Thursday, June 6, 2013

aliran agam buddha


A.  Pendahuluan
            Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SEU (Sebelum Era Umum). Beliau dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avidyā), kehausan/napsu rendah (taṇhā), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan sunyatam dan mencapai Nirvana (Pali: Nibbana). Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).
            Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawidimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.
            Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.[1]
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa  dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran dan  realitas sebenar-benarnya.
B. Aliran Tantrayana
Secara umum Tantrayana juga dapat dikatakan bagian dari mahayana, karena ada beberapa bagian dari  inti filsafat mahayana yang di terangkan secara Esoterik dan penuh sibolis , seperti, ; sunyata bodhicita, tathata, vijnana[2]
Tantrayana adalah satu mazhab dalam agama Buddha yang sangat istimewa karena memiliki ciri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta benua Eropa, Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana.
Para misionaris Barat sangat kagum setelah mempelajari mazhab tantrayana, karena terdapat konsepsi maupun ide-ide religi serta filsafat yang sangat kenal, berlainan dengan konsepsi maupun ide yang mereka kenal sebelumnya.
Tantra Timur adalah tantra yang berkembang di daratan China dikenal sejak abad IV Masehi,setelah Srimitra yang berasal dari Kucha (sekarang Xinqiang-China) berhasil menerjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisi mantra-mantra, pengobatan, doa pemberkahan dan ilmu gaib lainnya. Hal tersebut sesungguhnya belum mencerminkan nilai-nilai agung dari aliran Tantrayana itu sendiri, kata Mr. Chauming. Tantra Timur bercorak perfeksionis dimana semua rupang Buddha maupun Bodhisattva serta vajrasatva baik yang bersifat maskulin dan feminim, lebih menunjukkan kesempurnaan, keagungan yang sesuai dengan sopan santun yang ada pada masyarakat China.
Kalau Tantra Barat adalah tantra yang berkembang di Tibet dan sekitar pegunungan Himalaya batas antara China dan India, yang sebenarnya hanya dalam letak geografis saja. Daerah ini memiliki tradisi dan sejenis kepercayaan yang disebut Bon-Pa. Dan orang-orang Tibet umumnya memiliki kemampuan untuk menguasai roh-roh halus. Di samping symbol dari jenis rupang Buddha sedikit ada perbedaan. Bila dilihat Tantra Barat lebih bercorak naturalis terlihat jelas pada anggota tubuhnya, yakni bersifat feminisme (dalam bentuk wanita). Terdapat pula rupang angkara murka, seperti Angry Vajra (Vajravarahi dalam wajah murka).
Pada tahun 747 masehi, Maha Guru Padma Sambhava menjalankan misi ke Tibet. Beliau pada masa mudanya adalah seorang pangeran dan sangat menyenangi hal-hal yang bersifat magis. Beliau memiliki kemampuan supranatural yang dipadukan dengan ajaran-ajaran Hyang Buddha. Berkat kemampuan beliaulah, dukun-dukun Tibet dapat ditundukkan dan memperoleh simpati dari bangsa Tibet.
Tantrayana di Tibet berkembang hingga menjadi tiga periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini).
Mazhab Tantrayana,baik Tantra Barat maupun Tantra Timur disebut esoterik (rahasia/tersembunyi), karena dalam penyebarannya tidaklah bersifat terbuka. Tantra diajarkan oleh seorang guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian[3]
v  Kitab Suci Mazhab Tantrayana di Tibet

Mazhab Tantrayana di Tibet memiliki naskah terjemahan kitab suci yang kebanyakan berasal dari India dan terdiri lebih dari 4.566 naskah. Kumpulan naskah dalam bahasa Tibet tersebut digolongkan dalam dua bagian, masing-masing :
Bkahgyur(dibaca Kanjur) yang sebahagian besar adalah terjemahan dari bahasa Sanskerta dan sebahagian kecil terjemahan dari bahasa mandarin, terdiri dari 3.458 naskah serta dihimpun dalam tiga bagian, yakni :
1.      Dulva (Vinaya), terdiri dari 13 bagian, merupakan peraturan-peraturan,disiplin, tata tertib untuk anggota Sangha.
2.      Do (Sutra), terdiri dari 66 bagian yang mencatat ajaran Hyang Buddha, seperti halnya dalamsutra-sutra canon pali dan sutta-sutta kanon sanskerta dan selalu diawali dengan "Demikianlah yang saya dengar".
3.      Chon non pa (Abhidhamma), terdiri dari 21 bagian yang merupakan pelajaran filsafat dan pembahasan dari ajaran Hyang/Sang Buddha.
Bstanghyur (dibaca Tanjur), merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) yang dihimpun dalam dua kitab :
1.      Tantra (Rgyud), terdiri dari 22 bagian yang berisi doa-doa,dharani-dharani, mudra, mandala dan lain-lainnya.
2.      Sutra, merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) dari Do (sutra).[4]
Tantra terpisah dari Mahayana dalam hal pendefinisian tujuan dan tipe manusia ideal dan juga dalam cara pengejaran. Tujuannya masih sama, yaitu Kebuddhaan, walaupun tidak lagi terjadi di masa depan, berkalpa-kelpa kemudia, tetapi saat ini, “dengan tubuh ini”, “dalam satu piiran” yang diperoleh secara ajaib dengan cara-cara yang baru, cepat, dan mudah. Orang suci yang ideal sekarang adalah Siddha atau ahli mukjizat, walaupun agak mirip dengan Bodhisattwa yang telah melewati tahap kedelapan dengan kekuatan-kekuatannya yang ajaib dan berkembang sempurna.
Tantra itu mewakili di antara sekte-sekte Mahayana, panca indera mengenai semangat, secara tradisi ditegaskan sebagai terdiri dari perawatan dan hasil dari yang bermanfaat, dan menghapuskan serta gangguan dari yang tidak bermanfaat, keadaan mengenai pikiran. Dengan keadaan bermanfaat dari Jhana, atau Dhyana, pikiran yang terutama dimaksudkan. Maka dari itu kepentingan yang didominasi Tantra bukanlah teori tetapi praktek.
Tantra, walaupun secara jelas menggabungkan doktrin dari sekte-sekte yang lebih dahulu, berbeda secara radikal dari mereka semuanya di dalam mengenai bukan dengan perluasan teori yang lebih lanjut dari doktrin-doktrin ini, tapi dengan penerapan metode menuju pada realisasi realitas dari mana mereka adanya namun simbol konseptual. Jadi Tantra memiliki sebegitu banyak pada bidang menguasai doktrin sebagaimana pada bidang menguasai metode. Tradisi-tradisi Buddhist yang ada diterima sebagaimana adanya, asalkan bukan sebagai suatu titik awal untuk tindakan. Lebih daripada setiap sekte lainnya, Tantra mewakili segi latihan mengenai Buddhism, dan karena alasan ini, jadi Dr. Herbest V. Guenter sangat menekankan [5]
‘Itulah di dalam Tantra bahwa Buddhism menemukan kemekaran dan peremajaan lagi yang konstan’.
Tetapi walaupun Tantra berarti tindakan, dan karenanya untuk kekuatan di dalam semua modenya, itu tidak berarti tindakan secara umum, yang akan lebih baik dimiliki hanya aktivitas, tapi terutama untuk ritual atau perbuatan sakral. Di dalam prinsip ringan yang fundamental ini, dasar ‘kebenaran bagi eksistensi’ lebih dari penekanan Tantra dengan ciri-cirinya secara jelas diperlihatkan.
Pentingnya aspek dan tradisi yang permulaan di mana memberikan dasar teori yang paling dekat mengenai kesakramenan Tantra; dikarenakan, sebagaiman Conze mengamati secara dekat;
‘jikalau Tantra mengharapkan keselamatan dari perbuatan suci, itu haruslah mempunyai suatu konsepsi mengenai Alam Semesta yang menurut perbuatan seperti itu dapatlah pada pengangkatan pembebasan’.
Jikalau realitas transendental menunjukkan Aksobhya, misalnya, sungguh-sungguh ada, itu haruslah memungkinkan untuk menempatkan Dia pada suatu tempat yang penting di dalam setiap bentuk mengenai kehidupan fenomena dan aktivitas. Bukanlah itu, walaupun dikatakan Bulan itu dipantulkan sebuah kolam air, tidak dipantulkan dalam keseluruhan kolam itu, tapi hanya dalam satu bagian penting darinya. Untuk mengetahui bahwa Akshobhya dipantulkan dalam dunia fenomena tidaklah cukup. Dunia itu terdiri dari lima skandha. Salah satu dari mereka itu haruslah pentulan aksobhya. Karena pengertian harfiah dari Aksobhya adalah ‘Yang Tenang Sekali’. Tantra mengenali Aksobhya dengar Vijnanaskandha atau kumpulan dari kesadaran. Pada prinsip ini Tantra membangun sistem dalam Buddha, Bodhisattva dan Dewa.
yang tidak terhitung semua mewakili baik aspek yang berbeda mengenai Realitas atau tingkatan yang berbeda mengenai Jalan Transendental, dihubungkan tidak hanya dengan suatu kumpulan (skandha) dari milik mereka, tapi juga dengan suatu kumpulan yang penting ‘mantra, mudra, unsur (elemen), arah, hewan, warna, indera-perasaan, bagian dari tubuh dan sebagainya. Tantra adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan daripada sekte lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai ajaran bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam, karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah eksoterik melainkan esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang kotor.[6]
Pada jaman sekarang, Tantrayana lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Hal ini tidaklah mengherankan, karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.

v  Identitas Tantrayana di Tibet
Identitas mazhab Tantrayana di Tibet dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       matra atau ukuran yang dikenal sebagai silsilah turun-temurun (lineage). Silsilah turunan utama tersebut meliputi para Guru yang diawali dengan Sang Buddha, para acharya yang berasal dari India sampai dengan guru dari Tibet pada masa-masa sekarang ini, yang telah memberikan / menurunkan ajaran Tantrayana baik secara metode lisan maupun tulisan menurut tradisi turun-temurun.
b.      Faktor yang lain adalah kelompok ajaran secara lisan dan tulisan yang dihasilkan oleh para anggota daripada silsilah turun temurun (lineage) tersebut, termasuk uraian, karangan, komentar, tafsiran, ulasan, tekstual yang mengandung unsur ritual dan sebagainya[7].
c.       Sekte sekte dikenal pula dengan cara latihan masing-masing yang khas dan unik. Misalnya sekte Kar-gyu-pa menitik beratkan meditasi, yang umumnya disebut tradisi meditasi atau samadhi. Sedangkan sekte Kah-dam-pa ataupun sekte Ge-lup-pa dikenal memiliki tradisi disiplin intelektual.
d.      Faktor lain yang menonjol dan menarik perhatian adalah gabungan biara/ monastery tempat para Lama/Bhiksu yang berfungsi sebagai tempat belajar serta tempat latihan religi. Biasanya suatu biara merupakan markas besar yang resmi bagi satu sekte sambil dijadikan sebagai suatu contoh atau model bagi yang lainnya. Setiap sekte besar memiliki banyak biara. Sedang sekte yang kecil hanya memiliki satu atau dua biara saja.
e.       Setiap sekte juga dikenali dengan memimpin spiritual yang berkedudukan tinggi, biasanya disebut "Tulku".
v  Sekte-sekte Tantrayana yang utama di Tibet

1.      Sekte nim-ma-pa (sekte jubah merah/ancient red sect)
Anggota sekte ini selalu memakai jubah dan topi merah. Mereka merupakan keturunan dari garis silsilah (lineage) dari maha guru Padma sambhava.
Mereka menjalankan ajaran esoteric (ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi sekte ini merupakan penggabungan dari Buddha Dharma dan Bon-pa. Dan di dalam prakteknya mereka tidak hanya merupakan jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi guna menguasai:
Dasar permulaan ajaran di transfer langsung dari para acarya India
Mempertahankan tradisi teks-teks kuno yang disimpan / dipendam dalam bumi (tanah) seperti
Kitab Bardo Thodol.
2.      Sekte Kah-dam-pa
Sekte ini dipelopori oleh Atissa Srinyana Dipankara pada tahun 1042 masehi. Atissa pada tahun 1012 pernah mengunjungi Sriwijaya dan berguru pada Maha Acarya Dharmapala selama duabelas tahun, Atissa kembali ke Tibet pada tahun 1042. Beliau wafat tigabelas tahun, kemudian perkembangannya dikemudian hari sekte ini bergabung denga Ge-lug-pa.
3.      Sekte Ge-lug-pa (Sekte jubah kuning)
Anggota sekte ini mengenakan jubah berwarna kuning. Sekte ini merupakan pembaharuan dari sekte Kah-dam-pa dan dipelopori oleh Tzong-ka-pa pada abad XV.
4.      Sekte Kar-gyu-paSekte ini didirikan oleh Lama Marpa pada abad XI. Garis silsilah (lineage) sekte ini diawali dengan
Buddha Vajradhara (symbol Penerangan Agung). Para siswa sekte ini dalam pelaksanaan latihan religi dan upacara ritualnya wajib memandang gurunya sebagai Vajradhara, supaya dapat lebih mendekatkan diri pada Sang Buddha, sambil menjamin keberhasilan hubungan erat antara
guru dan murid. Salah seorang siswa Marpa yang terkenal adalah Milarepa, yang juga dikenal sebagai filsuf dan penyair terkenal dari Tibet.

C.  Aliran Mantrayana

Bahwa Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain dari pada yang ditawarkan oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai merumuskan berbagai jalan kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga oleh agama Hindu[8]
Pada mulanya perkembangan Mantrayana ini merupakan reaksi alami terhadap tren sejarah yang makin tidak sesuai dan mengancam kepunahan agama Buddha India. Untuk mempertahankan dan melindungi diri, penganut-penganutnya semakin banyak menggunakan kekuatan mukjizat dan meminta pertolongan dari makhluk-makhluk luhur, yang keberadaan sebenarnya telah dibuktikan oleh mereka sendiri melalui pelaksanaan meditasi trans. Di antara ini, perhatian besar ditunjukkan kepada makhluk luhur berpenampilan menyeramkan, seperti “Pelindung Dharma”, yang disebut juga vidyaraja, “raja adat dan pengetahuan yang suci” yang bermaksud baik tetapi menampilkan wajah yang megerikan untuk melindungi orang yang percaya. Menarik juga untuk dicatat bahwa untuk mendapatkan perlindungan, umat Buddha pada masa itu mengandalkan makhluk-makhluk luhur feminin. Sekitar tahun 400 M, Tara dan Prajnaparamita dipuja sebagai Bodhisattwa Kosmis[9].
Hal ini berarti bahwa dalam setiap usaha untuk membentuk suatu Mandala haruslah memiliki suatu nilai praktis yang mempengaruhi prilaku perseorangan (carya). Mantrayana ini juga memiliki sikap yang tegar menentang segala bentuk khayalan dan menumbuhkan bodhi sebagai lawan dari nirodha. Kesemua hal ini, dilaksanakan untuk mencapai langkah terakhir yakni guru yoga sebagai sarana kekuatan untuk mengatasi diri seseorang.
Dalam pengertian yang dalam dapat dikatakan, bahwa guru yoga adalah kenyataan itu sendiri yang dapat kita saksikan dan berada dimana-mana. Namun tanpa bimbingan seorang guru (manusia) yang telah mempraktekkan yoga dan mampu membimbing siswanya dalam menempuh halangan-halangan yang sulit.
Istilah Mantrayana kelihatannya telah menerima aslinya pada keperluan khusus bahwa cabang Mahayana yang menganjurkan pembacaan ulang mengenai mantra sebagai usaha prinsip mengenai paramita. Menurut Shashi Bhusan Dasgupta: ‘Mantrayana adalah sekte dari Mahayana’, kelihatannya adalah tingkat perkenalan mengenai Buddhisme Tantra dari semua cabang mengenai Vajrayana, Kalacakrayana, Sahajayana, dan seterusnya yang timbul dikemudian hari.

D. Aliran Vajrayana
ledakan kreatif  dari tantra permulaan menuju  suatu asumsi yang kompleks  tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu adalah Vajrayana yang menentukan tata cara mengenai banyak  sekali tradisi yang luas dalam taraf permulaan yang telah berkembang.[10]
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya. Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Menurut Wang Shifu, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran
yang berkembang dari ajaran BuddhaMahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan visualisasi[11].
Adapun tujuan akhir dari pada Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung. Oleh karena tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama BuddhaTibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha Sakyamuni yang amat cocok untuk di praktikkan oleh umat perumah tangga, umat yang hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup sebagai bhiksu di vihara Vajrayana.
Menurut catatan, banyak sekali praktisi tinggi Vajrayana yang memiliki kemampuan (siddhi) yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan yang telah dimakan (Tilopa), terbang di angkasa (Milarepa), membalikkan arus sungai gangga (Biwarpa), menahan matahari selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi kecepatan kuda, merubah batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah phowa), dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian & kalahirannya kembali (H.H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar ketika di kremasi, terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Vajrayana, semua hasil yang diperoleh dari latihan itu, haruslah disimpan serapi mungkin, bukan untuk di ceritakan pada orang lain. Sebagai pengecualian, boleh mendiskusikan hal tersebut dengan Guru, jika memang ada hal yang kurang mengerti.
Dalam ajaran Vajrayana, sekte menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
Sekte Gelugpa: pendirinya adalah Tsongkhapa (1357-1419) lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat, dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan
·         Kadampa sebagai pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu Atisha Dipamkara.
·         Sekte Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray (Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya.
·         Sekte Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa (1079-1133). terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam tradisi Kagyu. Sekte Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[12]

v  Ritual dan Praktek

A.    Tantrayana
Perdebatan yang ada dalam aliran mahayana tidak terletak  pada ada tidaknya  esensinya, namun hanya terbatas pada pemahaman tentang sifat dari dharmakaya  itu sendiri.  Kebanyakaan sutra menggambarkan dharmakaya  sebagai sesuatu yang  impersonal,  bukan pribadi dan bukan tidak  pribadi.  Pada naskah-naskah yang lain dharmakaya di kenal sebagai  personal dan kepadanya  di beri sifat-sifat  yang baik.  Khusus dalam aliran Tantrayana, dharmakaya disembah  sebagai budha primodial atau Adi Budha.[13]
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi, bukannya menyangkal primal seksual dan sensual mendesak seperti dalam agama Buddha tradisional, praktek Tantra menerima ini mendesak kehidupan sebagai suci energi kekuatan, yang dimurnikan dan berubah menjadi kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.[14]
B .Mantrayana

Bagi Mantrayana  di ketemukan suatu dasar yang dogmatis –filosofis  karena orang menganut suatu ajaran  mahatunggal  yang konsekwen. pastilah di dalam lingkungan perbuatan-perbuatan magis, bahwa di dalam ajaran mahatunggalpun , Mahayana bertindak  sebagai persiapan bagi mantrayana.  ajaran mahatunggal ini  di ajukan di dalam ini; bahwa orang mulai berbicara  tentang suatu “Maha-Budha ” , yang bentuk pertanyaanya berupa alam semesta,  seluruh dunia  dengan segala isinya. Alam semesta itu manifestasi  dari dharmakaya.[15]
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
Langkah pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni
§  Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
§  Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa sansekerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku kata yang berfungsi sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan magis dan melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk agung lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran tetap terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri dari :
§  Dana Paramita: Perbuatan luhur tentang amal secara materi maupun spiritual.
§  Sila Paramita: Perbuatan luhur tentang kehidupan bersusila.
§  Kshanti Paramita: Perbuatan luhur yang dapat menahan segala macam penderitaan.
§  Virya Paramita: Perbuatan luhur mengenai keuletan dan ketabahan.
§  Dhyana Paramita: Perbuatan luhur mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
§  Prajna Paramita: Perbuatan luhur mengenai kebijaksanaan.

C .Vajrayana
Dalam ajaran Vajrayana  yang berkembang di tibet,  kosmos di jelaskan alam kaitan mata angin: pusat, timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteris  di waliki oleh unsur-unsur yang berpasangan yang di wujudkan dalam bentuk tathaga pasanganya.[16]
Dalam Vajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Vajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penyapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:
§  Pembebasan melalui proses pemakaian
§  Pembebasan melalui proses pendengaran
§  Pembebasan melalui proses ingatan
§  Pembebasan melalui proses penglihatan
§  Pembebasan melalui proses Pengecapan
§  Pembebasan melalui proses sentuhan.
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.[17]
v  Perbandingan Ajaran ketiga Aliran di atas

Jadi, Konsep Mantra pada intinya didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara (sabda) sebagai sustu sumber kekuatan atau kekuatan itu sendiri, yang memiliki pengaruh kuat terhadap organisme manusia dan alam semesta. Ini berarti pengakuan akan adanya hubungan misterius tertentu antara evolusi kosmik dan suara. Begitu pula dengan Tantra, walaupun pada prinsipnya Tantra tidak bersifat spekulatif, dengan menerangkan berbagai tahapan kontemplatif yang harus dialami oleh seorang sudhaka sebelum mencapai pencerahan bathin, namun Tantra berpandangan bahwa penyamaan nirvana dengan samsara oleh Madhyamika adalah kebenaran dasari. Begitu pula halnya dengan Vajrayana, aliran ini lebih menekankan dengan silsilah yang berhubungan dengan sederetan dengan para Guru dari Hyang Budha[18].
v  Tantra Theravada
Garis-garis besar filsafat Tantrayana
Mazhab Tantrayana dikenal luas oleh dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik). Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu yang kelihatan).
Menurut umat Buddha mazhab Tantrayana ini, sesungguhnya Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal dari si pelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan Buddha.
Terdapat tiga jenis upacara dalam mazhab Tantrayana, yakni :
  1. Mudra : Gerakan tangan dan atau badan yang memiliki makna filosofis tertentu
  2. Dharani : Pembacaan mantra-mantra yang juga memiliki arti-arti tertentu
  3. Yoga : Pemusatan pikiran
Dengan demikian, terjalinlah komunikasi yang erat antara si pelaku dan Sang Buddha. Kemudian terbentuklah pengertian yang dikatakan " Buddha berada pada saya dan saya berada pada Buddha ".[19]
·         Empat Jenis Tantra
Di dalam mengawali pelatihan diri dalam mazhab Tantrayana, ada empat hal yang harus perhatikan yang dikenal dengan empat jenis Tantra :
  1. Kriya Tantra
  2. Carya Tantra
  3. Yoga Tantra
  4. Maha Yoga Tantra
·         Empat Jenis Mandala
Salah satu dari cirri-ciri khas Tantrayana adalah Mandala (gambar indah yang memiliki makna filosofis). Mandala ini terdapat empat jenis yang masing-masing terdiri dari :
  1. Maha Mandala : Gambar dari tempat kediaman para Buddha dan para makhluk agung lainnya.
  2. Samaya Mandala : Gambar dari tempat kediaman para Buddha dan para makhluk agung lainnya dengan ditambahkan benda benda duniawi.
  3. Dharma Mandala : Gambar dalam bentuk bijak aksara (huruf/kata-kata) Yang melambangkan Buddha, Bodhisattva, Deva serta makhluk arya lainnya.
  4. Karma Mandala : Gambar dari figure-figur buatan misalnya arca atau rupang/patung. [20]
·         Empat Dasar Tantrayana
Di dalam kehidupan spiritual Tantrayana di Tibet, terdapat jenis disiplin spiritual atau sistim pendidikan yang meliputi level (tingkat) permulaan, menengah dan akhir. Empat dasar Tantrayana adalah merupakan level permulaan atau pendahuluan (prelude) daripada latihan Tantrayana. Keempat dasar Tantrayana (Four Ordinary Foundations) adalah :
  1. Kelahiran sebagai manusia di dunia ini sangat mulia.
  2. Doktrin ke tidak kekalan (impermanence); segala sesuatu yang terbentuk dan saling bergantungan adalah Anitya (tidak kekal).
  3. Pengertian aksi-sebab dan akibat; Cetana (kehendak untuk berbuat) itulah dinamakan Karma.
  4. Dukkha sebagai lingkaran Samsara.[21]
·         Reinkarnasi dan Tulku
Pada mazhab Tantrayana terdapat satu keyakinan yang merupakan pengembangan dari falsafah Punarbhava atau kelahiran kembali, yang sering diterjemahkan oleh orang Barat sebagai reincarnation atau reinkarnasi. Dalam falsafah ini diyakini bahwa semua makhluk di alam semesta ini diyakini bahwa semua makhluk di alam semesta ini adalah mengalami lebih dari satu kali kelahiran.
Dalam tradisi Tantra Barat, terutama di Tibet, memberi sumbangan khusus dalam pencarian seorang Tulku, seorang anak yang diindentifikasikan sebagai reinkarnasi/penjelmaan khusus dari seorang Rinpoche atau Dalai Lama. Dalam pencarian tersebut, sering sekali dilakukan dengan cara meneliti baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama pada anak-anak yang berusia antara 2-5 tahun dengan ciri-ciri kelahiran yang khusus.
Tulku diketemukan dengan berbagai bentuk ujian yang sangat ketat dengan hati-hati oleh lembaga agama pada masyarakat Tibet. Salah satu bentuk ujian yang standar adalah kemampuan seorang Tulku untuk memilih objek yang diberikan dihadapannya, terutama benda-benda milik pendahulunya,yang biasa digunakan dan kelak akan digunakan olehnya. Tulku sering sekali membuat orang Barat menjadi terheran heran(yang pola pemikiran filosofisnya sangat [22]bergantung pada logika Barat). Hal ini dikarenakan oleh sikap dewasa yang luar biasa,. Serta jiwa dan martabat yang sudah diperlihatkan pada usianya yang masih begitu muda.[23]
·         Acharya dan Abhiseka
Istilah Acharya sebenarnya merupakan istilah yang telah umum dalam agama Buddha, baik Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Acharya adalah seorang Guru yang mentahbiskan seoreang siswa yang berusaha untuk melatih diri dan menghayati ajaran Buddha Dharma. Pada umumnya seorang Acharya tersebut adalah anggota Sangha atau Pandita yang berfungsi sebagai guru spiritual di bidang moralitas atau pengenalan Dharma.
Hubungan antara seorang siswa dengan Acharya sering diibaratkan seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya. Seorang Acharya harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan yang positif kepada siswanya, disamping juga harus dapat membimbing sang siswa untuk menuju pengertian benar dan mengkoreksi hal-hal yang negatif.
Setelah belajar sekian lamanya, baru dapat dilaksanakan suatu upacara pentahbisan yang disebut Abhiseka. Abhiseka dan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan latihan-latihan yang cukup matang.
Pada upacara Abhiseka hendaknya diutamakan mutunya daripada jumlahnya, sehingga tidak terjadi hal-hal yang simpang siur. Seseorang siswa yang di abhiseka kan seorang Acharya harus memiliki syarat-syarat bhakti, sila dan penyerahan diri.[24]
  1. Chau Ming, beberapa Aspek tentang Agama Buddha Mahayana, Jakarta 1987, Sasana 1994, Filsafat Buddhis Mahayana 1985
  2. Mulyadi Wahono SH, Pokok-pokok Dasar Agama Buddha, Ditjen Bimas Hindu Buddha Depag RI Jakarta1992.
  3. dr.DK.Widya,Sejarah Perkembangan Agama Buddha, ditjen Bimas Hindu & Buddha Depag RI-UT Jakarta 1993,
  4. Dr.Pdt.HS.Rusli MSA PhD. Teori dan Praktek Tantra-Vajrayana,IBC Medan 1982.
  5. Ven. Narada mahathera,Sang Buddha & Ajaran-ajarannya, Yayasan Dhammadipa Arama 1996.
  6. S.Widyadharma,Dhamma Sari Jakarta 1990.
  7. Kiprah Kasogatan Jakarta 1994
  8. Drs.D.Dharmakusumah, Alam Kematian sementara (Bardo Thodol), Jakarta 1992.
  9. Drs.R.Soekmono, Pengantar Sejarah kebudayaan Indonesia, Jakarta 1973.
  10. Sanghyang Kamahayanikan, Ditjen Bimas Hindu & Buddha Depag RI, Jakarta 1979.

 D.   DAFTAR PUSTAKA

·         Ali, Mukti,Agama agama dunia cet pertama,  Pt hanindita offset , jogjakarta, 1988
·         Conze.  Edward Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010
·          J.R. Honing,Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997
·         Tim penyusun, Kapita selekta Agama Budha, cv  Dewi kayana Abadi, jakart;  2003
·         T, suwartoBuddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
·          di akses pada tanggal 15 maret 2013 http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
·          Di akses pada  tanggal 11 maret  2013http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
·          di akses pada tanggal 12 maret 2013
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml



[1] Kapita Selekta Agama Budha, C.V. Dewi Karyana Abadi, Jakarta : 2003.   h.  90                                  
[2]suwarto,  Budha Darma Mahayana, Majelis agama budha mahayan indonesia; jakarta 1995  h . 120
[3]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[4]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[5]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.439

[6]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.444
[7]Ibid  hal.444
[8]Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997 hal.236
[9]Edward Conze. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010 Hal.97
[10]  ibid budha mahayana, majelis  agama budha mahayana di indonesia  h. 128
[11]http.wikipedia.vajrayana.com
[12]http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[13] Mukti ali, Agama agama dunia cet pertama,  Pt hanindita offset, jogjakarta, 1988 h. 188
[14]Ibid hal. 440
[15] ibid , ilmu Agama h 236
[16]  Tim penyusun, Kapita selekta Agama Budha, cv  Dewi kayana Abadi, jakarta; 2003 ,  h. 153
[17] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[18] Kapita Selekta Agama Budha, CV. Dewi Kayana Abadi Jakarta, 2003, hal. 50 -51

[19] Ibid h 54
[20] Ibid 54
[21] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_056.shtml
[22] Ibid h  56
[23] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_056.shtml
[24] Kapita Selekta Agama Budha, C.V. Dewi Karyana Abadi, Jakarta : 2003.  h. 67

No comments:

Post a Comment