendiri di dalam usaha penghayatan terhadap Buddha Dharma di samping adanya ketekunan di dalam meditasi dengan banyaknya cerita mengenai kehebatan pendeta ini, maka banyak orang yang ingin berguru padanya. Hanya saja Bodhidharma hanya mau menerima murid yang bersungguh-sungguh ingin mendalami ajaran dan mengikuti jejak sang Budha. Bodhidharma menurunkan ajarannya Dhyana kepada muridnya, Hui Khe yang menjadi sesepuh kedua aliran Cha’n di Cina. Demikian seterusnya, hingga dikenal enam sesepuh yaitu:
Bodhidharma
Hui Khe
Shen Chie
Tao Sin
Hung Jen
Hui Neng

Setiap agama yang telah mengembangkan bahasa yang canggih sampai taraf tertentu mengakui bahwa kata-kata dan akal manusia tidak dapat mencapai kenyataan yang sesungguhnya., jika bukan merusak kenyataan itu sendiri. Kekhususannya terletak pada kenyataan bahwa aliran ini amat menyadari keterbatasan bahasa dan akal manusia, sehingga aliran ini mencurahkan perhatian pokoknya untuk mencari cara mengatasi keterbatasan bahasa dan akal tersebut. Hubungan Zen dengan akal ada dua: yaitu pertama, logika dan penjelasan Zen hanya dapat dimengerti dari sudut tinjauan pengalaman yang secara mendasar berbeda dari pengalaman kita biasa. Dan yang kedua, para guru besar Zen bertekad kuat agar para siswanya benar-benar memperoleh pengalaman tersebut secara langsung. Dan bukannya digantikan oleh kata-kata. Ada tiga (3) jalan yang biasa ditempuh dalam latihan Zen, yaitu 'Zazen' yang berarti meditasi duduk, yaitu sikap merenung yang mendalam dengan cara diam berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Sikap mana dilanjutkan dengan 'Koan' yang berarti konsentrasi akan suatu masalah tertentu, suatu masalah yang sulit yang sebenarnya tidak bisa dijawab, tetapi bisa direnungkan.[7] Sikap mana kemudian
dilanjutkan dengan 'Sanzen', yaitu bimbingan mengenai soal-soal meditasi. Bila ketiga jalan ini dapat dijalankan dengan baik, seseorang akan memasuki keadaan pencerahan 'Satori', yaitu suatu situasi santai yang baru sekali ini dirasakan, satori adalah suatu pengalaman intuisi, pengalaman mistik bahwa ia tidak lagi berpribadi (an-atta/an-atman). "Cara terbaik untuk merasakan Zen yang benar dan mencapai satori adalah dengan meletakkan jasmani dalam keadaan keseimbangan sempurna, sehingga keseimbangannya yang teratur menghilangkan keberadaannya dari batin, seperti gigi tidak akan diperhatikan bila sehat dan seorang teman yang benar-benar berkorban tidak pernah memperhatikan pengorbanannya. Untuk mencapai keadaan yang seimbang ini, kita ikuti aturan hidup fisik tertentu: pertama-tama buatlah postur yang benar, kemudian aturlah nafas dan akhirnya tenangkan batin". Aliran Zen itu bersikap agak bebas terhadap mempelajari berbagai Mahayana-sutras, tidak hendak mengikatkan diri kepada sutras tertentu. Begitupula terhadap aliran filsafat didalam mazhab Mahayana. Bahkan tidak hendak memperbincangkan secara serius. Aliran Zen itu lebih mengutamakan pendekatan secara intuitif bagi mencapai kesadaran tertinggi.[8] Titik berat ajarannya lebih mengutamakan disiplin, yakni ketaatan dan khidmat yang sepenuhpenuhnya kepada sang guru, Cuma sang guru saja secara resmi dan pasti dapat menuntun seseorang murid kepada pencerahan dan kebenaran, guna mencapai kepribadian-Budha. Aliran Zen berpendirian bahwa kepribadian-Budha itu hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui renungan di dalam semadi, maka kepribadian Budha itu dapat dilihat. Isi kepribadian-Budha itu ialah kekosongan ( sunyata), yakni, kosong dari setiap ciri-ciri khusus. Alam lahir dengan seluruh ciri-ciri khusus itu Cuma tipuan-khayal (maya) belaka. Jalan satu-satunya bagi mendekaati kebenaran terakhir itu ialah melalui samadhi, yang terbagi dalam dua macam:
(1).Tathagatha-Meditation, yaitu cara samadhi dari Budha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
(2.) Patriarchal-Meditation, yaitu cara samadhi yang diajarkan Patriach Bodhidarma, meniadakan pemikiran dan memusatkan kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.

3. Aliran-aliran budhisme Zen
Seiring dengan berjalannya waktu aliran Zen Budhisme inipun melahirkan beberapa aliran Ada beberapa sekte/aliran Cha’n/Zen yang berkembang menurut metode yang berbeda atau keadaan setempat.[9] Diantaranya sebagai berikut: Aliran Lin Chi, dikembangkan oleh Master Lin Chi (kira-kira 850 M) Aliran Chau Tung, dikembangkan oleh Master Tung San Liang Chie (807-869) dan Chau San (840-901) Aliran Kuei Yang, dikembangkan oleh Kuei San (771-853) dan Yang San (807-883) Aliran Yun Men, dikembangkan oleh Yun Men (862-853) Aliran Fa Yen, dikembangkan oleh Fa Yen (885-958) Zen kemudian berpecah menjadi 5 aliran, dan di kemudian, hari kelima aliran ini dilebur menjadi dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan Lin Chi (Rinzai). Karena itu sampai sekarang yang kita kenal hanyalah dua aliran Zen, yaitu Soto dan Rinzai yang pada abad ke XII bermigrasi dari China ke Jepang. Aliran Soto menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi tenang pengosongan pikiran (kontemplasi), sedangkan aliran Rinzai menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi yang diarahkan kepada aliran tertentu.

1.     Meditasi untuk Pencerahan
Seorang Guru Besar Zen - Hakuin - pernah pada suatu ketika ditanya : Sensei – bagaimanakah Buddhisme yang benar itu? ' Hakuin menjawab singkat : Mata Lurus, Hidung Tegak, Itulah Buddhisme yang Benar ! Pesan jelas dari jawaban yang sangat lugas ini adalah bahwa Buddhisme adalah Meditasi ! Pencarian Jalan di dalam diri untuk menemukan Pencerahan. Meditasi dan Pencerahan. Dua hal inilah Tulang Punggung, Tonggak dari Ajaran Buddhisme Zen.
1.     Pencarian di Dalam - melepas segala Konsep dan Kata
Meditasi sebagai tonggak dalam ajaran Zen menuntut Pencarian di Dalam, bukan di Luar.Meditasi Zen berarti menyatukan ' diri ' yang terbatas dengan ' Diri ' - diri yang tak terbatas, yang berada tidak jauh - dalam diri sendiri. Ketika seorang Bima dalam kisah Dewaruci masih mencari di luar : mencari hal-hal di luar untuk dikalahkan - Naga di dasar Laut, Raksasa di atas Gunung, ia belum menemukan Zen. Ketika ia telah menemukan Dewaruci yang ternyata berada dekat sekali dengannya - di dalam tubuhnya sendiri, di telinganya dan ia mulai mendengarkan bisikan dari Dewaruci yang merupakan replika dirinya itu - pada saat itu ia mulai memahami Zen.[10] Proses masuk ke Zen baru dimulai ketika seseorang mulai melepas pencarian di luar, melepas konsep dan kata-kata.  Kisah Alexander Agung dan Pertapa India seperti ditulis Anand Krishna dalam bukunya yang berjudul Telaga pencerahan di Tengah Gurun Kehidupan - berkisah tentang hal yang serupa. Latarbelakang kisah ini adalah ketika Alexander Agung bermaksud meninggalkan India, salahsatu tanah jajahannya pada waktu itu dan bermaksud pulang ke Yunani : Setelah menaklukkan sebagian besar dunia, dalam keadaan capai dan sakit-sakitan Alexander memutuskan kembali ke Macedonia, di negeri Yunani, tanah leluhurnya. Dalam perjalanan pulang, ia teringat pesan seorang rohaniwan Yunani, Kelak kalau kau pulang, Alexander, ajaklah seorang rohaniwan India. Kita dapat belajar banyak darinya. Alexander pernah mendengar tentang seorang rohaniwan, seorang sanyasin - seorang pertapa yang tinggal di tengah hutan. Kebetulan ia akan melewati hutan itu. Ia mencari alamat sang sanyasin. Berteduh di bawah pohon beringin yang lebat, dari jauh ia melihat sang sanyasin dalam keadaan telanjang bulat. ( kebiasaan pertapa India waktu itu - catatan penulis ). Alexander mengutus seorang prajurit untuk memberitahu tentang keberadaannya, dan minta agar sang sanyasin mau datang menemuinya. Katakan pada Alexander bahwa aku tidak perlu kemana mana. Aku tidak membutuhkan apa pun. Apabila ia ingin bertemu denganku, silahkan ke sini. Tapi aku tidak akan kemana mana. Alexander bingung, kesal dan marah. Baru pertama kali ini ada orang yang begitu berani kurang-ajar kepadanya. Tetapi ia menahan diri. Ia pernah mendengar bahwa para sanyasin, para pertapa memang agak aneh, kalau bukannya sinting. Alexander mendatangi sang sanyasin. Sanyasin - aku Alexander, Alexander yang Agung. Sang Sanyasin tersenyum, Yang Agung ? Aku dengar engkau meninggalkan tanah leluhurmu untuk menaklukkan dunia. Benar, itulah aku, Alexander yang Agung ! memang agak arogan, tapi memang demikianlah seorang Alexander. Sang Sanyasin mengangkat sedikit kepalanya, Katakan, Alexander, kamu memang Agung sejak dulu, atau menjadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian besar dunia ini ? Apa maksudmu, Sanyasin ? Alexander tidak memahami persis apa yang dimaksud oleh sanyasin. Begini, Alexander, kalau kau Agung sejak dulu, kau tidak akan bersusah-payah keliling dunia untuk menaklukkannya. Kalau memang begitu, berarti kau dulu tidak Agung. Dulu masih kekurangan sehingga kau keliling dunia untuk mengisi kekuranganmu itu. Kau menjadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian dunia. Bayangkan, Alexander, jikalau ada yang lebih berhasil dari mu, keagungan itu akan hilang juga. Nah, kau memang agung sejak dulu atau baru jadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian dunia ? Alexander menganggap pertanyaan itu sebagai sindiran. Dengarkan, Sanyasin, tidak pernah ada yang berani berbicara seperti itu kepadaku. Aku masih menghormatimu. Aku datang ke sini untuk mengundangmu, mengajak kamu ke Yunani, ke negara ku yang subur, sejahtera, damai. Segala kebutuhanmu akan kupenuhi. Sayang, Alexander, kau terlambat puluhan tahun. Sekarang aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun.Aku juga tidak perlu pergi kemana pun - jawab sang Sanyasin. Sanyasin, mungkin kau tidak tahu bahwa penolakanmu dapat berakibat fatal. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Sadarkah bahwa engkau menolak seorang Alexander ? rupanya Alexander benar-benar marah. Aku sadar, aku sedang menolak seorang pengemis - seorang yang tidak puas, tidak pernah merasa puas dan tidak merasa cukup dengan apa yang ia miliki sehingga ia harus menaklukkan dunia ini. Sadarkah kamu ,Alexander, bahwa keinginanmu untuk menaklukkan dunia ini timbul karena kamu tidak puas, tidak pernah puas dengan apa yang kamu miliki ? Kau kosong, hampa ! Dan kau ingin mengisi kekosongan dirimu, kehampaan jiwamu, dengan gelar Yang Dipertuan Agung. Kau ingin mengisi kehampaan batinmu dengan kemenangan-kemenangan yang tidak berarti - suara sanyasin pelan, datar, tetapi jelas. Kata-kata itu telak menusuk jiwa Alexander. Dan tentang ancamanmu Alexander - ketahuilah bahwa untuk itu pun kamu telah terlambat puluhan tahun. Yang dapat mati telah lama mati. Badan ini, ada atau tidak - sudah tidak menjadi persoalan lagi. Aku tidak pernah mati. Kembalilah, Alexander - pulanglah ke Yunani dan renungkanlah kata-kataku ini - kata sang Sanyasin menasihati. Alexander yang Agung menangis, mencucurkan airmata seperti seorang anak kecil. Sang Sanyasin memeluknya. Tenanglah, anakku, tenang. Berdamailah dengan dirimu, dalam jiwamu. Segala sesuatu yang kau cari itu berada dalam dirimu sendiri. Keagungan tidak datang dari luar. Keagungan berasal dari dalam dirimu sendiri. Kenalilah dirimu - temukan dirimu dan kau tidak akan membutuhkan sesuatu apa pun lagi dari luar.[11]
2.     Pengalaman Langsung
Zen menuntut pengalaman langsung - bukan hasil pemikiran teori atau hasil menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya iman yang dituntut dari seorang praktisi Zen adalah keyakinannya pada pencerahan Siddharta ! Meditasi harus dijalani dengan tubuh ini bukan dengan pikiran atau yang lain. Seorang Master Zen pernah mengatakan : Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah - seseorang dengan ketekunan akan menemukan Buddha !

3.     Laku - bukan Filsafat !
Zen adalah Laku , bukan Filsafat ! Anand Krishna dalam bukunya : Zen untuk Orang Modern - menggambarkannya dengan sangat jelas - Zen bukanlah Filsafat Ia adalah Falsafah , sebuah Laku Hidup. Filsafat melahirkan Konsep Falsafah membebaskan diri dari Konsep. Filsafat menyibukkan pikiran Falsafah mengistirahatkan pikiran. Filsafat mengikat. Falsafah membebaskan. Akan tetapi - masalahnya adalah - bila Laku Zen ini pun kita jadikan konsep untuk dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan - ia akan kembali menjadi filsafat. Kembali ke Zen : Zen adalah Za - Zen. Duduk Diam. Punggung Lurus. Buka mata hati. Masuk ke dalam diri - M e d i t a s i !


4.     Kesadaran Hishiryo - Menjadi Sederhana 
Taisen Deshimaru berbicara tentang apa yang dalam bahasa Jepang disebut Hishiryo - Kesadaran Hishiryo. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan hidup. Satu hal yang menyebabkan mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang adalah karena Zen menuntut kita untuk menjadi sederhana. Dunia modern dengan segala corak kehidupan masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu menuntut kita untuk berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu - telah menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks. Kesadaran Hishiryo bukanlah sesuatu yang misterius atau esoterik. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran yang seharusnya demikian dalam memandang suatu kehidupan. Suatu kesadaran yang seharusnya normal-normal dan biasa saja. Masalahnya adalah bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa pemikiran dlsbnya. Kesadaran Hishiryo ini akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita : alam , manusia dan makhluk lain - dan terutama juga dengan ' diri ' kita sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan kita dari segala sesuatu yang hanya mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' - tetapi akan membawa kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas - yang pada akhirnya dengan ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi : Kesadaran Murni, Kesadaran Kosmis, Kesadaran No - Mind , Shunyata - Pencerahan Total.[12]

5.     Jalan Tengah
Zen mengajar kita untuk tidak menjadi ekstrim dalam hal apa pun.Latihan Zen yang keras dengan laku disiplin yang tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi keras. Sebaliknya - latihan ini dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu kondisi mental yang teguh, tidak mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu ekstrim - dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain.Agar kita dapat selalu berada dalam kesadaran mental yang seimbang - menjalani hidup yang tak tergoyahkan oleh hedonisme atau pun pelarian dari dunia.
Ada orang yang terus hidup sangat duniawi - ada yang lain yang seolah melarikan diri dari dunia dan mungkin dengan demikian mengira bahwa ia telah hidup di rancah spiritual. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi bathin - amatlah penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia. Dualisme adalah produk dari pikiran - Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan men-sintesa-kan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
6.     Pengantar untuk pokok-pokok ajaran berikut :
Buddhisme Zen menurut Prof Dr. Suzuki adalah bagaikan sebuah organisme yang hidup. Organisme yang hidup tumbuh dan berkembang. Benih Buddhisme berasal dari India - diturunkan oleh Siddharta, sang Buddha - kepada Mahakasyapa. Benih ini kemudian tumbuh dan berkembang. Seribu tahun kemudian dengan kedatangan Bodhidharma di Tiongkok, benih Buddhisme ini mencapai Tiongkok dan di sana bertemu dengan sebuah lapangan pergulatan baru. Buddhisme Zen ( yang di Tiongkok disebut Chan ) bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme. Terjadilah tatap muka, pergulatan. Beberapa aspek ajaran Taoisme dan Konfusianisme terserap masuk. Buddhisme Zen muncul dengan wajah baru - ia menjadi lebih lengkap. Ajaran Taoisme yang mengutamakan harmoni dengan alam semesta memperindah wajah Buddhisme yang sedang tumbuh ini. Ajaran Konfusianisme yang mengutamakan pragmatisme dalam memandang hidup menambah warna. Tekanan dalam ajaran Buddhisme Zen agar hidup dalam ke-kini-an , saat ini - memperoleh penguatan dari ajaran Konfusius. Tetapi - inti dari Zen tetaplah Buddhistis. Inti Zen adalah semata-mata ajaran Inti Siddharta - sang Buddha. Meditasi dan Pencerahan. Tanpa keduanya - tonggak Zen runtuh. Tidak ada lagi Zen. Praktisi Zen sangat mengetahui hal itu. Sementara berkembang pendapat-pendapat ekstrim dari mereka yang kurang memahami. Ada yang mengatakan bahwa Zen tidak lain merupakan suatu perkawinan , suatu sintesa antara Buddhisme dan Taoisme - antara India dan Tiongkok. Ada ahli lain seperti Prof. Fung Yu Lan yang justru mengatakan bahwa Zen tidak lain adalah Konfusianisme dalam perkembangan lanjut - yaitu apa yang dia katakan sebagai Neo- Konfusianisme. Demikian pula halnya dengan Prof. A.K. Coomaraswamy yang menulis bahwa Zen adalah satu bentuk Buddhisme yang tercemar - suatu pendapat yang sangat bias dan amat sangat tergesa-gesa. Saya pikir pendapat-pendapat tersebut muncul dari pengamat yang hanya melihat dari luar saja. Seorang praktisi Zen akan sangat mengerti bahwa apa yang dilakukan dalam latihan adalah Inti dari ajaran Buddha itu sendiri - bukan yang lain. Meditasi untuk Pencerahan - Itulah Zen ! Inilah ajaran Buddha - inti ajaran yang diturunkan pada Mahakasyapa. Jalan Zen adalah Jalan Buddha. Karenanya - sangat bagus penggambaran dari Anand Krishna yang mengatakan bahwa Zen adalah Buddhisme yang benihnya berasal dari India, benih itu kemudian tumbuh dan berbunga di Tiongkok ( ketika bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme dan menyerap beberapa aspek ajaran-nya ) dan kemudian berbuah di Jepang - ketika cara hidup khas Jepang yang sangat kreatif mengubah dan memperindah Zen sampai pada bentuk yang kita kenal sekarang ini. Di Jepang - lah Zen kemudian melatarbelakangi filosofi arsitektur Taman dan Ruang, seni merangkai bunga Ikebana, seni drama Noh, upacara minum teh Cha No Yu, permainan pedang para pendekar Samurai Jepang dan Ilmu Bela Diri. Yang disebut terakhir ini sebenarnya telah mulai di Tiongkok ketika Bodhidharma mendirikan biara Shaolin di Lo Yang - Tiongkok. Atau ibarat sosok yang berpakaian dan berhias - sosok tubuh Zen adalah Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme menjadi ibarat pakaian dan perhiasan yang dikenakannya.
7.Mushotoku - Berhenti Mengejar
Melakukan apa yang harus dilakukan. Tanpa Pamrih. Tanpa terlebih dulu memikirkan hasil atau keuntungan. Menjalankan sesuatu sebagai suatu Dharma - sesuatu yang memang telah menjadi suatu hal yang harus dilakukan.

8. Sekarang, Di Sini, Saat Ini
Inilah pragmatisme yang harus dilakukan dalam memandang kehidupan. Yang paling nyata adalah sekarang yang terus berubah. Kehidupan harus dijalani pada kenyataannya yang paling riel, paling nyata - yaitu saat ini. Masa lalu tak akan kembali, masa depan belum nyata. Di sini Zen bertemu dengan Konfusius. Konfusius selalu menekankan pada sekarang. Konfusius mementingkan apa yang nyata terlihat - apa yang ada dihadapan kita. Sangat membumi.

9. Wu - Wei 
Istilah ini susah diartikan dan bahkan sangat sering salah diterjemahkan. Inilah kebijakan yang berasal dari Taoisme. Sering diterjemahkan sebagai : Tidak berbuat - atau dalam Bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ' Action in No Action ' - sebuah terjemahan yang mungkin artinya agak membingungkan. Yang mendekati arti sesungguhnya dari wu-wei mungkin adalah : Kebijakan untuk tidak mencampuri, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang alami. Let nature takes care of itself - Biarkan yang alami bekerja, jangan memaksakan, jangan mengatur, jangan mempengaruhi. Biarkan Hukum Alam bekerja. Harmoni dengan alam.[13]


DAFTAR PUSTAKA
Smith, Huston .Agama-agama Manusia.jakarta.Yayasan Obor Indonesia.2001
Sekkei , Harada. Hakikat Zen.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama.2003
Low, Albert. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz Media.2000
Sou’yb, Joesef. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta.Pt Al Husna ZIkra.1996
http://tamandharma.com


[1] Huston, Smith. Agama-agama Manusia.jakarta.Yayasan Obor Indonesia.2001.hal,156

[2] Joesoef Sou’yb.Agama-agama Besar di Dunia.Jakarta.Pt Al Husna ZIkra.1996.hal,112
[3] Huston Smith.Agama-agama Manusia. jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2001. hal,165
[4] Albert Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz Media.2000. hal. 56
[5] Sekkei, Harada.Hakikat Zen. Jakarta.Gramedia Pustaka Utama.2003. hal,72
[6] Joesoef Sou’yb. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta.Pt Al Husna ZIkra.1996.hal,128
[7] Albert Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz Media.2000. hal, 98
[8] http://tamandharma.com
[9] http://tamandharma.com
[10] http://tamandharma.com
[11] http://tamandharma.com
[12] http://tamandharma.com
[13] http://tamandharma.com

No comments:

Post a Comment